Rabu, 11 Juli 2012

Perempuan Lain

Sebuah BBM darimu masuk pukul sembilan malam. Aku hanya mengintip dari layar chats dan tidak membukanya. Pesan singkat itu berbunyi, Aku bisa minta bantuanmu? Ini sudah sekian lama sejak terakhir kali kita saling mengirimkan pesan. Aku tak yakin untuk membuka pesan itu. Aku berniat pura-pura tidak menyadari jika ada pesan masuk itu. Jadi kuputuskan untuk tidak mengubah tanda pesan di BBM dari D menjadi R. Namun sebuah BBM lain masuk lima menit kemudian, Ayahku menikah lagi

Aku masih terdiam menatap layar handphoneku. Butuh waktu beberapa menit untuk meyakinkanku bahwa pesanmu itu bukan sekedar candaan atau hacking dari teman-teman usilmu. Aku memutuskan untuk menjawabnya dengan satu kata, serius?

Dan seperti apa yang kau katakan, Ayahmu menikah lagi. Kau memintaku untuk membantu menguatkan perasaan adik perempuanmu yang mungkin saja tidak sekuat perasaanmu. Anehnya, aku masih saja menerima permintaan tolongmu dan mau berbagi kesedihan yang kau alami. Kita memang pernah dekat, namun aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi orang pertama yang kau hubungi disaat kau dalam keadaan resah seperti ini. Atau hanya disaat seperti inilah aku ada dalam benakmu. Dari sekian banyak waktu yang kau habiskan untuk bergelut antara kuliah dan berkerja, aku hanya ada disaat kau dirundung masalah. Ironisnya aku merasakannya sebagai suatu kehormatan, bisa berada sebagai seorang yang kau andalkan disaat perempuan mana pun tak lagi mampu lagi kau harapkan. 

Malam itu pula kau menceritakan padaku bahwa ayahmu sudah lama memutuskan untuk menikah lagi. Kau berusaha meyakinkan ayah untuk memberikan lebih banyak waktu hingga adik perempuanmu tumbuh lebih dewasa namun dia tak lagi mau menunggu. Meski kau berulang kali meyakinkan dirimu sendiri bahwa pernikahan itu bukan lagi soal pengkhianatan. Tetap sulit menerima kenyataan bahwa ayah tidak lagi mencintai ibu dan ada perempuan lain yang dicintai ayah. Lantas apakah cinta ayah kepada anak-anaknya juga luntur selayaknya cinta ayah kepada ibu? Kenyataannya kita tak lagi harus menjawab pertanyaan seperti itu karena kehidupan itu tidak hanya urusan cinta semata. Realitas selalu membuat kita mengesampingkan cinta yang terlihat seperti ilusi. Aku tak pernah tahu, ayahmu menikah lagi karena mencintai perempuan lain atau karena ada hal lain? Tetapi menurutku bagi ibu dan adik perempuanmu yang terlihat hanyalah hal yang sama, luka


Malam lain, kau bercerita bahwa ayahmu tak lagi berada di rumah dan memutuskan untuk menghabiskan Hari Raya tahun ini di rumah istri barunya. Untuk alasan itulah dia memintamu pulang menemani ibumu. Karena bertahun-tahun kau tidak pernah pulang, kau menyesalkan betapa sulitnya menemui ibumu lagi dalam keadaan terluka. Kukatakan padamu, ibumu pasti akan bahagia jika kau pulang karena dia mengetahui bahwa anak laki-lakinya begitu pengertian terhadap ibunya. Kau akan menjadi laki-laki yang paling diharapkan oleh ibumu, kataku dalam pesan terakhir. 

Sejak semula kau membuatku seperti tersengat listrik dengan kabar itu. Tapi hal yang terus aku pikirkan justru perasaanmu terhadap ayahmu. Setelah tiga hari yang lalu, akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya padamu, Ayahmu menikah lagi, kamu sakit hati? Lalu kau jawab, Iya, sakit itu ada, tapi aku terpaksa memahami ayah. Begitulah. Ternyata memang mudah seorang laki-laki memahami laki-laki lain. Aku pun mencoba untuk memahami perasaan ibu dan adik perempuanmu. Aku membayangkan seandainya aku adalah mereka. Mampukah aku memaafkannya? Mampukah aku menerima kenyataan seperti itu? Aku sebagai perempuan mencoba memahami perasaan-perasaan itu, perasaan perempuan-perempuan yang terluka. Namun bagaimana dengan perempuan lain yang dinikahi oleh ayahmu? Haruskah aku memahami perasaan perempuan lain itu? Apakah perempuan lain itu tidak memahami perasaan ibumu? Perempuan lain itu juga perempuan.

Jadi, benarkah perempuan selalu bisa merasakan perasaan perempuan yang lainnya? Terkadang aku tidak percaya.

M.
Semarang, Juli 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar