NURANI itu begitu nyata. Menarikku menuju pintu kebahagiaan. Aku selalu menginginkan perasaan bahagia yang meluap-luap, karena dengan begitu aku merasakan kenyamanan. Namun ditengah-tengah keheningan yang menembus pada kegelapan. Aku merasakan kenistaan, kehinaan, dan kebodohan yang tiada tara. Perasaan seperti itu timbul lebih tepatnya karena aku selalu merasakan aliran darah yang deras, letupan-letupan detak jantung, dan getaran-getaran nadi seribu makhluk. Semua itu dapat aku rasakan.
Walaupun aku tak pernah tahu apa yang terjadi di dunia ini. Tapi aku dapat merasakan ada seribu hati yang hancur. Menangis dalam diam. Tersenyum dalam perih. Aku selalu menangis setiap kali aku merasakan perasaan itu. Apa dayaku? Aku hanya bisa duduk diatas kursi. Mulutku diam pula, penuh dahak yang tak tertelan dan tak terluntahkan. Gerutu itu! Terus terdengar, seolah-olah seperti kaki-kaki yang menghentak-hentakan ke tanah. Aku merasa sakit. Aku bingung. Padahal semua itu tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Tenang. Tidak disakiti, tidak dikhianati, tidak dihina, dan tidak disiksa. Tapi, sekali lagi aku merasakan, ada seribu hati yang merasa disakiti, merasa dikhianati, merasa dihina, dan merasa disiksa. Aku bingung. Gerutu itu lagi! Aku merasakannya. Namun aku tak mendengarkannya. Lantas apa lagi yang terjadi padaku? Aku Bingung. Gerutu itu lagi!
***
Kadang kala aku pun menerka tentang fenomena-fenomena alam yang ada disekitarku. Seperti, ketika udara menjadi semakin dingin. Aku tahu ini pasti ‘malam’ dan itu pasti gelap. Jadi setiap ‘malam’ itu pasti dingin dan gelap, mudah sekali untuk dipahami. Aku membagi hari itu menjadi tiga. Jika hari menjadi sangat dingin, itu berarti ‘malam’. Kalau sudah tidak begitu dingin, maka aku menyebutnya dengan ‘pagi’, tetapi kalau hari menjadi sangat panas aku menyebutnya ‘siang’. Aku mengetahui istilah-istilah itu dari suara-suara disekelilingku. Kadang suara-suara disekelilingku itu baik. Tapi, tak sedikit pula yang buruk.
Sehari-hari aku selalu habiskan dengan duduk di kursi. Menikmati hari. Karena hanya itu saja yang dapat aku lakukan. Aku mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada disekelilingku ini berbeda, hanya karena aku dapat merasakannya. Aku dapat menyentuhnya. Meraba. Kemudian berpikir hingga aku paham. Aku tak seperti manusia lainnya yang ‘normal’. Dulu perasaan gelisah ibu dan ayahku ketika aku lahir pun sangat terasa menusuk-nusuk kedalam hatiku. Perih rasanya, tak ada senyum kebahagiaan yang menyambutku saat aku menyongsong dunia. Jadi, aku sama sekali tak menangis, tak perlu.
Aku memang terlahir cacat. Itulah sebab kegelisahan yang menghantui ibu dan ayahku. Mereka malu. Aku tak peduli. Akhirnya mereka membuangku ke sebuah desa kecil bersama pengasuhku, Laksmi. Aku biasa memanggilnya mbok Laksmi. Wanita tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad, namun baik hati. Sekali lagi, aku tak peduli dengan keputusan kedua orang tuaku. Aku senang hidup di desa. Tenang. Menikmati angin, mendengarkan suara-suara merdu suaka, gemercik air, dan ilusi kedamaian yang begitu kuat menyentuh batinku.
Hingga suatu hal aneh terjadi pada diriku..
Aku berumur lima belas tahun waktu itu. Hawa yang sangat dingin menyelimuti tubuhku. Perasaan ketakutan yang maha dahsyat terus menyelubungi pikiranku. Aku bingung. Ada apa ini? Perasaan apa ini? Aku mencoba menenangkan perasaanku namun aku tak tahan. Aku berteriak. Memanggil-manggil mbok Laksmi. Tak ada jawaban. Kemana dia? Perasaan itu muncul lagi. Begitu kuat dan dekat. Aku yakin ini tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Lalu apa? Siapa yang mengalami peraasaan seperti ini? Kenapa aku harus merasakannya? Beribu pertanyaan terus menghampiriku. Aku berhenti merintih. Hawa dingin itu sedikit demi sedikit pergi meninggalkan tubuhku, tapi rasa sakit yang luar biasa masih terasa. Setelah semuanya pergi. Aku merasakan kejanggalan. Entah apa? Aku juga binggung. Aku meraba-raba menelusuri tembok rumahku, sambil berteriak memanggil mbok Laksmi. Kemana ia? Biasanya dia di dapur. Tapi kenapa begitu sepi, nyaris tak terdengar suara apapun.
Aku terus mencari mbok Laksmi. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kakiku. Tubuh siapa ini? Dari baunya, aku tahu ini pasti tubuh mbok Laksmi. “Mbok Laksmi! Mbok Laksmi!” Tubuhnya sangat dingin. Sedingin hawa yang tadi menyelimuti tubuhku. Ada apa ini?
***
Mbok Laksmi meninggal.
Pada akhirnya kedua orang tuaku membawaku ke ‘kota’, setelah lima belas tahun aku tak pernah datang ke ‘kota’. Aku pun kembali menjamah tempat ini. Sungguh asing bagi seluruh panca inderaku. Hawa yang panas membuat seluruh tubuh serasa terbakar. Ini melebihi siang. Hawa dingin begitu mencekam. Ini juga melebihi malam.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Perasaan takut, suasana suram, pesakitan dan tangisan. Membuatku semakin bingung.
Kejanggalan-kejanggalan itu semakin nyata. Aku dapat merasakan yang sepertinya ‘tidak’ orang lain rasakan. Perasaan batin yang begitu dalam dari manusia-manusia yang disakiti, disiksa, dihina, dan dikhianati. Aku buta, tapi perasaan batinku tidak mati. Orang tuaku yang mengajarkan kebencian sejak dalam kandungan. Kini aku mengerti. Betapa terlukanya aku terhadap mereka.
Aku merasa lukaku ini akan tetap menganga, aku hanya diam di tempat ini. Tak lagi aku merasakan harumnya bunga-bunga dan pepohonan. Aku memaksakan untuk tetap mengerti keadaan ini. Sulit bagiku untuk mengerti semua yang terjadi disekitarku. Saat ini juga sulit bagi inderaku untuk mengetahui kapan itu malam? Dan kapan itu siang? Waktu menjadi sangat kabur.
Suatu saat tubuhku kembali merasa sangat kedinginan. Walaupun aku tak merasakan sedingin ketika aku kehilangan mbok Laksmi, mbok Laksmiku yang malang. Tapi tetap saja seluruh tubuhku merasakan hawa dingin yang berbeda. Mungkinkah ini malam? Tanyaku dalam hati. Ini semua begitu berbeda. Kesendirian dan ketakutan.
Aku menangis. Semakin lama tangisanku ini semakin meraung dan meraung. Ibu datang menghampiriku. Mencoba menyadarkanku. Memanggil-manggil namaku. Ia mengira aku kesurupan atau semacamnya. Aku merasakan kehilangan. Aku tak pernah tahu, apa salahku? Kenapa aku ada ditempat ini? Bau tak sedap dan menjijikan! Apakah ini hanya perasaan? Tapi ini memang hanya sebuah perasaan. Siapakah yang terbuang? Ditengah malam seperti ini? Dosa apakah yang membuatnya terbuang?
Aku masih terus menangis dan menjerit. Kali ini ibu menamparku berkali-kali karena tangisanku tak juga berhenti. Aku seperti orang gila saat ini. Aku tak pernah bisa mengurai benang merah dari segala perasaanku ini. Semua terjadi begitu saja diluar kesadaranku. Perasaan itu datang dan pergi. Aku tak pernah sedikit saja mengharapkannya untuk ada. Kadang membuatku sangat ketakutan, khawatir dan resah.
Ditengah kebuntuan semacam ini. Ada satu hal lagi yang belum juga aku mengerti walaupun semuanya membuatku kembali tersadar. Ketika aku tertidur. Aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah mataku ini terbuka. Ibarat aku ada. Lantas apa arti kebutaanku ini? Jika dalam mimpi aku ’melihat’. Juga tentang perasaan-perasaan yang aku rasakan. Perasaan itu berasal dari seorang bayi. Aku melihat semuanya. Ia menangis kedinginan dan ketakutan diantara sampah-sampah. Menangis meraung-raung, persis seperti apa yang aku lakukan. Maka ketika seorang pemulung mengangkatnya, memeluk dan memberikannya kehangatan. Aku pun merasakan hal yang sama. Perasaan iba kepada bayi itu begitu nyata aku rasakan.
Bumi ini menjadi fenomena lain pula yang aku rasakan. Kadang aku muncul dalam mimpiku. Melihat bumi tersakiti dan menangis. Tanpa ada seorang pun. Aku lari sejauh apapun dan berteriak sekeras apapun. Memohon bantuan. Tak ada seorang pun yang muncul? Ampun tuhan! Dosa macam apa lagi yang diperbuat oleh manusia-Mu di dunia ini? Di bumi-Mu ini! Kenapa bumi menjadi sangat menderita atau bahkan ’sakit’? Kali ini aku memang langsung paham dengan mimpiku. Bumi sedang tersiksa. Penyakit-penyakit manusia kian menjadi-jadi. Hal ini membuat aku menjadi semakin sedih dan tersiksa. Aku merasakan tapi apa yang bisa aku perbuat dengan semua yang aku rasakan. Kemana manusia-manusia? Apa yang mereka lakukan?.
Peristiwa demi peristiwa pun aku alami. Semua ini menjadikan aku sadar akan diriku. Inilah aku. Merasakan apa yang orang lain sulit untuk rasakan. Aku buta tapi nuraniku tidak buta. Inilah yang membuatku merasa sangat bahagia. Aku tidak dijadikan sebagai makhluk yang munafik. Aku dapat berbagi penderitaan dengan alam. Meski kadang semua itu membuat aku sedih. Merasakan penderitaan mereka. Tapi ini jauh lebih baik daripada mengaku melihat dan memiliki nurani tapi sesungguhnya mereka buta dan tak bernurani.
Aku adalah korban keegoisan manusia. Begitu pula bumi. Kami tak begitu berbeda. Meredam asa dan amarah. Aku pun sangat memahami bumi. Seolah-olah nurani kami menyatu. Tapi dibalik semua itu, apa daya kami? Kami percaya akan janji Tuhan dan kami percaya Tuhan tidak diam. Bahkan aku pun percaya, masih ada manusia-manusia yang memiliki nurani dan merasakan, apa yang kami rasakan.
Mungkin sekali lagi. Tuhan tidak diam.
Wallahu’alam bishshawwa-b
Y.27.10.08
Walaupun aku tak pernah tahu apa yang terjadi di dunia ini. Tapi aku dapat merasakan ada seribu hati yang hancur. Menangis dalam diam. Tersenyum dalam perih. Aku selalu menangis setiap kali aku merasakan perasaan itu. Apa dayaku? Aku hanya bisa duduk diatas kursi. Mulutku diam pula, penuh dahak yang tak tertelan dan tak terluntahkan. Gerutu itu! Terus terdengar, seolah-olah seperti kaki-kaki yang menghentak-hentakan ke tanah. Aku merasa sakit. Aku bingung. Padahal semua itu tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Tenang. Tidak disakiti, tidak dikhianati, tidak dihina, dan tidak disiksa. Tapi, sekali lagi aku merasakan, ada seribu hati yang merasa disakiti, merasa dikhianati, merasa dihina, dan merasa disiksa. Aku bingung. Gerutu itu lagi! Aku merasakannya. Namun aku tak mendengarkannya. Lantas apa lagi yang terjadi padaku? Aku Bingung. Gerutu itu lagi!
***
Kadang kala aku pun menerka tentang fenomena-fenomena alam yang ada disekitarku. Seperti, ketika udara menjadi semakin dingin. Aku tahu ini pasti ‘malam’ dan itu pasti gelap. Jadi setiap ‘malam’ itu pasti dingin dan gelap, mudah sekali untuk dipahami. Aku membagi hari itu menjadi tiga. Jika hari menjadi sangat dingin, itu berarti ‘malam’. Kalau sudah tidak begitu dingin, maka aku menyebutnya dengan ‘pagi’, tetapi kalau hari menjadi sangat panas aku menyebutnya ‘siang’. Aku mengetahui istilah-istilah itu dari suara-suara disekelilingku. Kadang suara-suara disekelilingku itu baik. Tapi, tak sedikit pula yang buruk.
Sehari-hari aku selalu habiskan dengan duduk di kursi. Menikmati hari. Karena hanya itu saja yang dapat aku lakukan. Aku mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada disekelilingku ini berbeda, hanya karena aku dapat merasakannya. Aku dapat menyentuhnya. Meraba. Kemudian berpikir hingga aku paham. Aku tak seperti manusia lainnya yang ‘normal’. Dulu perasaan gelisah ibu dan ayahku ketika aku lahir pun sangat terasa menusuk-nusuk kedalam hatiku. Perih rasanya, tak ada senyum kebahagiaan yang menyambutku saat aku menyongsong dunia. Jadi, aku sama sekali tak menangis, tak perlu.
Aku memang terlahir cacat. Itulah sebab kegelisahan yang menghantui ibu dan ayahku. Mereka malu. Aku tak peduli. Akhirnya mereka membuangku ke sebuah desa kecil bersama pengasuhku, Laksmi. Aku biasa memanggilnya mbok Laksmi. Wanita tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad, namun baik hati. Sekali lagi, aku tak peduli dengan keputusan kedua orang tuaku. Aku senang hidup di desa. Tenang. Menikmati angin, mendengarkan suara-suara merdu suaka, gemercik air, dan ilusi kedamaian yang begitu kuat menyentuh batinku.
Hingga suatu hal aneh terjadi pada diriku..
Aku berumur lima belas tahun waktu itu. Hawa yang sangat dingin menyelimuti tubuhku. Perasaan ketakutan yang maha dahsyat terus menyelubungi pikiranku. Aku bingung. Ada apa ini? Perasaan apa ini? Aku mencoba menenangkan perasaanku namun aku tak tahan. Aku berteriak. Memanggil-manggil mbok Laksmi. Tak ada jawaban. Kemana dia? Perasaan itu muncul lagi. Begitu kuat dan dekat. Aku yakin ini tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Lalu apa? Siapa yang mengalami peraasaan seperti ini? Kenapa aku harus merasakannya? Beribu pertanyaan terus menghampiriku. Aku berhenti merintih. Hawa dingin itu sedikit demi sedikit pergi meninggalkan tubuhku, tapi rasa sakit yang luar biasa masih terasa. Setelah semuanya pergi. Aku merasakan kejanggalan. Entah apa? Aku juga binggung. Aku meraba-raba menelusuri tembok rumahku, sambil berteriak memanggil mbok Laksmi. Kemana ia? Biasanya dia di dapur. Tapi kenapa begitu sepi, nyaris tak terdengar suara apapun.
Aku terus mencari mbok Laksmi. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kakiku. Tubuh siapa ini? Dari baunya, aku tahu ini pasti tubuh mbok Laksmi. “Mbok Laksmi! Mbok Laksmi!” Tubuhnya sangat dingin. Sedingin hawa yang tadi menyelimuti tubuhku. Ada apa ini?
***
Mbok Laksmi meninggal.
Pada akhirnya kedua orang tuaku membawaku ke ‘kota’, setelah lima belas tahun aku tak pernah datang ke ‘kota’. Aku pun kembali menjamah tempat ini. Sungguh asing bagi seluruh panca inderaku. Hawa yang panas membuat seluruh tubuh serasa terbakar. Ini melebihi siang. Hawa dingin begitu mencekam. Ini juga melebihi malam.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Perasaan takut, suasana suram, pesakitan dan tangisan. Membuatku semakin bingung.
Kejanggalan-kejanggalan itu semakin nyata. Aku dapat merasakan yang sepertinya ‘tidak’ orang lain rasakan. Perasaan batin yang begitu dalam dari manusia-manusia yang disakiti, disiksa, dihina, dan dikhianati. Aku buta, tapi perasaan batinku tidak mati. Orang tuaku yang mengajarkan kebencian sejak dalam kandungan. Kini aku mengerti. Betapa terlukanya aku terhadap mereka.
Aku merasa lukaku ini akan tetap menganga, aku hanya diam di tempat ini. Tak lagi aku merasakan harumnya bunga-bunga dan pepohonan. Aku memaksakan untuk tetap mengerti keadaan ini. Sulit bagiku untuk mengerti semua yang terjadi disekitarku. Saat ini juga sulit bagi inderaku untuk mengetahui kapan itu malam? Dan kapan itu siang? Waktu menjadi sangat kabur.
Suatu saat tubuhku kembali merasa sangat kedinginan. Walaupun aku tak merasakan sedingin ketika aku kehilangan mbok Laksmi, mbok Laksmiku yang malang. Tapi tetap saja seluruh tubuhku merasakan hawa dingin yang berbeda. Mungkinkah ini malam? Tanyaku dalam hati. Ini semua begitu berbeda. Kesendirian dan ketakutan.
Aku menangis. Semakin lama tangisanku ini semakin meraung dan meraung. Ibu datang menghampiriku. Mencoba menyadarkanku. Memanggil-manggil namaku. Ia mengira aku kesurupan atau semacamnya. Aku merasakan kehilangan. Aku tak pernah tahu, apa salahku? Kenapa aku ada ditempat ini? Bau tak sedap dan menjijikan! Apakah ini hanya perasaan? Tapi ini memang hanya sebuah perasaan. Siapakah yang terbuang? Ditengah malam seperti ini? Dosa apakah yang membuatnya terbuang?
Aku masih terus menangis dan menjerit. Kali ini ibu menamparku berkali-kali karena tangisanku tak juga berhenti. Aku seperti orang gila saat ini. Aku tak pernah bisa mengurai benang merah dari segala perasaanku ini. Semua terjadi begitu saja diluar kesadaranku. Perasaan itu datang dan pergi. Aku tak pernah sedikit saja mengharapkannya untuk ada. Kadang membuatku sangat ketakutan, khawatir dan resah.
Ditengah kebuntuan semacam ini. Ada satu hal lagi yang belum juga aku mengerti walaupun semuanya membuatku kembali tersadar. Ketika aku tertidur. Aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah mataku ini terbuka. Ibarat aku ada. Lantas apa arti kebutaanku ini? Jika dalam mimpi aku ’melihat’. Juga tentang perasaan-perasaan yang aku rasakan. Perasaan itu berasal dari seorang bayi. Aku melihat semuanya. Ia menangis kedinginan dan ketakutan diantara sampah-sampah. Menangis meraung-raung, persis seperti apa yang aku lakukan. Maka ketika seorang pemulung mengangkatnya, memeluk dan memberikannya kehangatan. Aku pun merasakan hal yang sama. Perasaan iba kepada bayi itu begitu nyata aku rasakan.
Bumi ini menjadi fenomena lain pula yang aku rasakan. Kadang aku muncul dalam mimpiku. Melihat bumi tersakiti dan menangis. Tanpa ada seorang pun. Aku lari sejauh apapun dan berteriak sekeras apapun. Memohon bantuan. Tak ada seorang pun yang muncul? Ampun tuhan! Dosa macam apa lagi yang diperbuat oleh manusia-Mu di dunia ini? Di bumi-Mu ini! Kenapa bumi menjadi sangat menderita atau bahkan ’sakit’? Kali ini aku memang langsung paham dengan mimpiku. Bumi sedang tersiksa. Penyakit-penyakit manusia kian menjadi-jadi. Hal ini membuat aku menjadi semakin sedih dan tersiksa. Aku merasakan tapi apa yang bisa aku perbuat dengan semua yang aku rasakan. Kemana manusia-manusia? Apa yang mereka lakukan?.
Peristiwa demi peristiwa pun aku alami. Semua ini menjadikan aku sadar akan diriku. Inilah aku. Merasakan apa yang orang lain sulit untuk rasakan. Aku buta tapi nuraniku tidak buta. Inilah yang membuatku merasa sangat bahagia. Aku tidak dijadikan sebagai makhluk yang munafik. Aku dapat berbagi penderitaan dengan alam. Meski kadang semua itu membuat aku sedih. Merasakan penderitaan mereka. Tapi ini jauh lebih baik daripada mengaku melihat dan memiliki nurani tapi sesungguhnya mereka buta dan tak bernurani.
Aku adalah korban keegoisan manusia. Begitu pula bumi. Kami tak begitu berbeda. Meredam asa dan amarah. Aku pun sangat memahami bumi. Seolah-olah nurani kami menyatu. Tapi dibalik semua itu, apa daya kami? Kami percaya akan janji Tuhan dan kami percaya Tuhan tidak diam. Bahkan aku pun percaya, masih ada manusia-manusia yang memiliki nurani dan merasakan, apa yang kami rasakan.
Mungkin sekali lagi. Tuhan tidak diam.
Wallahu’alam bishshawwa-b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar