Sabtu, 07 Juli 2012

Scar

"And be grateful. Our scars have the power to remind us that the past was real." 

– Dr. Hannibal Lecter, from Red Dragon.

 

Sebuah bekas luka, mungkin setiap orang memilikinya di tubuh mereka. Terkadang terlihat mengerikan atau membuat kita merinding. Tetapi bekas luka itu ada bukan tanpa arti. Selalu ada makna dibalik guratan-guratan luka yang tertorehkan. 


Ada beberapa tokoh dalam fiksi yang membahasakan makna hidup mereka dengan bekas luka, misalnya Harry Potter dengan luka di dahinya yang terjadi karena perlindungan sang ibu dari mantra kutukan mematikan Lord Voldemort. Ada pula tokoh manga Kenshin Himura dalam Samurai X, sebuah luka di sebelah pipi kiri-nya yang berupa huruf X dan membuktikan bahwa dia adalah legenda Batosai si Pembantai di masa lalu, kemudian ada Pangeran Zuko dari serial Avatar: The Last Airbender yang memiliki luka bakar di mata kirinya, yang merupakan hukuman dari Negeri Api dan membuatnya tidak bisa lagi kembali ke tahta Negeri Api kecuali dengan syarat berhasil menangkap Avatar. 

Di kehidupan nyata sikap setiap orang berbeda-beda. Sebagian dari mereka, ada yang mencoba menyembunyikannya karena terlalu menyakitkan. Ada yang sengaja menunjukkannya untuk membuktikan dia adalah seorang yang kuat. Ada yang menjadikannya sebagai ciri khas selama hidupnya. Namun ada juga yang berusaha mati-matian untuk menghilangkan bekas luka itu.

Aku pun memiliki bekas luka. Sebuah bekas luka yang ada di tangan kananku, yang aku dapat dari kecelakan dengan mobil di akhir tahun 2011. Banyak teman ataupun saudara yang menanyakan bekas luka itu. Terkadang aku hanya tersenyum meringis, terkadang menjawab seadanya atau juga berlalu mengabaikan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tak banyak memikirkan bekas luka itu hingga saat ini. Entah mengapa akhir-akhir ini setiap kali aku memulai aktivitasku seperti menulis, makan, membaca, ataupun yang lainnya. Dan melihat luka yang ada ditangan kananku itu. Aku seperti dipaksa kembali mengingat bahwa kecelakaan itu memang nyata. Aku benar-benar mengalaminya. Aku merasakan setiap detail dari ingatan akan hari itu. Tentu saja ini membuatku lebih menyadari, apa jadinya jika hari itu, ada mobil lain dari arah berlawanan yang datang dengan begitu cepat dan menabrakku yang terkapar di tengah jalan. Adakah alasan lain dari Tuhan untuk menyelamatkan aku selain dari kesempatan untuk tetap hidup dan memperbaiki diri? Kadang kita memang harus menyadari bahwa manusia memang terbatas, bukan untuk merendahkan diri dan putus asa tetapi untuk lebih mensyukuri kehidupan yang telah kita miliki dan tidak menjadi greedy.

Bekas luka lain yang membuatku terpana adalah guratan-guratan bekas luka yang ada di perut Ibu. Aku sempat memperhatikannya saat membantu mengolesi minyak kayu putih di perut Ibu ketika dia merasa tidak enak badan. Kemudian dengan bodohnya aku justru bertanya, “Ini bekas luka apa Bu?” Dengan suara pelan Ibu menjawab, “Bekas luka hamil dan melahirkan lima orang anak”. 

Aku hanya terdiam seribu bahasa mendengarnya. Aku pun memahami bahwa bekas luka itu memang nyata untuk mengingatkan kita bahwa benar adanya kita pernah berada di dalam perut ibu selama sembilan bulan sebelum akhirnya menghirup udara segar dunia. Bekas luka itu menunjukkan bahwa benar adanya seorang ibu berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan kita di dunia. Bekas luka itu mencoba menjelaskan bahwa kita pernah menjadi bayi tak berdaya dan lemah sebelum akhirnya tumbuh dan bertahan hidup hingga saat ini. Apalagi jika proses melahirkannya melalui jalan operasi caesar, bekas luka itu tentu lebih terlihat jelas. Tidak ada alasan sebetulnya untuk membuat hidup kita menjadi tak berarti. Banyak yang telah diperjuangkan oleh orang-orang disekitar kita hingga bisa bertahan sampai saat ini.

God tries to remembering us with many ways, including with this scar.
It is so true that scars prove you’re vulnerable, but they also show you’re a survivor.
Life and let life...

M.
Yogyakarta, Juli 2012

* Photo by Emilia Tjernström
A nomad girl, who got kicked in the forehead by a donkey when she was little. It is quite a scar. Campement, in the vicinity of the village of Tabrichat, northern Mali, January 2007. 

From: http://www.flickr.com/photos/modern_nomad/with/414643458/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar