Sabtu, 24 November 2012

Membaca Cerpen: Pada Satu Bangku di Dunstable Downs

Hari itu rasa jenuh kembali muncul, di kantor ini rutinitas selalu saja sama. Setiap tepat pukul 12.00 siang tiba, tak ada yang keluar kantor untuk membeli makan siang. Mereka semua telah menyiapkan bekal masing-masing dari rumah. Di kota Luton, orang kantoran lebih memilih membawa bekal. Alasannya, mereka harus kembali kekantor tepat pukul 12.30. Sementara membeli makan siang diluar lebih mahal dan harus menunggu antrian panjang. “Tidak enak rasanya kembali ke kantor terlambat”, ujar Matt kepadaku. 

Matt adalah seorang key worker di tempat ini dan sekaligus bosku. Dia berperawakan gendut kulit putih. Dia lahir di London dan memilih menetap di Luton setelah bertemu dengan pacarnya, Joey. Matt orang yang baik dan pengertian, ketika aku hendak kembali ke Indonesia. Dia menghadiahiku kumpulan puisi bahasa Inggris terfavorit di Britania Raya edisi BBC. Dia mengetahui bahwa aku suka sastra, hanya karena aku sering mengutip salah satu puisi terkenal berjudul She walks in Beauty karya sastrawan Inggris bernama Lord Byron. Aku tak menyangka dia juga amat menyukai puisi itu. Sejak itu terus saja dia memberitahuku mengenai puisi-puisi yang masyhur lainnya tapi tentu saja aku tak pernah tahu. Aku mengetahui puisi She Walks in Beauty ketika aku berada di bangku Madrasah. Puisi itu sering dipakai lomba membaca puisi dalam bahasa Inggris, aku pernah mengikuti lomba semacam itu walaupun aku tak pernah menang. 

Setelah makan siang usai, kami segera melanjutkan pekerjaan masing-masing. Aku disana bekerja bersama work partner untuk membuat film dokumenter tentang kota Luton. Proyek kecil-kecilan untuk mendokumentasikan tentang suasana multikultur di kota Luton yang begitu erat. Dan aku mendapat bagian mengerjakan naskah dan mengatur jadwal untuk wawancara dengan narasumber dalam film itu. Naskah skenario film dokumenter yang aku tulis ini entah mengapa tak selesai-selesai. Aku merasa begitu jenuh dan sulit mendapatkan ide kala itu. Aku khawatir bahkan sampai waktu aku pulang ke Indonesia nanti, naskah film dokumenter ini juga tak usai. Tiba-tiba temanku satu proyek datang memintaku untuk melanjutkan pengambilan gambar, tentu saja tempat pengambilan gambarnya harus menarik, untuk itu perlu mencari sedikit inspirasi pengambilan gambar. Aku tentu saja tidak menolak ide itu. Akan lebih menyenangkan jika bisa berjalan-jalan ke suatu tempat dari pada berdiam diri di kantor. 

Lalu kukatakan pada Matt bahwa kami membutuhkan beberapa objek menarik tentang Luton. Dia memberikan kepada kami banyak opsi tempat seperti Wardown Park atau Stockwood Museum, sebetulnya aku sudah beberapa kali ketempat itu. Tak lama kemudian dia menyarankan pada kami Dunstable Downs atau Woburn Abbey. Setelah lama berdiskusi akhirnya kami memilih pergi ke Dunstable Downs, karena nampaknya pergi ke Woburn Abbey harus menempuh waktu lebih lama untuk sampai kesana. Padahal aku sangat ingin pergi ke sana, aku membayangkan pemandangan tempat itu seperti rumah dan pekarangan milik keluarga bangsawan Inggris bernama Mr. Darcy di film Pride and Prejudice. Film romantis favoriteku. 

Jalanan menuju Dunstable Down memang menanjak meski tidak terjal. Beruntung kami pergi diantar dengan mobil sehingga tidak harus menggunakan angkutan umum, karena sudah dipastikan kami harus berjalan sangat jauh. Ketika sampai di puncak, aku baru menyadari bahwa tempat ini memiliki pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit yang terbentang luas. Melambung di atas padang rumput yang mempesona. Ini benar-benar indah. Dunstable Downs adalah daerah dengan titik tertinggi di Bedfordshire. Dengan bukit-bukit sedikit landai terdapat tempat khusus yang disediakan untuk olah raga angin, layang-layang terbang atau yang disebut juga gliding. Punggungan angin yang menyapu menjadi kondisi ideal untuk berbagai olahraga layang-layang terbang. Pada hari-hari libur konon tempat ini biasa dijadikan tempat piknik yang menyenangkan. 




Disana sengaja disediakan bangku-bangku taman yang permanen, agar orang-orang yang datang bisa duduk sambil menikmati pemandangan yang indah dan hamparan bukit yang menawan. Tak sedikit pula pasangan-pasangan yang datang dan duduk-duduk disana.

Ketika aku duduk di bangku itu, aku merasakan suasana yang begitu romantis. Di setiap bangku terukir nama sepasang kekasih yang nampaknya sudah lama meninggal dunia. Sekelompok orang sengaja mengukir nama-nama orang tertentu agar selalu terkenang di bangku itu. Juga untuk menunjukkan perasaan betapa berartinya mereka yang telah pergi itu, konon nama mereka yang terukir disana akan bersama-sama bahkan sampai di surga. Harapan tentang suatu keabadian.

Kemudian ide gila ini muncul begitu saja di kepalaku. Aku tuliskan namaku dan namamu disana, sambil melirik kekanan dan kekiri karena takut ada orang yang menangkap basah apa yang telah aku perbuat. Aku sematkan nama kita berdua, entah bagaimana jiwa vandalisme itu muncul hanya untuk berusaha mengabadikan nama kita berdua. Mungkin ada sebersit rasa rinduku yang mengumpal kuat kepadamu. Lalu setelah usai, diam-diam aku berharap dua nama itu tetap ada disana-pada satu bangku di Dunstable Downs. Tanpa pernah tahu sampai kapan...



M.
Yogyakarta, November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar