Selasa, 31 Desember 2013

Membaca Perempuan Lain (4)

"Lubuk hati manusia itu dalamnya tiada terduga-duga. Kita sangka sudah tiba pada dasarnya, akan tetapi masih lebih dalam lagi." 
Barangkali tidak salah jika Mochtar Lubis mendeskripsikan perasaan perempuan seperti itu dalam cerpennya yang berjudul "Perempuan". Mungkin begini, kebanyakan perempuan memilih untuk memaafkan laki-laki yang sangat dia cintai meskipun sudah berkali-kali disakiti tapi tidak laki-laki. Bisa saja seorang perempuan menunggu sang Kekasih sampai puluhan tahun tanpa ada laki-laki lain disisinya, tetapi sulit bagi seorang laki-laki jika hanya hidup dengan menanti satu perempuan saja sepanjang hidupnya. Saya katakan sulit, bukan berarti tidak mungkin. Saya baru paham hal semacam ini setelah akan menikah, karena seringnya laki-laki itu kelimpungan setengah mati jika harus menghadapi hasrat seksualnya yang  tinggi, yang mana sebetulnya merupakan anugerah tiada tara yang pernah diberikan Tuhan kepada manusia-para lelaki, hal yang patut mereka syukuri.

Bulan Desember ini, kota Yogyakarta menjadi semakin sulit dikenali. Terkadang hujan deras, namun hawa tetap panas. Terkadang langit terang, namun hujan datang tiba-tiba. Terkadang langit begitu mendung, namun rintikan hujan tak kunjung datang. Saat itu pula, entah mengapa jalan hidup ini juga semakin sulit dikenali. Kita tentu harus pandai mengenali diri sendiri sama seperti kita mengenali kehidupan kita. Namun ternyata membaca kehidupan itu lebih sulit dari yang pernah aku duga. Hujan deras telah berlalu, kini yang bersisa hanya rintikannya saja. Jika bukan karena hujan, mungkin aku tak akan punya waktu untuk berbicara dengan perempuan cerdas yang ada dihadapanku ini, Pembicaraan kami bermula karena menunggu hujan reda, sehingga kami dapat pulang ke rumah tanpa perlu berbasah-basah.  

Awalnya aku menceritakan kepada perempuan itu bahwa mungkin aku akan segera menikah. Dia sama sekali tidak kaget bahkan tidak terlalu antusias. Seolah-olah dia membaca keraguanku akan keputusan untuk segera menikah. Perempuan itu sudah berkepala tiga dan masih belum menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk menikah. Ada sekelumit penasaran dalam kepalaku tentang keputusannya itu. Dia cantik dan menarik, aku bisa melihat dari kepribadiannya ketika pertama kali bertemu, tidak akan terlalu sulit untuk mencari laki-laki yang mau dengannya. 

Kemudian dia melayangkan imajinasinya tentang pernikahan dan apapun yang dia benci tentang laki-laki yang selalu menjadikan pernikahan sebagai hal menyelamatkan mereka dari kebutuhan seksual. Hanya saja memang dia perempuan aktivis sekaligus aktivis perempuan. Dosenku pernah menjelaskan secara detail tentang apa perbedaan 'perempuan aktivis' dan 'aktivis perempuan'; perempuan bisa sekaligus menjadi keduanya jika mereka memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita, tetapi laki-laki bisa menjadi aktivis perempuan jika mereka mau. Lagi-lagi gender. 

Kami pun membicarakan tentang kasus seorang penulis sekaligus sastrawan yang terlibat skandal dengan mahasiswinya yang sedang menulis tugas akhir di kuliah yang kebetulan tentang karya sastranya. Kemudian sastrawan itu justru memanfaatkan mahasiswi itu. Begitulah yang ditulis di koran-koran online dan majalah bulanan. "Kenapa mahasiswi itu mau ya? Bukankah dia sudah tahu bahwa sastrawan itu sudah beristri apalagi beranak pinak?" tandasku menanggapi obrolan kami. 
"Sastrawan itu pasti mempesona bagi dunia mahasiswi yang masih terlampau hijau itu" jawabnya dingin. 
"tapi tetap saja, melibatkan hubungan seksual hanya demi pengalaman penting dalam hidup tanpa ada komitmen yang jelas? aku tak pernah mau mengorbankan diri sejauh itu?" Lebih jauh lagi, agama melarang itu dengan jelas. batinku.
"Begitu ya? Masa' sih?"
Aku hanya diam saja melihat mukanya yang masam.
"Aku pernah mengalami hal yang sama seperti mahasiswi itu. tapi pengalamanku tak berakhir seburuk itu. tetap saja itu buruk dalam perjalanan hidupku".
Perempuan adalah makhluk yang mengandalkan emosinya. Jelas sekali bahwa dia tidak akan melakukan hal-hal tertentu yang membahayakan kehidupannya jika dia tidak mengalami hal yang menyeret emosinya lebih dalam. Sedalam apa? itulah yang masih menjadi pertanyaan bagi saya, yang mana seorang perempuan dan juga Mochtar Lubis yang seorang laki-laki yang sangat ingin mengerti tentang perempuan. 
Saya sebetulnya tidak heran mendengarnya berkata demikian. Pengambarannya sudah sangat jelas, dia seorang perempuan yang berasal dari keluarga yang memiliki budaya patriaki tinggi. Menjadi resisten, feminist dan frontal sedemikian rupa pasti merupakan wujud sikapnya acuh tak acuh terhadap masyarakat yang menekan dan melibatkan emosinya begitu dalam. 

"Barangkali Direktur sendiri akan kaget jika mengetahui aku pernah menjadi perempuan simpanan" sambungnya dengan penuh kemenangan. "akan lebih baik jika tidak ada yang mengetahui tentang itu di kantor".
Bagaimana bisa? batinku sedikit penasaran.
"Laki-laki itu terlampau mempesona dengan segala yang dimilikinya" lanjutnya. "Sehingga perempuan seperti aku, yang kala itu masih polos dan lugu menjadi buta dan sangat rapuh--fragile." 
Perempuan menyangkut pengalaman buruknya terkadang bisa menjadi permisif jika melibatkan emosi yang mendalam. 
"Sekarang kita analogikan dengan mahasiswi itu, kita sama-sama setuju kan dia adalah 'korban'?" 
"Ya, ya" jawabku yang berarti setuju bahwa dia juga merupakan 'korban' dari laki-laki entah siapa. 
"Begini, untuk mahasiswi yang baru akan lulus itu, bayangkan saja jika sastrawan itu, si predator itu, membawanya ke sebuah acara khusus untuk para penulis-penulis terkenal seperti Goenawan Muhammad, Ayu Utami, bertemu dengan orang-orang seperti itu--dia seperti berada diatas angin, sambil bergumam 'betapa hebatnya laki-laki ini berkumpul dengan penulis-penulis hebat; atau mengagumi dirinya sendiri sehingga mampu mendapat laki-laki hebat dalam pelukannya kira-kira seperti itu" 
"Ya aku mengerti"
"Dan perasaan seperti itu membuatnya lupa akan realitas buruk yang dia akan alami"
"Dia tidak memikirkan resikonya?"
"Buta!"
"Ya seperti itu" kataku membenarkan analoginya.
"Aku dulu juga seperti itu, dibawa bertemu kurator-kurator terkenal, datang ke pameran-pameran khusus dengan undangan VIP, rasanya seperti diatas angin" Katanya dengan sedikit nada menyesal. "Untungnya aku cepat sadar apa yang sebenarnya dia inginkan sebelum hal buruk terjadi".
Aku hanya tertegun. 
"Dia juga punya istri dan anak lho" tambahnya "Hanya aku tidak tahu awalnya".
"Kok jadi tahu?"
"Aku telpon dia, dan istrinya mengatakan bahwa suaminya sedang ada dikamar mandi" jelasnya "betapa kagetnya aku mendengar perempuan itu menyebutnya dengan kata 'suamiku' kan?".
"Setelah itu kalian putus?" tanyaku.
"Enggak" jawabnya sambil meringis "dan itulah kesalahanku sekaligus kebodohan, bermain-main dengan api".
Aku masih ingin tahu kelanjutannya, batinku.
"Kala itu dia begitu mempesona, dan sekarang begitu menjijikan" katanya penuh kebencian. 

Kata "menjijikan" itu menyiratkan akan makna lebih dari sekedar kebencian. Dilukai, dikhianti dan terlebih lagi masih terus menerus disakiti dan dipermainkan. Jika merunut apa yang diungkapkan Mochtar Lubis tadi. Sampai tahap apa sebetulnya emosinya telah disentuh laki-laki itu, mengapa begitu traumatis? 

Lamunannya melayang jauh. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu tentang pernikahanku.
"Aku bahagia jika akhirnya kamu memutuskan untuk menikah dengan laki-laki baik itu. Sebetulnya begini, seorang laki-laki datang menyatakan diri untuk mengajakmu menikah itu sudah cukup baik"
"Maksudnya?"
"Sebab setiap diri laki-laki itu ada sifat predator terhadap perempuan seperti sastrawan itu. Ketika laki-laki itu menikah, berarti dia sudah mengakhiri pemburuannya ketimbang laki-laki yang terus menerus menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan yang mereka sukai tanpa ada ikatan yang pasti, terus mengincar perempuan-perempuan. Itu sebabnya lelaki yang memutuskan menikah itu adalah lelaki yang memiliki niat baik dan ingin bertanggungjawab, he's good enough" katanya mengakhiri pembicaraan diantara kami. 

And good enough is good enough, pikirku.

M.
Yogyakarta, Desember 2013

Kamis, 19 Desember 2013

Membaca ‘Arab’ Lewat Biennale Jogja XII Equator #2

Biennale Jogja XII Equator #2 yang bertema Indonesia Encounters Arab Region dengan tagline “Not A Dead End”. Sebetulnya penuh tanda tanya. Namun bukan seni namanya jika mudah dimengerti. Arab Region dikenal sebagai tempat yang memiliki kesan eksklusif karena dibumbui oleh aturan syariat-syariat agama, terutama Islam. Bagaimanakah budaya Arab mengekspresikan dirinya dihadapan sebuah sistem penegakan syariah yang begitu ketat? Membaca pameran ini sepertinya akan menemukan banyak hal yang menjadi jeritan dari seniman-seniman Arab Region di negara asalnya. Meskipun ada beberapa karya dari seniman-seniman Indonesia yang sangat menarik untuk dinikmati. 

courtesy photos by @narastika

Benar saja, sesampai di Jogja National Museum, ada banyak karya seni yang menurut saya merupakan sebuah kritik terhadap kekuatan Arab. Bagian Arab banyak menjadi tempat-tempat suci sehingga menjadi simbol kesyakralan agama. Melanjutkan tanda Tanya, mengapa ‘Arab Region’ bukan ‘Middle East’?  padahal jika ingin menilai dari letak geografis, istilah-istilah semacam Middle East tentu terdengar jauh lebih geografis. Maka saya menduga disini ada kekuatan Arab sebagai magnet tertentu. 


Karya dengan judul "Taman Berbulan Kembar (Garden with Twin Moon)"  oleh Eko Nugroho yang berkolaborasi dengan Daging Tumbuh.

Karya Eko Nugroho yang berwujud; patung dengan menggunakan mukena (semacam alat sholat bagi perempuan) diletakkan dihadapan dinding bertuliskan Hypocrite dengan samar di tembok, sebuah kritik akan suatu sistem yang seolah religius namun secara sembunyi-sembunyi menjilat sistem itu sendiri. Maka yang terlihat oleh mata adalah keindahan dari simbol religious, sementara yang samar-samar ya 'Hypocrite'.

Kita harus bersikap bijak dalam menghadapi realitas yang kerap muncul dari hubungan mispersepsi ajaran dan problematika yang muncul di masyarakat. Tentu kerap mendengar istilah yang Arabisasi, beberapa intelektual semacam sejarawan Phillip K. Hitti atau ulama Gus Mus sering menyitir, “Islam itu bukan Arab”. Meski Islam lahir dan tumbuh di tanah daerah Arab, tidak lantas semua budaya Arab merupakan serta merta ajaran Islam, begitulah kira-kira.

 M.
Yogyakarta, Desember 2013.

Sabtu, 14 Desember 2013

Membaca Mobilitas Manusia dalam “Biennale Jogja XII Equator #2”


photos courtesy of @narastika

Ketika saya memasuki Terminal BJXII Equator #2 di Taman Budaya Yogya (TBY) satu dari lima venue Biennale Jogja, seperti biasa karya seni selalu menunjukan daya tarik tersendiri, saya melihat Tim Artistik dari perhelatan pameran seni rupa ini sengaja mendesain ruangan galeri seperti sebuah Bandara. Saat itulah saya menyadari mengapa disebut Terminal dan arti kata “Welcome to Airport” di salah satu graffiti beranda sebelum memasuki Galeri TBY. Selayaknya memasuki sebuah airport tempat dimana orang datang, pergi dan bersinggah sejenak dari sebuah perjalanan panjang, airport mungkin juga mencerminkan mobilitas dari manusia itu sendiri. Maka, saya pun menerka-nerka; kearah Gate nomor berapa saya harus menuju?



Yang paling saya suka dari mengujungi pameran seni rupa adalah selalu ada makna yang dari setiap karya seni yang dibuat oleh para seniman. Sembari menebak-nebak imajinasi sang seniman, saya hanyut dalam pesan yang muncul dari karya seni tersebut. Saya termasuk orang yang cukup awam dengan dunia seni rupa, tetapi bisa dibilang menyukai dunia tersebut. Sebut saja, penikmat seni rupa. Outliners

Karya yang cukup menarik yaitu Berjudul “Deru” karya Ugo Untoro, Kaki-kaki kuda yang sengaja di pasang di langit-langit Galeri TBY. Sedari awal saya sudah menduga kaki-kaki Kuda itu merupakan kaki asli, karena bentuknya begitu mirip. Namun teman saya mengatakan itu hanya kayu yang dibentuk kaki kuda, sampai saya menemukan sebuah artikel yang menyatakan bahwa puluhan kaki kuda itu betul-betul asli. Memang sangat mengecoh, untuk apa sang seniman harus mengumpulkan kaki-kaki itu? Kuda adalah hewan tunggangan kuat yang berpengaruh bagi mobilitas manusia di masa lalu.  Melihat kaki-kaki di langit-langit itu seperti melihat kuda-kuda kuat berlarian dalam pikiran saya. Menderu; Gedebak...gedebuk...gedebak...gedebuk. Karya seni itu cukup meninggalkan kesan yang mendalam akan keberadaan kuda dalam realitasnya. 

Karya instalasi berjudul "Deru" oleh seniman Ugo Untoro

Karya lain cukup menyita perhatian adalah adanya loker, loker, dan lagi-lagi loker dibeberapa tempat pameran Biennale Jogja XII Equator #2. Sama. Pertanyaan menarik adalah apa maksudnya? Loker-loker tersebut sebuah karya seni dengan judul “100 Moving Numbers” karya Syagini Ratna Wulan yang menunjukkan bahwa satu tempat berkesinambungan dengan yang lain. Di dalam loker tersebut juga terdapat benda-benda sederhana yang kadang muncul dalam kehidupan kita sehari-hari. Sembari ada kartu pos di dalam setiap loker yang berisi nomor dan memberikan narasi tertentu. Sekali lagi, ini semacam menumbuhkan imajinasi bagi para penikmat seni seperti saya. 


Karya seni dengan judul “100 Moving Numbers” karya Syagini Ratna Wulan


Acara ini diselenggarakan pada 16 November 2013 sampai 6 Januari 2014, bagi belum sempat mengunjungi, tidak ada salahnya jika ingin meluangkan waktunya sejenak untuk menikmati karya seni. Beberapa diantara Karya seni yang ditampilkan telah memberikan impuls; membuka mata, hati dan pikiran bagi setiap pengunjung yang menikmatinya. 

M.
Yogyakarta dan Hujan di Akhir tahun 2013.