Senin, 26 November 2012

Membaca Doa untuk Ibu

Mungkin tulisan ini akan seperti keluh-kesah saja. Namun izinkan aku meluapkan tentang sesal yang begitu berkecamuk dalam hati selama seminggu ini. Tentang seorang perempuan yang begitu berpengaruh dalam hidupku, Ibu. Begitu besar keinginanku untuk mewujudkan impiannya-impian kami bersama. Namun aku justru terlunta dalam bias mimpi-mimpi itu. 

Hari itu aku baru selesai kelas Hukum Perdata Internasional. Diskusi menarik selama di kelas membuatku melupakan getaran-getaran handphoneku yang sedari tadi sudah aku rasakan. Selesai kuliah aku menyempatkan diri untuk mengecek daftar pesanku, kulihat beberapa sms dan panggilan tak terjawab dari bapak. Dia berusaha mengabariku bahwa ibu masuk rumah sakit dan masih di UGD. 

...

Tak ada seorang pun di dunia ini yang senang melihat orang yang benar-benar kita cintai menderita. Melihatnya terbaring lesu tak berdaya pada ranjang besi dengan pipa saluran infus, pemandangan itu benar-benar membuat hatiku terluka. Ada semacam ketakutan besar yang mencekam dalam lubuk hatiku meski aku tak pernah ingin tahu alasan apa yang mendasarinya. Ingin rasanya ku tepis semua pikiran-pikiran buruk itu. Tubuhnya yang semakin lemah, rambutnya yang telah putih dan kulitnya yang juga telah keriput membuatku semakin menyadari bahwa ibu sudah semakin tua. Rapuh. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa disampingnya. Nafasnya terdengar berat dan teratur, aku benahi selimut yang membelit tubuhnya dengan acak-acakan. 


Ibu sudah berumur 62 tahun, dia berumur 40 tahun ketika melahirkanku di dunia, umur yang penuh resiko untuk melahirkan. Beberapa dokter yang ada saat itu mengatakan hal sama, namun ibu tetap istiqamah dan siap dengan apapun yang akan terjadi. Ibu mana yang tak rela berkorban demi anaknya? 

Sejujurnya, aku tak begitu dekat ibu. Kami berbincang-bincang, curhat, membicarakan banyak hal tetapi aku tak benar-benar bercerita sepenuhnya. Terkadang ada beberapa rasa yang aku pendam dan tak kuutarakan secara langsung, terutama tentang cinta. Aku begitu tertutup. Ibuku pun menyadari hal itu. Maka ketika berbicara tentang laki-laki hanya nasehat-nasehat saja tentang bagaimana lelaki yang baik itu. Sifat tertutupku tentang cinta semakin menjadi-jadi ketika tiga tahun lalu. Ibu tak merestuiku dengan lelaki yang aku pacari dan berulang kali membandingkannya dengan lelaki lain yang pernah dekat denganku sebelumnya. Aku menjadi ragu dengannya dan membuatku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Alasan lain mungkin karena semenjak aku memasuki pondok pesantren di Garut. Kami tak banyak berkomunikasi. Ibu jarang sekali mengunjungiku selama enam tahun di sana, mungkin bisa dihitung berapa kali ibu sempat mengunjungiku. Padahal saat itu adalah masa-masa dimana aku tumbuh dewasa. Terkadang aku ingin marah. Rasanya seperti diasingkan. Bahkan semenjak taman kanak-kanak, ibu jarang sekali mengantarkan aku ke sekolah selayaknya ibu teman-temanku sementara rumah mereka juga dekat, aku hanya diantar sampai jalan raya. Akhirnya aku hanya bisa meminta tukang becak di depan rumahku untuk membantu menyebrang di jalan raya itu. 

Tentu saja aku mencintai ibu. Hanya saja aku tak menunjukkannya secara langsung. Diam-diam aku selalu mengagumi ibuku. Dia cantik dan cerdas. Konon ketika dia muda ada begitu banyak lelaki yang mengejar, bahkan sederat nama lelaki yang saat ini terkenal pun ada beberapa diantaranya yang pernah menaruh hati pada ibu. Dia juga sangat aktif berorganisasi, tegas, dan selalu penuh semangat. Ibu senang menulis artikel di koran lokal untuk menyuarakan aspirasinya secara pribadi, dan setiap kali tulisannya dimuat, aku selalu mengklipingnya dan menjadikan tulisannya sebagai inspirasiku. Kini apa yang ditanamkan ibu dalam hidupku begitu menancap kuat dalam benakku, semua nilai itu adalah tentang makna akan hidup mandiri. Betapa pentingnya bagi seorang perempuan untuk hidup mandiri dan kuat. Dulu hal yang kadang membuatku heran adalah entah mengapa ibu memilih bapak. Aku tak mengatakan bapakku bukan lelaki yang baik. Bapakku hanya seorang anak Kyai, miskin, dengan wajah biasa-biasa saja dan saat itu bapak juga belum berpendidikan tinggi. Baru akhir-akhir ini aku mengetahui bahwa ibu begitu mementingkan aspek agama dan kesederhanaan. Ibu bisa saja mencari lelaki lain yang lebih tampan, kaya, anak orang terkenal atau juga lebih pintar. Tapi jika itu terjadi mungkin aku takkan ada di dunia ini. Jadi memang itulah takdir. 

Hubunganku dengan ibu menjadi dekat kembali semenjak beberapa bulan yang lalu. Ibu telah selesai kuliah teori dibangku S2 sejak tahun 2006 namun belum resmi karena belum menyelesaikan tesis-nya. Semenjak aku menulis skripsi, ibu juga menjadi antusias untuk ikut menyelesaikan tesis-nya sehingga kami bercita-cita bisa wisuda secara bersama-sama di bulan Februari nanti. Semangatku juga menjadi terpacu. Aku terus menerus mendorong ibuku segera menyelesaikan dengan berbagai macam cara mulai membantunya mengetik, memberinya motivasi, mendorongnya untuk membaca dan mencarikannya referensi untuk tesis. Terkadang aku memintanya untuk terus terjaga hingga malam untuk membaca buku atau memintanya agar tidak menunda-nunda untuk bimbingan. 

Bodohnya, aku tak pernah menyadari apapun. Aku tak pernah menyadari bahwa aku telah mendorongya terlalu keras hingga akhirnya ibu drop dan masuk UGD. Aku melupakan bahwa ibu tak semuda dan segesit aku. Apa yang dia kerjakan juga lebih banyak dari yang pernah aku bayangkan. Aku memintanya untuk segera menyelesaikan tesis hanya demi acara ceremonial wisuda saja sementara hal itu telah memaksanya mengorbankan kesehatannya dan nyaris nyawanya. Namun demi tuhan apa yang aku lakukan hanya semata-mata karena ingin mewujudkan apa yang telah kami berdua impikan. Ibu maafkan aku. I'm sorry if I'm not a good daughter for you. 



Ingin kudekat dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku 
Dengan apa membalas.. 
Ibu.. 
Ibu...


Suasana hatiku ini membuatku terngiang-ngiang tentang lagu Iwan Fals yang berjudul Ibu dan membuat aku semakin begitu merasa bersalah. Ya Allah sembuhkan ibuku. Bantulah dia untuk menjadi sehat dan mampu bangkit kembali tak peduli kami mampu wisuda bersama atau tidak. Aku hanya ingin ibu tetap hidup lebih lama agar aku mampu membalas semua yang telah dia berikan.




M. 

Hari dimana hujan tak kunjung berhenti, November 2012.

1 komentar:

  1. Tulisan yang indah mengenai ibu.
    Terimakasih sudah berbagi tentang indahnya kasih sayang ibu.

    Izinkan untuk sedikit meneteskan air mata membaca bait demi bait dari tarian jarimu ini

    BalasHapus