You may ask, can we face reality? can we do the right thing? All of those questions always make us worry, even learn to face reality can spend more time doing something constructive about things that you have control over.
Akhir-akhir ini aku sering datang ke pengadilan negri dan entah mengapa suasana di pengadilan selalu membuatku semakin dekat dengan pahitnya realitas. Orang-orang berlalu lalang, sibuk kesana kemari dengan wajah yang penuh kegelisahan. Sikap itu ditunjukkan dengan beberapa orang yang sibuk mengecek hp, membolak-balik berkas-berkas penting, kulihat juga seorang lelaki disudut ruang tunggu tak henti-hentinya merokok demi menghilangkan kecemasannya yang tak kunjung reda. Belum lagi beberapa polisi yang berjaga-jaga dengan membawa senjata berdiri dengan wajah serius di depan pintu masuk pengadilan. Suasana seperti ini memang selalu penuh dengan tekanan.
Hari ini aku juga harus mengikuti monitoring persidangan di salah satu pengadilan negri di provinsi DIY. Paling tidak sedikitnya aku harus mengikuti lima kali persidangan dan meminta tanda tangan pak Hakim sebagai bukti bahwa aku telah mengikuti jalannya persidangan. Ini membuatkan sering berada di Pengadilan menunggu untuk beberapa jadwal sidang yang kadang juga tak pasti dan bolak-balik untuk mengurus berkas.
Aku sendiri sudah hampir satu jam menunggu dimulai persidangan perkara perdata yang pertama, persidangan perkara perdata harus selalu menunggu ruang sidang kosong sampai persidangan perkara pidana selesai, bagaimanapun aspek publik harus lebih penting daripada aspek privat. Hasilku bertanya informasi sana-sini, sidang selanjutnya mengenai perbuatan melawan hukum tentang perkara waris dan sengketa tanah. Perkara perebutan harta warisan memang selalu banyak melibatkan penggugat ataupun tergugat. Hari itu yang berperkara adalah kakak yang menggugat adiknya mengenai objek waris yang belum dibagikan akan tetapi si adik sudah menjadikan jaminan agungan kredit di suatu bank. Hal itu terjadi atas inisiatif dari pengurus bank terkait. Persidangan berlangsung cukup menarik karena masing-masing pihak menghadirkan saksi yang memberatkan.
Hari yang sama, aku mengikuti persidangan perdata terakhir di PN berupa pemohonan. Dua orang perempuan sama-sama datang ke PN memohon atas perwalian anak mereka untuk mengurus harta warisan peninggalan sang suami. Awalnya aku tak paham mengapa kedua perempuan itu memberikan saksi yang sama untuk dikabulkannya permohonan tersebut. Bahkan pak Hakim pun juga heran, ternyata mereka adalah istri pertama dan kedua yang sama-sama tinggal di desa yang sama meskipun rumahnya berbeda. Dengan sedikit guyonan sambil melirik ke arahku yang memang sedikit terkejut kalau mereka memang perempuan-perempuan yang telah dipoligami, pak Hakim berkata, “Ini pasti almarhum suaminya ganteng ya? Sampai bisa punya dua istri dan tinggal di kampung yang sama dengan rukun, bahkan mbaknya mahasiswa sampai terheran-heran”. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi apa kata pak Hakim. Aku bahkan memastikan bahwa kedua perempuan tersebut merupakan istri yang sah atau bukan hasil nikah siri dan memang mereka dinikahi dengan sah, ada bukti surat pernikahan yang ditinggalkan. Bagiku, pemandangan yang jarang melihat dua perempuan rukun hasil dimadu, terkadang ada sinisme dalam hatiku, jangan-jangan mereka rukun hanya saat pembagian harta warisan saja tidak di kehidupan sebelumnya.
Beberapa hari sebelumnya aku pun sempat mengikuti persidangan gugatan perdata mengenai perkara perceraian. Begitu banyak orang menginginkan pernikahan tapi disisi lain banyak pula yang justru berakhir dengan perceraian. Meski persidangan berakhir dengan adanya upaya damai dari pihak penggugat (suami) namun tetap saja mengirimkan surat gugatan perceraian juga sudah ada niat untuk bercerai. Akhir-akhir ini aku juga banyak berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang berkaitan dengan berkas-berkas perceraian di Hukum Acara. Beberapa hal memang memberiku banyak pelajaran bahwa pernikahan itu bukan hanya berdasarkan perasaan. Cinta saja tidak akan pernah cukup untuk membangun sebuah keluarga. Sifat manusia yang begitu mudah berubah, lupa, dan terlena dengan apa yang mereka miliki menjadikan komitmen begitu penting untuk menjaga keutuhan sebuah hubungan.
Inilah yang aku katakan dengan pahitnya realitas, hanya demi harta antara kakak-adik saling bersengketa. Padahal mereka berasal dari rahim yang sama, seolah-olah tak ada lagi hubungan darah itu. Atau mengenai perkara perceraian dan poligami, yang memang terasa pahit dan begitu enggan kita membicarakan hal-hal semacam itu meskipun kita juga tahu bahwa hal semua itu bukan hanya cerita bualan, semua itu adalah hal yang mungkin terjadi di kehidupan kita. Meski yang aku ceritakan itu bukan merupakan realita yang harus aku hadapi. Sebetulnya ada banyak hal lain yang harus aku hadapi dan memaksaku untuk berubah. Nobody likes to admit that it is time to change behaviours and attitudes. Yet the time comes where wisdom demands that we acknowledge that what we are doing is not generating the results we want. This is especially true when we know what works because we were doing it long enough to see it work. Yet, out of laziness and foolishness, we stop doing what works and the results we worked so hard to achieve gradually melt away. Semakin kita dewasa semakin kita tahu bahwa hidup tidak akan pernah bisa datar-datar saja. Masalah akan selalu ada. Kita tak akan pernah menyangkal bahwa terkadang pahitnya realita itu adalah bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. This is the reason why I’m still nervous to face reality. Reality does sucks. But here's the things is looking at reality does not mean giving up hope. It's where you find hope in what you can change...and not trying to change others.
M.
Yogyakarta, November 2012.