Sabtu, 29 Desember 2012

Membaca Curahan Hati


Terkadang apa yang tersimpan di dalam hati, hanya mampu terungkap melalui kata-kata. Mungkin ada banyak cerita yang seharuskan aku katakan, semua itu tersendat dalam liang kerongkonganku dan tertelan dengan pahitnya kenyataan.

M, 
Yogyakarta, December 2012

Senin, 24 Desember 2012

Membaca Ng-amplaz


Ini postingan sih sebenernya bukan niat nge-posting edisi Natal, cuma aja moment-nya tepat (pas maen ke amplaz ketemu temen lama-pas ada objek unyu2 edisi natal) :D Jadi tujuan utamanya: Temu kangen ama Mega temen pas di Tsanawiyah, entah udah bertahun-tahun gak pernah ketemu, paling terakhir ketemu pas perpisahan akhir tahun ke-enam. Duh tahun 2008, tua! (>.<)
pas ngobrol-ngobrol di Taman Sari Foodcourt :D 

dan tetep foto-foto~ 

Mega ini ternyata pernah juga keliling Eropa selama tiga minggu, tujuan utamanya buat summer course di Belanda tepatnya Groningen. Semoga someday juga bisa kayak Mega, bisa jalan-jalan ke Eropa sekaligus belajar :) eh kebalik ya, belajar di Eropa sekaligus jalan-jalan, yang diinget jalan-jalannya mulu siy! (^,^)
Amiin ya Allah~


mega, santa, and I-sempet-sempetnya foto beginian :D 

foto-fotonya fokus dan maksimal ama objek yang ada XD

 di amplaz :)

with deer~

Dan yang lucu lagi malah jadi ikutan kenalan ama temen-temen SMA Mega pas di Bandung, and they're really nice people :) truz ikutan nemenin makan malem bareng di Warung SS, di Babarsari.

ama temen-temennya Mega: Nunik and Ajeng (semoga namanya gak salah :P)

dan teteup narsis XD

Have nice trip ya meg, moga kagak bosen maen ke Jogja, yang joyo ini :D
Dan buat yang merayakan Hari Natal, selamat hari raya...

Cheers~^^

M.
Yogyakarta, December 2012

Selasa, 04 Desember 2012

Reading Law Student's Life :)

In this last month, I found myself having a conversation with some friends regarding our shock over the fact that we are now start third year of our law school experience.

This milestone caused all of us to reflect on our time at Faculty of Law in UGM and there seemed to be one thing in particular that was at the forefront of our minds: law school experiences. It might seem as though not that much could change in a year, but there were many marked shifts that all of us had picked up on, and more busy in many activities. In first year, I think the intense fear and confusion as to how to approach law school exams probably led a lot of the class to get bogged down in a lot of irrelevant details when reading. By second year, you develop the ability to become more intuitive about the facts that are going to actually be worth knowing. I have often heard people comment that second year is harder than first year then third is harder than second.

From an academic perspective, this is probably true. The first year are long gone and it is sometimes only when you are a day into studying for an exam that you really start to get a picture of how the cases of a course tie together. However, I don’t think that this year is harder on the whole. Yes, the volume of reading is greater, but you can get through it faster. Yes, the courses are harder in terms of the law being more challenging, but they are courses that you have chosen and thus are more likely to be interesting to you.

The main difference that I would like to explore here is the way that you learn. I still remember sitting down with my first case on PLKH is Tort (Deed of tort/Perbuatan Melawan Hukum) and not knowing where to begin. But from this kind of studying method, I was actually learn a lot rather than when I am just sitting in the class.

December instilled a small amount of confidence that we could at least make it through a law exam without fainting, but I think for most of us, we saw what changes we had made worked, and those that didn't  This was so important because it enabled us to start to truly figure out what professors look for when we are writing an exam, and in turn this greatly influenced the approach to studying.

So, i am looking forward for the next session, focusing study on international law. 








All of this, are my pics gallery when studying Law on practice, so much fun since I was so lucky for having nice friends and good team, thank you for all of  PLKH team F2 \(^.^)/

~cheers :)

M, 
Yogyakarta, December 2012

Minggu, 02 Desember 2012

Membaca Puisi: Hujan di Bulan Juni (Desember-ku)

tak ada yang lebih tabah 
dari hujan bulan Juni 
dirahasiakannya rintik rindunya 
kepada pohon berbunga itu 

tak ada yang lebih bijak 
dari hujan bulan Juni 
dihapusnya jejak-jejak kakinya 
yang ragu-ragu di jalan itu 

tak ada yang lebih arif 
dari hujan bulan Juni 
dibiarkannya yang tak terucapkan 
diserap akar pohon bunga itu 



(Sapardi Djoko Damono - 1989)



catatan pinggir-ku:
pak sapardi, bolehkah saya ganti bulan Juni menjadi bulan Desember? mohon izin ya pak?
:)


M.
Yogyakarta, hujanku di bulan Desember 2012

Sabtu, 01 Desember 2012

Membaca: Welcome December!



Allahumma yassir wala tu’assir robbi tammim bi’khair...
O Allah, make it easy, and do not make it difficult. O Allah, make it end well...

Memulai bulan desember dengan semangat baru, 
semoga sukses ujian pendadaran, 
semoga sukses peradilan semu PLKH Hukum Perdata, 
semoga sukses interview, 
semoga ibu lebih sehat, 
semoga semua baik-baik saja.
all is well :)

M
Yogyakarta, awal bulan Desember.

Jumat, 30 November 2012

Membaca: Apakah Kita


Apakah kita?
Siapakah aku?
Dan siapakah kamu?
Apakah benar ada benang merah diantara kita?
Apakah kita api yang bertemu dengan api sehingga mengobarkan?
Apakah kita air yang bertemu dengan api sehingga memadamkan?
Ataukah kita air yang bertemu dengan air sehingga menghanyutkan?
Mungkinkah kita hanya akan terus melukai satu sama lain?
Dan ketidakbersamaan itu adalah hal terbaik yang kita miliki.
Sampai kita mampu meredam emosi dan menilap rasa.
Sehingga aku bisa menjawab sebuah pertanyaan janggal yang ada dalam hati:
Mengapa begitu sulit untuk saling bertemu?


M.
Yogyakarta, Akhir November 2012.

Senin, 26 November 2012

Membaca Doa untuk Ibu

Mungkin tulisan ini akan seperti keluh-kesah saja. Namun izinkan aku meluapkan tentang sesal yang begitu berkecamuk dalam hati selama seminggu ini. Tentang seorang perempuan yang begitu berpengaruh dalam hidupku, Ibu. Begitu besar keinginanku untuk mewujudkan impiannya-impian kami bersama. Namun aku justru terlunta dalam bias mimpi-mimpi itu. 

Hari itu aku baru selesai kelas Hukum Perdata Internasional. Diskusi menarik selama di kelas membuatku melupakan getaran-getaran handphoneku yang sedari tadi sudah aku rasakan. Selesai kuliah aku menyempatkan diri untuk mengecek daftar pesanku, kulihat beberapa sms dan panggilan tak terjawab dari bapak. Dia berusaha mengabariku bahwa ibu masuk rumah sakit dan masih di UGD. 

...

Tak ada seorang pun di dunia ini yang senang melihat orang yang benar-benar kita cintai menderita. Melihatnya terbaring lesu tak berdaya pada ranjang besi dengan pipa saluran infus, pemandangan itu benar-benar membuat hatiku terluka. Ada semacam ketakutan besar yang mencekam dalam lubuk hatiku meski aku tak pernah ingin tahu alasan apa yang mendasarinya. Ingin rasanya ku tepis semua pikiran-pikiran buruk itu. Tubuhnya yang semakin lemah, rambutnya yang telah putih dan kulitnya yang juga telah keriput membuatku semakin menyadari bahwa ibu sudah semakin tua. Rapuh. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa disampingnya. Nafasnya terdengar berat dan teratur, aku benahi selimut yang membelit tubuhnya dengan acak-acakan. 


Ibu sudah berumur 62 tahun, dia berumur 40 tahun ketika melahirkanku di dunia, umur yang penuh resiko untuk melahirkan. Beberapa dokter yang ada saat itu mengatakan hal sama, namun ibu tetap istiqamah dan siap dengan apapun yang akan terjadi. Ibu mana yang tak rela berkorban demi anaknya? 

Sejujurnya, aku tak begitu dekat ibu. Kami berbincang-bincang, curhat, membicarakan banyak hal tetapi aku tak benar-benar bercerita sepenuhnya. Terkadang ada beberapa rasa yang aku pendam dan tak kuutarakan secara langsung, terutama tentang cinta. Aku begitu tertutup. Ibuku pun menyadari hal itu. Maka ketika berbicara tentang laki-laki hanya nasehat-nasehat saja tentang bagaimana lelaki yang baik itu. Sifat tertutupku tentang cinta semakin menjadi-jadi ketika tiga tahun lalu. Ibu tak merestuiku dengan lelaki yang aku pacari dan berulang kali membandingkannya dengan lelaki lain yang pernah dekat denganku sebelumnya. Aku menjadi ragu dengannya dan membuatku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Alasan lain mungkin karena semenjak aku memasuki pondok pesantren di Garut. Kami tak banyak berkomunikasi. Ibu jarang sekali mengunjungiku selama enam tahun di sana, mungkin bisa dihitung berapa kali ibu sempat mengunjungiku. Padahal saat itu adalah masa-masa dimana aku tumbuh dewasa. Terkadang aku ingin marah. Rasanya seperti diasingkan. Bahkan semenjak taman kanak-kanak, ibu jarang sekali mengantarkan aku ke sekolah selayaknya ibu teman-temanku sementara rumah mereka juga dekat, aku hanya diantar sampai jalan raya. Akhirnya aku hanya bisa meminta tukang becak di depan rumahku untuk membantu menyebrang di jalan raya itu. 

Tentu saja aku mencintai ibu. Hanya saja aku tak menunjukkannya secara langsung. Diam-diam aku selalu mengagumi ibuku. Dia cantik dan cerdas. Konon ketika dia muda ada begitu banyak lelaki yang mengejar, bahkan sederat nama lelaki yang saat ini terkenal pun ada beberapa diantaranya yang pernah menaruh hati pada ibu. Dia juga sangat aktif berorganisasi, tegas, dan selalu penuh semangat. Ibu senang menulis artikel di koran lokal untuk menyuarakan aspirasinya secara pribadi, dan setiap kali tulisannya dimuat, aku selalu mengklipingnya dan menjadikan tulisannya sebagai inspirasiku. Kini apa yang ditanamkan ibu dalam hidupku begitu menancap kuat dalam benakku, semua nilai itu adalah tentang makna akan hidup mandiri. Betapa pentingnya bagi seorang perempuan untuk hidup mandiri dan kuat. Dulu hal yang kadang membuatku heran adalah entah mengapa ibu memilih bapak. Aku tak mengatakan bapakku bukan lelaki yang baik. Bapakku hanya seorang anak Kyai, miskin, dengan wajah biasa-biasa saja dan saat itu bapak juga belum berpendidikan tinggi. Baru akhir-akhir ini aku mengetahui bahwa ibu begitu mementingkan aspek agama dan kesederhanaan. Ibu bisa saja mencari lelaki lain yang lebih tampan, kaya, anak orang terkenal atau juga lebih pintar. Tapi jika itu terjadi mungkin aku takkan ada di dunia ini. Jadi memang itulah takdir. 

Hubunganku dengan ibu menjadi dekat kembali semenjak beberapa bulan yang lalu. Ibu telah selesai kuliah teori dibangku S2 sejak tahun 2006 namun belum resmi karena belum menyelesaikan tesis-nya. Semenjak aku menulis skripsi, ibu juga menjadi antusias untuk ikut menyelesaikan tesis-nya sehingga kami bercita-cita bisa wisuda secara bersama-sama di bulan Februari nanti. Semangatku juga menjadi terpacu. Aku terus menerus mendorong ibuku segera menyelesaikan dengan berbagai macam cara mulai membantunya mengetik, memberinya motivasi, mendorongnya untuk membaca dan mencarikannya referensi untuk tesis. Terkadang aku memintanya untuk terus terjaga hingga malam untuk membaca buku atau memintanya agar tidak menunda-nunda untuk bimbingan. 

Bodohnya, aku tak pernah menyadari apapun. Aku tak pernah menyadari bahwa aku telah mendorongya terlalu keras hingga akhirnya ibu drop dan masuk UGD. Aku melupakan bahwa ibu tak semuda dan segesit aku. Apa yang dia kerjakan juga lebih banyak dari yang pernah aku bayangkan. Aku memintanya untuk segera menyelesaikan tesis hanya demi acara ceremonial wisuda saja sementara hal itu telah memaksanya mengorbankan kesehatannya dan nyaris nyawanya. Namun demi tuhan apa yang aku lakukan hanya semata-mata karena ingin mewujudkan apa yang telah kami berdua impikan. Ibu maafkan aku. I'm sorry if I'm not a good daughter for you. 



Ingin kudekat dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku 
Dengan apa membalas.. 
Ibu.. 
Ibu...


Suasana hatiku ini membuatku terngiang-ngiang tentang lagu Iwan Fals yang berjudul Ibu dan membuat aku semakin begitu merasa bersalah. Ya Allah sembuhkan ibuku. Bantulah dia untuk menjadi sehat dan mampu bangkit kembali tak peduli kami mampu wisuda bersama atau tidak. Aku hanya ingin ibu tetap hidup lebih lama agar aku mampu membalas semua yang telah dia berikan.




M. 

Hari dimana hujan tak kunjung berhenti, November 2012.

Sabtu, 24 November 2012

Membaca Cerpen: Pada Satu Bangku di Dunstable Downs

Hari itu rasa jenuh kembali muncul, di kantor ini rutinitas selalu saja sama. Setiap tepat pukul 12.00 siang tiba, tak ada yang keluar kantor untuk membeli makan siang. Mereka semua telah menyiapkan bekal masing-masing dari rumah. Di kota Luton, orang kantoran lebih memilih membawa bekal. Alasannya, mereka harus kembali kekantor tepat pukul 12.30. Sementara membeli makan siang diluar lebih mahal dan harus menunggu antrian panjang. “Tidak enak rasanya kembali ke kantor terlambat”, ujar Matt kepadaku. 

Matt adalah seorang key worker di tempat ini dan sekaligus bosku. Dia berperawakan gendut kulit putih. Dia lahir di London dan memilih menetap di Luton setelah bertemu dengan pacarnya, Joey. Matt orang yang baik dan pengertian, ketika aku hendak kembali ke Indonesia. Dia menghadiahiku kumpulan puisi bahasa Inggris terfavorit di Britania Raya edisi BBC. Dia mengetahui bahwa aku suka sastra, hanya karena aku sering mengutip salah satu puisi terkenal berjudul She walks in Beauty karya sastrawan Inggris bernama Lord Byron. Aku tak menyangka dia juga amat menyukai puisi itu. Sejak itu terus saja dia memberitahuku mengenai puisi-puisi yang masyhur lainnya tapi tentu saja aku tak pernah tahu. Aku mengetahui puisi She Walks in Beauty ketika aku berada di bangku Madrasah. Puisi itu sering dipakai lomba membaca puisi dalam bahasa Inggris, aku pernah mengikuti lomba semacam itu walaupun aku tak pernah menang. 

Setelah makan siang usai, kami segera melanjutkan pekerjaan masing-masing. Aku disana bekerja bersama work partner untuk membuat film dokumenter tentang kota Luton. Proyek kecil-kecilan untuk mendokumentasikan tentang suasana multikultur di kota Luton yang begitu erat. Dan aku mendapat bagian mengerjakan naskah dan mengatur jadwal untuk wawancara dengan narasumber dalam film itu. Naskah skenario film dokumenter yang aku tulis ini entah mengapa tak selesai-selesai. Aku merasa begitu jenuh dan sulit mendapatkan ide kala itu. Aku khawatir bahkan sampai waktu aku pulang ke Indonesia nanti, naskah film dokumenter ini juga tak usai. Tiba-tiba temanku satu proyek datang memintaku untuk melanjutkan pengambilan gambar, tentu saja tempat pengambilan gambarnya harus menarik, untuk itu perlu mencari sedikit inspirasi pengambilan gambar. Aku tentu saja tidak menolak ide itu. Akan lebih menyenangkan jika bisa berjalan-jalan ke suatu tempat dari pada berdiam diri di kantor. 

Lalu kukatakan pada Matt bahwa kami membutuhkan beberapa objek menarik tentang Luton. Dia memberikan kepada kami banyak opsi tempat seperti Wardown Park atau Stockwood Museum, sebetulnya aku sudah beberapa kali ketempat itu. Tak lama kemudian dia menyarankan pada kami Dunstable Downs atau Woburn Abbey. Setelah lama berdiskusi akhirnya kami memilih pergi ke Dunstable Downs, karena nampaknya pergi ke Woburn Abbey harus menempuh waktu lebih lama untuk sampai kesana. Padahal aku sangat ingin pergi ke sana, aku membayangkan pemandangan tempat itu seperti rumah dan pekarangan milik keluarga bangsawan Inggris bernama Mr. Darcy di film Pride and Prejudice. Film romantis favoriteku. 

Jalanan menuju Dunstable Down memang menanjak meski tidak terjal. Beruntung kami pergi diantar dengan mobil sehingga tidak harus menggunakan angkutan umum, karena sudah dipastikan kami harus berjalan sangat jauh. Ketika sampai di puncak, aku baru menyadari bahwa tempat ini memiliki pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit yang terbentang luas. Melambung di atas padang rumput yang mempesona. Ini benar-benar indah. Dunstable Downs adalah daerah dengan titik tertinggi di Bedfordshire. Dengan bukit-bukit sedikit landai terdapat tempat khusus yang disediakan untuk olah raga angin, layang-layang terbang atau yang disebut juga gliding. Punggungan angin yang menyapu menjadi kondisi ideal untuk berbagai olahraga layang-layang terbang. Pada hari-hari libur konon tempat ini biasa dijadikan tempat piknik yang menyenangkan. 




Disana sengaja disediakan bangku-bangku taman yang permanen, agar orang-orang yang datang bisa duduk sambil menikmati pemandangan yang indah dan hamparan bukit yang menawan. Tak sedikit pula pasangan-pasangan yang datang dan duduk-duduk disana.

Ketika aku duduk di bangku itu, aku merasakan suasana yang begitu romantis. Di setiap bangku terukir nama sepasang kekasih yang nampaknya sudah lama meninggal dunia. Sekelompok orang sengaja mengukir nama-nama orang tertentu agar selalu terkenang di bangku itu. Juga untuk menunjukkan perasaan betapa berartinya mereka yang telah pergi itu, konon nama mereka yang terukir disana akan bersama-sama bahkan sampai di surga. Harapan tentang suatu keabadian.

Kemudian ide gila ini muncul begitu saja di kepalaku. Aku tuliskan namaku dan namamu disana, sambil melirik kekanan dan kekiri karena takut ada orang yang menangkap basah apa yang telah aku perbuat. Aku sematkan nama kita berdua, entah bagaimana jiwa vandalisme itu muncul hanya untuk berusaha mengabadikan nama kita berdua. Mungkin ada sebersit rasa rinduku yang mengumpal kuat kepadamu. Lalu setelah usai, diam-diam aku berharap dua nama itu tetap ada disana-pada satu bangku di Dunstable Downs. Tanpa pernah tahu sampai kapan...



M.
Yogyakarta, November 2010.

Kamis, 22 November 2012

Membaca Adora Svitak: An Inspiring Girl

Adora Svitak adalah seseorang yang akhir-akhir ini memberi saya inspirasi, sering juga dipanggil dengan sebutan "a tiny literary giant". Dia adalah seorang anak muda Amerika yang baru berumur 15 tahun dan telah menulis begitu banyak karya mulai dari tulisan feature, puisi, atau esai baik di blog pribadinya (http://adorasv.blogspot.com/ dan http://www.adorasvitak.com/) atau pun di media massa, tulisannya mulai di publish dalam bentuk buku sejak dia berumur 7 tahun berjudul Flying Fingers (kumpulan cerita pendek yang berisi tips dan petunjuk untuk penulis) dan Dancing Fingers (buku koleksi puisi yang ini dibantu oleh saudari perempuannya bernama Andrianna). Sedangkan dia mulai mengenal dunia menulis sejak umur 4 tahun! 



Apa yang sebetulnya yang dilakukan Adora? 

Adora adalah tipe anak yang memiliki kemampuan cepat dalam menulis, dia bisa menulis antara 80-112 kata per menit, membaca 2-3 buku per hari, dan menulis sekitar 330.000 kata per tahun. Adora begitu percaya diri dengan melihat dirinya sebagai "pendidik, penyair dan kemanusiaan," tetapi bagi orang-orang di seluruh dunia dia hanyalah seorang anak dengan otak orang dewasa dan jadwal harian yang melelahkan bahkan sering tidak berakhir sampai 11 malam. Dia betul-betul tidak ingin membatas dirinya sendiri untuk terus berkarya. 

Pertama kali saya mengetahui tentang Adora ketika kebetulan menyaksikan video TED dia menjadi pembicara dengan judul “What Adult can Learn from Kids?”. Kala itu dia baru saja berumur 10 tahun, tetapi sudah bisa tampil dengan sangat percaya diri di acara seprestisius TED dihadapan beribu orang-orang yang notabene intelektual dan berpengalaman. Bahkan saat ini dia juga sudah memiliki kolom pribadi di media massa sekaliber Huffington Post Teen dan banyak menuliskan bermacam-macam esai (adora-svitak di huffington). 



Tentu saja ini membuatku semakin iri. Kemana saja saya saat sedang berumur 4 tahun? 10 tahun? Atau bahkan 15 tahun? 

Dulu ketika kita masih muda, banyak hal yang ingin kita lakukan namun kita justru menunda dengan dalih “Ah, nanti saja kalo sudah besar atau dewasa”, sementara begitu kita tumbuh besar dan dewasa cita-cita itu sedikit demi sedikit menjadi luntur dan terlupakan. Selama ini, kita memang selalu menyembunyikan diri dibalik topeng “anak-anak” karena orang dewasa selalu menghambat anak-anak untuk tidak terlalu banyak bertingkah, beraktivitas, berekplorasi atau berpetualang, sehingga anak-anak merasa minder dan begitu mudah tergantung dengan orang yang lebih tua. Adora membuka mata saya bahwa dunia anak-anak itu tidak seharusnya dibatasi tetapi dibimbing, mereka juga harus diberikan kebebasan untuk berekplorasi atau bahkan berkarya. Adora meyebutkan dengan istilah “the oppression of attention”, kekhawatiran dan pembatasan perhatian yang terlalu berlebihan dari orang tua terhadap anak-anak yang dikritik oleh Adora, “So how do people grow up in ways that minimize conflicting feelings of independence desired versus dependence missed? Perhaps as the children start to fly from the quintessential "nest," parents can find some new "children" of sorts to lavish attention on”. Karena larangan-larangan yang berlebihan dari orang tua yang posesif terhadap pehatian sang anak terkadang justru menimbulkan konflik batin bagi sang anak yang menyebabkan anak tersebut justru menjadi pasif atau pemberontak. 


Tetapi tentu saja, apa yang di raih oleh Adora tidaklah terlepas dari jasa kedua orang tuanya terutama ibunya yang mendorong Adora untuk bisa berprestasi sedemikian hebatnya. Adora Svitak bersekolah dasar dengan ibunya. Hasil pendidikan ibunya tersebut memang luar biasa, pada umur 11 tahun Adora bukanlah lagi seorang murid dia bahkan menjadi guru. Dia mengaku orang tuanya memang tidak tanggung-tanggung dalam memberikan bahan buku bacaan bagi Adora. Dia pun melahap berbagai macam jenis buku, seolah-olah buku itu adalah perman atau coklat bagi anak-anak pada umumnya. Sejak mengetahui kesukaan dan bakat Adora dalam hal menulis dan kritis berpendapat, ibarat gayung bersambut, kedua orang tuanya segera saja memberikannya laptop pribadi untuk menyalurkan bakat yang ada dalam diri Adora. 

Memang selalu ada pertanyaan seperti: apakah akan ada masalah ketika dia menjadi tumbuh dewasa? Dimana dia harus mulai berbaur dengan masyarakat normal dan mulai menjalani masa remaja selayaknya. Setiap orang tentu mempunyai masalah masing-masing. Tetapi apa yang dia lakukan di masa muda memberikan banyak inspirasi bagi saya, bahkan kini dia aktif dalam berbagai kegiatan social-activism dan menjadi pembicara untuk anak muda diberbagai tempat di dunia dan mempromosikan kebiasaan membaca dan mencintai literatur (interview with adora). So, nobody can stops you to be creative or productive person, not even age or others people

Semoga tulisan ini juga memberi inspirasi. Selamat Berkarya! ;) 

M. 


Yogyakarta, November 2012.

Rabu, 21 November 2012

Reading: The Harsh Realities of Life

You may ask, can we face reality? can we do the right thing? All of those questions always make us worry, even learn to face reality can spend more time doing something constructive about things that you have control over.


Akhir-akhir ini aku sering datang ke pengadilan negri dan entah mengapa suasana di pengadilan selalu membuatku semakin dekat dengan pahitnya realitas. Orang-orang berlalu lalang, sibuk kesana kemari dengan wajah yang penuh kegelisahan. Sikap itu ditunjukkan dengan beberapa orang yang sibuk mengecek hp, membolak-balik berkas-berkas penting, kulihat juga seorang lelaki disudut ruang tunggu tak henti-hentinya merokok demi menghilangkan kecemasannya yang tak kunjung reda. Belum lagi beberapa polisi yang berjaga-jaga dengan membawa senjata berdiri dengan wajah serius di depan pintu masuk pengadilan. Suasana seperti ini memang selalu penuh dengan tekanan. 

Hari ini aku juga harus mengikuti monitoring persidangan di salah satu pengadilan negri di provinsi DIY. Paling tidak sedikitnya aku harus mengikuti lima kali persidangan dan meminta tanda tangan pak Hakim sebagai bukti bahwa aku telah mengikuti jalannya persidangan. Ini membuatkan sering berada di Pengadilan menunggu untuk beberapa jadwal sidang yang kadang juga tak pasti dan bolak-balik untuk mengurus berkas. 

Aku sendiri sudah hampir satu jam menunggu dimulai persidangan perkara perdata yang pertama, persidangan perkara perdata harus selalu menunggu ruang sidang kosong sampai persidangan perkara pidana selesai, bagaimanapun aspek publik harus lebih penting daripada aspek privat. Hasilku bertanya informasi sana-sini, sidang selanjutnya mengenai perbuatan melawan hukum tentang perkara waris dan sengketa tanah. Perkara perebutan harta warisan memang selalu banyak melibatkan penggugat ataupun tergugat. Hari itu yang berperkara adalah kakak yang menggugat adiknya mengenai objek waris yang belum dibagikan akan tetapi si adik sudah menjadikan jaminan agungan kredit di suatu bank. Hal itu terjadi atas inisiatif dari pengurus bank terkait. Persidangan berlangsung cukup menarik karena masing-masing pihak menghadirkan saksi yang memberatkan. 

Hari yang sama, aku mengikuti persidangan perdata terakhir di PN berupa pemohonan. Dua orang perempuan sama-sama datang ke PN memohon atas perwalian anak mereka untuk mengurus harta warisan peninggalan sang suami. Awalnya aku tak paham mengapa kedua perempuan itu memberikan saksi yang sama untuk dikabulkannya permohonan tersebut. Bahkan pak Hakim pun juga heran, ternyata mereka adalah istri pertama dan kedua yang sama-sama tinggal di desa yang sama meskipun rumahnya berbeda. Dengan sedikit guyonan sambil melirik ke arahku yang memang sedikit terkejut kalau mereka memang perempuan-perempuan yang telah dipoligami, pak Hakim berkata, “Ini pasti almarhum suaminya ganteng ya? Sampai bisa punya dua istri dan tinggal di kampung yang sama dengan rukun, bahkan mbaknya mahasiswa sampai terheran-heran”. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi apa kata pak Hakim. Aku bahkan memastikan bahwa kedua perempuan tersebut merupakan istri yang sah atau bukan hasil nikah siri dan memang mereka dinikahi dengan sah, ada bukti surat pernikahan yang ditinggalkan. Bagiku, pemandangan yang jarang melihat dua perempuan rukun hasil dimadu, terkadang ada sinisme dalam hatiku, jangan-jangan mereka rukun hanya saat pembagian harta warisan saja tidak di kehidupan sebelumnya. 

Beberapa hari sebelumnya aku pun sempat mengikuti persidangan gugatan perdata mengenai perkara perceraian. Begitu banyak orang menginginkan pernikahan tapi disisi lain banyak pula yang justru berakhir dengan perceraian. Meski persidangan berakhir dengan adanya upaya damai dari pihak penggugat (suami) namun tetap saja mengirimkan surat gugatan perceraian juga sudah ada niat untuk bercerai. Akhir-akhir ini aku juga banyak berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang berkaitan dengan berkas-berkas perceraian di Hukum Acara. Beberapa hal memang memberiku banyak pelajaran bahwa pernikahan itu bukan hanya berdasarkan perasaan. Cinta saja tidak akan pernah cukup untuk membangun sebuah keluarga. Sifat manusia yang begitu mudah berubah, lupa, dan terlena dengan apa yang mereka miliki menjadikan komitmen begitu penting untuk menjaga keutuhan sebuah hubungan. 


Inilah yang aku katakan dengan pahitnya realitas, hanya demi harta antara kakak-adik saling bersengketa. Padahal mereka berasal dari rahim yang sama, seolah-olah tak ada lagi hubungan darah itu. Atau mengenai perkara perceraian dan poligami, yang memang terasa pahit dan begitu enggan kita membicarakan hal-hal semacam itu meskipun kita juga tahu bahwa hal semua itu bukan hanya cerita bualan, semua itu adalah hal yang mungkin terjadi di kehidupan kita. Meski yang aku ceritakan itu bukan merupakan realita yang harus aku hadapi. Sebetulnya ada banyak hal lain yang harus aku hadapi dan memaksaku untuk berubah. Nobody likes to admit that it is time to change behaviours and attitudes. Yet the time comes where wisdom demands that we acknowledge that what we are doing is not generating the results we want. This is especially true when we know what works because we were doing it long enough to see it work. Yet, out of laziness and foolishness, we stop doing what works and the results we worked so hard to achieve gradually melt away. Semakin kita dewasa semakin kita tahu bahwa hidup tidak akan pernah bisa datar-datar saja. Masalah akan selalu ada. Kita tak akan pernah menyangkal bahwa terkadang pahitnya realita itu adalah bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. This is the reason why I’m still nervous to face reality. Reality does sucks. But here's the things is looking at reality does not mean giving up hope. It's where you find hope in what you can change...and not trying to change others.

M.
Yogyakarta, November 2012.

Jumat, 02 November 2012

Be strong!


When life seems grey~
Give a little colour,
imagine your dreams then
keep going and don't give up :)

M.
Yogyakarta, November 2012.


Kamis, 01 November 2012

Welcome November Rain

Di akhir bulan ini hampir setiap hari hujan turun. Kini sudah mulai memasuki November. Dan bulan ini memang selalu identik dengan hujan. Kadang hujan itu menyenangkan, kala udara dingin senyap yang diam-diam memelukku. Irama air menetes dan aroma tanah yang begitu segar menerobos kerongga-rongga hidungku. Langit kelabu membawa suasana seolah-olah sendu namun begitu menenangkan hanya bunyi rintikan air yang terus saja berirama. Seolah-olah irama rintikan itu terus memanggilku. Tik..tik..tik... 

Hujan mengingatkanku pada satu momen tertentu dalam hidupku. Dimana saat itu aku masih amat sangat muda. Kelas 1 SD, sekitar umur 6 tahun, aku selalu memperkenalkan diri dengan nama T-I-K-A. Karena nama itu teman-temanku gemar sekali menggodaku dengan sebuah nyanyian anak-anak. Tik, tik, tik bunyi hujan diatas genting... Begitulah kira-kira salah satu liriknya. Maka teman-temanku yang usil, mereka seolah-olah hendak menegurku, “Tik! Tik!”. Kemudian ketika aku memalingkan muka kearah mereka tiba-tiba mereka kembali menyanyikan lagu itu, tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua. Argh! Tentu saja aku kesal. Namun semua itu nampak lucu sekarang. Menggelikan. Mengesankan. 

Kini hanya orang-orang dekat saja yang memanggilku dengan nama Tika. Tidak banyak tapi justru itu membuktikan kedekatanku dengan mereka. Kebanyakan dari mereka yang memanggilku dengan nama itu, tentu tahu tentang nama kecilku. Nama kesayangan pemberian orang tua. Nama itulah yang terkadang aku rindukan. Oleh sebab itu aku selalu merasa hujan itu terus memanggilku. Seolah-olah kami begitu dekat. In this very moment, I choose to focus on the good feelings of rain. It provides a warm sense of security. Because rain is water and water is life. While there are mishaps caused by rain, rain as a metaphor is invariably life enriching. There is torrential downpour which destroys, but mostly rain is revered because it is a necessary component of growth.

Dulu hujan selalu membuatku menari-nari. Begitu menyenangkan bermain-main kesana-kemari tanpa memikirkan apapun. Tanpa mengkhawatirkan apapun. Tanpa ekspektasi. Kini enam belas tahun kemudian, bulan November menjadi bulan yang semakin penuh misteri. Dan nasibku pun akan ditentukan oleh bulan ini. Aku diam-diam selalu memohon. Berdoa dalam hati kecil. November, jadikanlah semua momen di bulan ini menjadi lebih baik. Less worries. Less impulsive. Less pressure. Hujan di bulan November antarkan aku pada impian-impian itu...

Di telingaku, hujan terus memanggilku dengan nada lagu itu, tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua... 


M. 
Yogyakarta, hujan di awal bulan November 2012.

Senin, 29 Oktober 2012

Tentang Sekaleng Susu yang Selalu Membawa Ingatanku Padamu

Sudah sejak kecil ibuku memberikan sekaleng susu ini setiap kali aku merasa tak enak badan. Namun kenangan tentang ibuku kini telah berubah menjadi kenangan tentangmu. Suatu malam, suhu badanku naik drastis. Tubuhku padu dengan kasurku yang selalu terasa empuk. Aku balut badanku dengan selimut-selimut tebal. Dalam keadaan seperti ini Ibu selalu datang memberiku sekaleng susu. Melihat susu kaleng itu ingatanku melayang padamu. Demamku yang semakin tinggi membuat bayanganmu muncul begitu saja dikepalaku. Senyum itu. Tak pelak aku pun mulai meracau tentangmu.

Kala itu kita berada di sebuah Mall. Wajahmu yang kemerahan menahan demam yang semakin tinggi. Namun tetap saja kau masih bersamaku malam itu. Dan sekaleng susu itu, entah bagaimana bisa berada di dalam tasku. Ku berikan sekaleng susu itu kepadamu. Aku pun memintamu untuk meminumnya. Mungkin saja badanmu akan terasa lebih baik. Kau menatapnya lekat-lekat sebelum kemudian mengenggam erat susu kaleng itu. Tersenyum dan "Cut!" Sampai disana, aku begitu menikmati senyum itu. 

Pada akhirnya memang kau meminum susu kaleng itu dengan sedikit terpaksa. Episode itu ingin selalu kuingat. Hanya saja. Kenangan itu kini mulai samar-samar. Waktu yang telah mengikis ingatanku. Tak apalah, ini tentang sekaleng susu yang selalu membawa ingatanku padamu. 


M. 
Yogyakarta, Oktober 2012.

Minggu, 28 Oktober 2012

Reading : Contemplation

Kemana sajakah kau beberapa bulan terakhir ini? 
Sudah terbangunkah dari tidur-mu yang panjang itu? 

Aku membaca koran-koran itu setiap hari. Berbagai peristiwa dan fenomena terus berubah seperti pementasan wayang non-stop 24 jam. Aku tidak tidur dan tidak pula benar-benar sadar akan apa yang terjadi. Aku hanya merasa seperti zombie yang terus bergerak sama. Tapi pikiranku tidak benar-benar mati. Layaknya menyaksikan pertunjukkan tanpa sedikitpun ingin menjadi bagian dari pertunjukkan itu. Aku membiarkan diri melayang sejenak namun berusaha untuk tetap berpikir: lalu munculah kata 'kontemplasi' itu. Semua orang butuh berkontemplasi, menenangkan diri barang semenit kemudian beranjak. 


Apa yang sebetulnya terjadi diluar sana? 

Para sosiologis sibuk membicarakan zaman macam apa yang sedang kita hadapi. Para sastrawan sibuk merangkai kata-kata yang mampu melukiskan fenomena demi fenomena yang ada di masa ini. Para ilmuwan sibuk mengutak-atik rumus-rumus untuk memecahkan misteri-misteri kehidupan yang tak kunjung terpecahkan. Para ahli hukum sibuk mendefinisikan keadilan macam apa lagi yang harus ditegakkan di dunia ini. Para dokter sibuk menemukan obat-obat ajaib untuk memusnahkan penyakit-penyakit yang semakin misterius. Para agamawan sibuk berdakwah perihal surga dan neraka yang semakin sulit dipahami oleh orang-orang di zaman yang semakin sekuler ini. Para politisi semakin sibuk meracau karena makin banyak orang ingin saling membongkar di zaman ini. 

Semua sibuk. Namun dimanakah aku diantara orang-orang yang sibuk itu? 

Padahal aku juga merasa sibuk. Aku merasa tak pernah berhenti bergerak tapi entah mengapa diriku dimataku seolah-olah serupa. Aku terus merenungi diri memandangi tabiat-tabiatku dimasa lalu. Melintasi setiap untaian ruang dan waktu yang telah terlewati. Apakah yang sudah terlewati itu? Melihat sekelilingku dan mendapati begitu banyak perubahan. Betapa waktu itu telah mengikis kehidupan. Sementara aku hanya berjalan ditempat yang sama dengan kondisi yang sama pula. Ataukah aku yang berjalan terlalu lambat? Hingga dunia ini terasa begitu cepat menggerakan waktu. Missing the achievements. Less productivity. Mungkin itulah yang menjadi jawabannya. 

Sudah saat untuk menggertak sebetulnya. Membangkit soul dalam diri yang sudah lama mati. 
Heh, BANGUN!

M.
Yogyakarta, minggu malam di akhir Oktober 2012.

Kamis, 19 Juli 2012

Marhaban Yaa Ramadhan

Sebuah sms dari seorang sahabat masuk ke handphone saya pagi tadi, sms tersebut berbunyi:
Belajar dari sebuah akar, ia begitu gigih mencari air, menembus tanah  yang keras, demi sebatang pohon. Ketika pohon tumbuh, berdaun rimbun, berbunga indah kemudian berbuah. Maka banyak orang memuji pohon tersebut. Apakah akar juga mendapat pujian khusus? Belum tentu, tetapi akar tak pernah mengeluh, ia tetap bersembunyi dalam tanah dan terus bekerja untuk memberi buah pada pohon tersebut. Dari akar-lah kita belajar ketulusan dan kerendahan hati. Semoga jiwa ini setulus dan seikhlas akar. 
Saya merasa filosofi akar ini baik itu dipahami dan diterapkan. Terkadang kita begitu sulit untuk tetap berada dalam keadaan tulus dan rendah hati dalam menghadapi berbagai macam kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia. Saya terkadang melakukan banyak kesalahan dan menjadi manusia yang lupa diri. Padahal seharusnya kita sering berefleksi dengan firman Allah SWT:
 "Fabiayyi aala i rabbikumaa tukadzibaan…" (maka ni’mat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?) QS. 55:13.
Semoga senantiasa ada peningkatan dalam suasana Ramadhan ini baik perilaku, perkataan dan perbuatan. Tidak hanya sekadar waktu untuk berefleksi tetapi juga meningkatkan keimanan dalam diri. Dengan segenap hati saya ingin mengucapkan kepada seluruh umat muslim di segala penjuru dunia:
Marhaban Yaa Ramadhan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.
Mohon maaf lahir dan batin.

 M,
Yogyakarta, Juli 2012

Rabu, 18 Juli 2012

Membaca ART|JOG|12

ART|JOG|12 adalah sebuah art fair yang diselenggarakan pada 14-28 Juli 2012 di Taman Budaya Yogyakarta. Perhelatan seni ini memamerkan 195 Karya yang dikerjakan oleh 150 seniman. ART|JOG kelima kalinya ini hadir semenjak tahun 2008 untuk menyemarakkan dunia seni rupa Indonesia dan Asia. Panitia membuka diri selebar-lebarnya kepada para seniman untuk mengajukan aplikasi yang telah dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2012 lalu. Hasilnya departemen arstistik  ART|JOG|12  harus melakukan seleksi terhadap 883 aplikasi dengan karya berjumlah 1.692 buah. 
Tema dari ART|JOG|12 di pintu masuk.

 
Gambar baliho dari ART|JOG|12

Mengetahui ada event semenarik ini sebetulnya setelah membaca berita di Koran Kompas kolom Galeri. Saya sempat tertarik dengan  ART|JOG  yang diadakan tahun lalu, karena karya seni yang dipamerkan sangat aktual dan syarat nilai-nilai refleksi baik itu permasalahan sosial, ekonomi, politik ataupun budaya itu sendiri. Tema yang ditampilkan pada  ART|JOG|12  kali ini yaitu “Looking East: A Gaze upon Indonesia Contemporary Art artinya Art-Fair ini diangkat sebagai suatu upaya untuk (kembali) mencari dunia (yang disebut) timur; sebagaimana dahulu negara-negara Barat berlomba-lomba mencari hasil bumi dan bahan mentah sampai di kawasan Timur, termasuk Indonesia. Acara ini seolah-olah menunjukkan keadaan Indonesia dari kacamata para seniman.

Pintu masuk TBY yang juga dijadikan buah karya berjudul "The Lost Vegetation" karya Joko Dwi Avianto, merupakan simbolisasi vegetasi "hutan" yang berubah wujud bahkan hilang. 

Karya yang dipamerkan di depan pintu masuk Taman Budaya Yogyakarta berjudul, "Hope and Hold" karya I Made Widya Diputra, sebuah kritik terhadap bangsa Indonesia. Negara yang kaya akan pangan tetapi masih banyak warganya yang tidak sejahtera ibarat 'Kelaparan di Lumbung Pangan' divisualisasikan melalui gajah yang mati kehausan diantara tumpukkan kelapa (air kelapa). 

Pada dasarnya  ART|JOG|12  dibagi menjadi tiga seksi yaitu art fair, commission work dan special presentation. Pada seksi commission work akan tampil tiga seniman yaitu I Made Widya Diputra, Joko Dwi Avianto, dan Angki Purbandono. Sementara special presentation menampilkan Ashley Bickerton (AS) dan Wim Delfoye (Belgia). Perhelatan seni ini  menampilkan karya-karya seniman pemula dan senior.


sebuah karya, perpaduan antara wayang dan robot


conscience (suara hati)


Karya ini berjudul "They Say, Upright to me, Upside Down to you" karya Ivan Sagita, merupakan wujud alam sadar yang menggerakan individu-individu.

Laksmi Sitaresmi menciptakan karya ini untuk menerangkan bahwa gajah merupakan simbol kekuatan yang bermartabat, di karyanya tersebut gajah yang memiliki payudara banyak menjadi sebuah harapan bagi kediriannya untuk menjadi seorang perempuan yang  berguna dan berlaku adil bagi semua terutama anak-anak, karya ini diberi judul "The Rhythm of the Balance of My Life".

Karya Endang Lestari berjudul "Blow Me (I want to be primitive without culture)" merupakan kisah meniup yang dikenal di berbagai kisah reliji dan mitologi. Ini merupakan salah satu karya yang menjadi favorit saya, karena ssangat detail dan mengena. 

 replika tempat jenazah

Bagi saya  ART|JOG|12  ini menarik untuk dinikmati, kita bisa berefleksi sebagai bangsa besar yang telah banyak mengalami peristiwa yang patut untuk dokumentasi. Para seniman berupaya untuk divisualisasikan melalui karya-karya seni yang diimbuhi banyak kritik, misalnya dalam sebuah lukisan yang dipenuhi oleh branch atau merk dagang kemudian ada tulisan "Hello, rich people...!".

lukisan merk dan brand: Hello rich people..!! Merupakan sindiran terhadap kesuksesan perusahaan-perusahaan besar dalam sistem kapitalisme.

penggambaran kekuasaan perempuan yang ironis

Berjudul "Wayang Lakon Terwelu Girl Band" karya Agustina Tri Wahyuningsih, sebuah kritik terhadap fenomena menjamurnya Girl Band dan Boy Band di Indonesia



lukisan dua wajah, yang jika dilihat dari kanan tanpa topeng dan jika dilihat dari kiri menggunakan topeng, seolah-olah cermin sikap dan perilaku manusia.

kaki kuda dan jas

Berjudul "The Wild and The Beast" karya Sri Astari, pengambaran bahwa dari setiap diri manusia terdapat kekuatan naluri alamiah, semangat kekuatan dan indera mengenali yg jernih, perempuan liar yang mewakili naluri alamiah. Sedangkan komodo merupakan pengambaran hewan liar dan langka yang menapaki pantai-pantai kehidupan.



Berjudul "Mythic Airways" karya Pintor Sirait, sebuah refleksi untuk memahami mitologi dasar budaya Indonesia, mengambil sejarah ringkas industri dirgantara Indonesia sebagai sebuah metafora untuk menyampaikan pola-pola budaya cetakan secara mendalam yang ditampilkan melalui judul-judul bermacam-macam media cetak.


Karya Adi Panuntun ini berjudul "Constellation Neverland", penggambaran kerinduan akan hujan dan salju diwujudkan dengan pembuatan lingkungan artifisial. Semua ini diwujudkan untuk membangun suasana hati penontonnya sehingga dapat mempengaruhi pengalaman emosi dan pikiran-pikiran manusia.

Merupakan gerobak yang ditarik oleh kuda, namun seekor kuda tersebut hanya divisualisasikan melalui ekor-nya yang dapat bergerak-gerak setiap beberapa detik. Sehingga jika didekati cukup mengagetkan.


Video ini menggambarkan lukisan yang terbakar, tertiup angin, dan disiram hingga luber namun tetap kembali eksis seperti semua. Perwujudan semangat yang tak hilang meski menghadapi berbagai tantangan.

Penggabungan antara lukisan dan video. Tentu tahu ini objek dari karya ini merupakan mata dan bibir indah dari aktris Hollywood, Angelina Jolie. Menonjolkan sisi-sisi keindahan perempuan yang biasa dinikmati secara visual.  

Lukisan wajah perempuan berbagai ekspresi, lukisan ini cukup unik karena lukisan ini timbul serta memiliki ekspresi kuat yang cukup mengerikan.


Foto Marilyn Monroe yang dibuat dari tuts-tuts aksara berbagai bahasa, bahkan jika dilihat secara jeli ada yang merupakan aksara jawa.


Hasil fotografi unik yang memadukan antara hal biasa dengan hal yang tak biasa.

Sebuah piringan hitam yang disusun dan dipahat hingga membentuk tengkorak.

Berjudul "Red Cycle" karya Erianto, sangat unik dengan roda bersegi enam.

Karya Budi Kustarto bertajuk "On the Move", merupakan penggambaran tubuh manusia dalam patung menghadapi banyak persoalan-persoalan hidup ada yang dipisah-pisah, dikotak-kotakkan selayaknya sebuah barang yang hanya dilandaskan kepentingan hidup semata

Dagadu yang merupakan merk souvenir terkenal di Yogyakarta juga menyediakan souvenir khusus di acara ini.


Para perusahaan yang telah memberikan sponsor dalam terselenggaranya event ART|JOG|12 ini.


pintu keluar ART|JOG|12


Sebetulnya masih banyak karya seni luar biasa yang dipamerkan di ART|JOG|12 ini. Beberapa diantara menyiratkan makna filosofi hidup dan menunjukkan realitasnya kepada manusia dan khalayak. Bagi para pengunjung, ART|JOG|12 bukan saja sekedar arena transaksi jual beli karya seni. Lebih dari itu, ART|JOG|12 menawarkan ruang pertemuan dan interaksi langsung antara karya seni, seniman, dan publik seni dari beragam latar belakang profesi dan geografis, yang disatukan dalam satu peristiwa: pengalaman artistik yang unik dan eksklusif, yang tidak akan bisa tergantikan di tempat atau kegiatan lainnya. Maka memang  sangat berkesan jika bisa datang langsung mengunjungi event ini. Untuk informasi lebih lengkap bisa juga membuka website resminya di artfairjogja .


enjoy~

M.
Yogyakarta, Juli.