Kamis, 18 Maret 2010

Secangkir Cinta dan tentang Kota Wina, di Austria


Kamu ingat, sebuah negeri di sebelah barat negara Swiss. Negeri itu bernama Austria. Sebuah negeri yang kecil memang. Namun begitu menawan, penuh dengan keindahan nuansa seni yang begitu tinggi. Yang paling aku ingat tentang negeri ini adalah kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart pada tanggal 27 Januari 1756 di Salzburg, tentang lahirnya Adolf Hitler sang diktator, juga tentang kelahiran Johann Strauss pencipta musik-musik Walza. Hm, Austria memang memiliki sejarah yang panjang.
Kamu adalah orang yang membuatku sangat terkesan dengan Austria. Gara-gara kamu, aku selalu memimpikan tentang Autria. Aku bergaya di depan monument Carlzu Schwarzeberg, kemudian aku berjalan diantara jalanan Rennwerg menuju Ringstrasee, Wina. Atau mungkin bernostalgia merasakan ‘indahnya’ musik Strauss sambil menyusuri sungai Donau, sebuah sungai terpanjang kedua di Eropa.
Kenapa aku begitu bahagia membayangkan indahnya Austria, walaupun sebenarnya semua itu tak seberapa indahnya. Aku sendiri pun, waktu itu belum mengerti betul tentang Austria, aku tahu betapa indahnya Austria, semua itu gara-gara kamu.
Konon katanya, Austria telah berpenghuni sejak awal zaman Palaolithic dan nama kota Wina berasal dari Vedunia yang sejak tahun 2000 SM sudah didiami suku Kelten, bahkan pada abad XV SM, daerah sekitar sungai Donau dikuasai bangsa Romawi dibawah Kaisar Agustus. Sejauh itukah kamu dan aku tahu tentang Austria. Aku sudah tak ingat lagi yang lain, yang aku ingat hanyalah tiga hal terindah; Aku, kamu dan Austria.
Mungkin orang-orang boleh bicara tentang cinta. Indahnya cinta, perihnya cinta, sakitnya cinta, dan segala-galanya tentang cinta. Tapi bagiku cinta adalah aku, kamu dan Austria. Entah mengapa aku begitu terpesona padamu. Begitu butanya aku tentang mu.
Awalnya, aku sendiri tak peduli tentang cinta. Tapi itulah kamu, yang selalu membuka ruang baru dalam duniaku dan mengenalkan aku tentang Austria juga tentang cinta. Mungkin saat ini aku terlalu meninggikanmu, dengan semua omong kosongku tentang cinta tapi ini semua memang omong kosong. Kita sedang bersandiwara dalam mengungkapkan isi hati, penuh dengan kepalsuan. Jangan pernah memungkiri hal itu. Cinta itu hanya sebuah perasaan, sedangkan kamu adalah alasan mengapa cinta itu ada, bersama semua kenangan manis tentang kota Wina di negeri Austria.
Ketika aku mencoba mengingat kembali tentang sebuah jalan yang dikenal dengan nama Ringstraſse. Sebuah jalan sepanjang 6,5 km dan itu merupakan jalan melingkar, mengelilingi kota Wina. Katanya sih, ini merupakan sebuah pagar benteng bagi kota Wina. Akupun kembali teringat cerita cinta yang kau beri judul secangkir cinta. Kamu ibaratkan cinta itu dengan jalan melingkar itu. Ah, semuanya benar-benar tentang Austria. Bagaimana bisa kau tahu sebanyak itu tentang Austria?
Kamu juga bercerita kalau Franz Ferdinand, putera mahkota kerajaan besar Austria yang diculik dan menjadi salah satu penyebab meletusnya perang Dunia ke I. Pada tahun 1300 M, ia datang ke Indonesia dan membeli keris pangeran Diponegoro. Waktu itu aku tertawa, tak percaya dan menganggap semua itu hanya sebagai lelucon. Namun kamu marah dan berkata kalau cerita itu benar, bahkan keris itu masih tersimpan dengan rapi di museum FÜr Vörkerkunde (museum Etnologi) di Wina. Akhirnya aku percaya. Aku berhenti tertawa dan aku meminta maaf kepadamu. Seandainya saja kamu tahu, aku selalu percaya padamu sebelum kamu menyuruhku untuk percaya padamu, aku telah jauh mempercayaimu…melebihi dari yang kamu sadari.
Namun segalanya berubah.
Kadang segala sesuatu yang kita mimpikan tak seindah dengan yang terjadi pada kenyataan. Aku masih betul-betul ingat kejadian yang membuatku begitu merasa bersalah padamu.
Ketika itu bulan Desember, dimana hujan turun dengan sangat deras. Tiba-tiba kamu menelponku dan mengajakku untuk menonton film musikal, The Sound of Musik. Sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan keluarga Kapten Von Trapp. Setting film ini di Salzburg, sebuah kota yang sangat indah di Austria, yang juga terkenal dengan lukisan-lukisan dan arsitektur indah yang ada di beberapa katedral di Salzburg. Awalnya aku enggak tertarik, karena waktu itu hujan sangat deras dan jujur aja, aku enggak begitu suka dengan film-film seperti itu, tapi kamu memaksa dan akhirnya aku mau, dengan syarat kamu mau menjemputku. Kamu setuju dan akan menjemputku sepuluh menit lagi, tentu saja dengan vespa kuningmu itu.
Kalau menggingat vespa kuningmu itu, aku jadi pengen ketawa. Kebayang nggak sih, gara-gara vespa kuningmu itu. Setiap kali kamu ngeboncengin aku, semua orang yang ada dijalanan tuh pada ngeliatin kita dengan wajah yang, duuuh…so what banget deh! Tapi kamu nggak peduli dan tetep aja bangga dengan vespa kuningmu, yah itulah sifat yang paling aku suka dari kamu. PD banget, polos dan sama sekali nggak peduli dengan apa kata orang, selama kamu enggak ngebuat kesalahan yang fatal, kenapa mesti diomongin? Kenapa mesti dimasalahin? Kenapa mesti diributin? dan menurutku itu bener banget.
Saat itu, aku sudah menunggumu lebih dari lima belas menit. Aku pikir kamu telat karena ada trouble dengan vespa kuningmu itu, jadi yah…aku mencoba tetap sabar aja. Tapi lama kelamaan, jam tanganku ini udah nunjukkin lebih dari dua jam aku nunggu kamu dan kamu belum datang-datang juga. Jelas aja aku kesel banget. Jarak antara rumah kamu dan aku tuh cuma sepuluh menit kalau ditempuh pake vespa. Tapi ini, sudah dua jam lebih belum nyampe juga, jujur aja, waktu itu aku bener-bener ‘kesel’ banget dan aku pun coba buat nelpon ke rumah mu tapi hasilnya, nihil. Sama sekali enggak ada yang ngangkat. Ya sudah! Aku batalin acara ini, aku naik ke kamar dan tidur. Maklum, buat aku tidur adalah solusi yang paling tepat untuk menanggulangi rasa kekesalanku ini, karena kalau udah bangun ‘kan jadi lupa ama segala macam masalah. Dan akhirnya aku pun tertidur, pulas banget.
Tiba-tiba dua jam kemudian, aku terbangun dengan bunyi telepon. Aku angkat telepon itu, dan ternyata dari temenku. Kamu tahu nggak apa yang dia katakan? Dia mengatakan kalau kamu tabrakan. Kamu tabrakan dengan mobil di tikungan jalan Pandanaran, dan jalan itu cuma dua puluh meter dari rumahku. Oh my God! Betapa bodohnya aku! Kenapa bisa aku sama sekali enggak ngedenger bunyi ambulans atau feeling sesuatu pun tentang kamu. Malahan aku ngomel-ngomel enggak jelas dan kesel ama kamu, karena kamu sama sekali nggak datang ke rumahku. Trus aku malah tidur dengan pulas sementara kamu… aku bener-bener stupid!
Aku langsung cabut pergi rumah sakit tempat kamu dirawat. Tapi, sayangnya aku udah telat. Kamu sakit terlalu parah. Kepalamu terbentur trotoar dan kamu lupa, kalau kamu sama sekali enggak pake helm. Kamu hanya pake jas hujan. Celakanya lagi, ambulans terlambat datang karena memang waktu itu hujan turun deras banget. Aku menangis. Kenapa akhirnya malah kamu yang pergi begitu saja?
Semua ini bener-bener ninggalin seribu pertanyaan dan penyesalan buat aku.
Inilah akhir dari semuanya, kamu pergi meninggalkanku dengan semua kenangan cerita-ceritamu tentang Austria. Tapi bagiku semua ini bukan lagi sebuah kenangan. Mimpiku yang kamu ciptakan itu, semuanya telah aku ubah menjadi kenyataan. Kini aku berhasil bergaya di depan monument seorang prajurit penunggang kuda Carlzu Schwardenberg, berjalan di dekat sungai Donau, merasakan angin kota Wina, merasakan masakan khas Austria dan mendengarkan musik-musik Strauss. Hanya saja, mungkin bagimu masih tetap menjadi kenangan.
Kenapa akhirnya aku menikmati kota Wina ini sendiri? Padahal ini adalah impianmu, ini adalah mimpimu, ini adalah obsesi hidupmu dan bermacam-macam harapanmu. Tapi kenapa akhirnya semua ini jatuh padaku? Apakah ini yang disebut dengan takdir?
Jika benar ini sebuah takdir, aku hanya bisa pasrah dan terdiam.
Kini aku menangis. Selama ini, kamulah yang membuatku bahagia, bukan kota Wina ataupun negeri Austria, karena aku telah berdiri disini, di Wina. Namun entah mengapa aku masih tetap menangis, padahal aku begitu mencintai kota ini. Ternyata aku salah, aku keliru. Aku begitu naïf untuk mengakui kamulah yang membuatku bahagia.
Bagiku, kota Wina itu adalah sebuah cangkir dan kamu adalah cinta. Jadi, aku namakan ini secangkir cinta. Seperti yang pernah kamu ceritakan tentang jalan Ringstraſse itu. Sekarang ini, aku hanya akan menjadikannya sebuah kenangan, karena jalan hidupku masih panjang. Maafkan aku cinta. Bukan berarti aku akan melupakan kamu begitu saja. Kamu akan tetap selalu ada dihatiku, walaupun semuanya telah berubah. Tak lagi nyata. Tetapi bagiku kamu akan masih tetap sama.
Seandainya kamu bertanya padaku, kenapa sampai saat ini aku masih sendiri? Jawabannya adalah kamu, kamu adalah alasan mengapa aku masih sendiri dan sekarang, bolehkah aku yang bertanya kepadamu?
Kenapa harus ada cinta jika akhirnya cinta itu menyakitkan?

16: 30

DJOKDJA, 22.12.2005

cerpen tiga tahun yang lalu.
aku sengaja tulis ini buat dikirim ke majalah gadis or kawanku,tapi gak jadi,heu"kenapa majalah itu?? karena gak tahu juga sich...dulu temen-temenku seneng bget baca majalah begituan....walaupun isiny menurutku ya...
kurang cocok dgn kehidupanku..n_n'

1 komentar:

  1. kenapa cinta itu menyedihkan...??
    kamu seperti bertanya mengapa garam itu asin dan gula itu manis...
    cinta membuat kita berpikir sesuatu itu menyedihkan dan menyenangkan, keduanya harus dirasakan supaya kita bisa membedakan, sama halnya ketika putih diciptakan bersamaan dengan hitam, begitulah semuanya berjalan sayang....

    BalasHapus