Jumat, 12 Maret 2010

Sebuah Cinta yang Sederhana itu...


DINDA duduk sendirian disebuah bangku kayu dibawah atap pintu gerbang sekolahnya. Ia berusaha melindungi tubuhnya dari rintikan air hujan. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah. Dia telah melalui masa-masa remaja ditempat itu. Dia hanya ingin mengumpulkan kembali kenangan tentang semua yang telah dia alami, kenangan manis tentang SMU-nya, dan foto-foto setiap sudut sekolahnya. Walaupun acara perpisahan sekolah telah berakhir dua jam yang lalu, dia tetap ingin menunggu sampai sekolahnya benar-benar kosong. Tapi sayangnya hujan pun turun. Dinda sama sekali tidak menduga jika hari itu akan turun hujan. Akhirnya dia rela menunggu sampai hujan mereda dibawah atap gerbang sekolah, demi kenangan manis yang selama ini dia mimpikan. Karena dia yakin, disinilah tempat kenangan yang terindah dalam hidupnya. Dan ternyata, yang terjadi bukan hanya sekedar keyakinan. Semua itu membuatnya kembali bertanya. Salahkah jika kita selama ini memimpikan seseorang?

Bermimpi itu bukan sebuah kesalahan. Hampir sama dengan cinta, itu adalah anugerah. Seandainya semua orang tahu bahwa mimpi sebuah anugerah, maka semua orang hanya akan bermimpi, bermimpi, dan terus bermimpi. Sama halnya dengan diriku. Akulah yang selalu berharap bahwa mimpi itu sebuah anugerah, padahal awalnya aku hanya bermimpi tentang seseorang, tetapi semua yang ada disekelilingku justru tampak seperti mimpi. Itulah kesalahanku. Memimpikan sebuah cinta yang sederhana.
Awalnya aku hanya menebak-nebak saja tentang cinta yang sederhana itu. Di sekolahku, ada banyak sekali murid yang berpacaran. Mereka menjalin hubungan dan berharap untuk terus bersama. Mereka bahagia. Tetapi kebahagian itu takkan abadi, waktu memisahkan mereka, dan hubungan pun hanya tampak seperti asap. Menghilang dilangit bersama angin. Ada apa dengan cinta mereka? Sejak itu aku menganggap cinta itu ambigu, tak jelas maknanya antara sakit hati dan perasaan bahagia atau antara tangis dan senyuman. Kemudian hanya kata ‘sederhana’lah yang membuatku sadar tentang makna cinta.
Hanya sebuah cinta yang sederhana.
Aku teringat, bagaimana indahnya kata-kata Kahlil Gibran ketika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Selma Karamy. Mungkin pula, sejak itu orang-orang menyadari dan menyebutkan bahwa, cinta pertama itu adalah cinta yang tak terlupakan. Aku pikir itu semua cuma omong kosong belaka. Tapi ternyata aku salah. Dan aku mulai menyadarinya.
Ketika itu dibawah atap gerbang sekolah. Musim hujan. Saat langit mulai menguning. Dia datang dengan senyuman, yang sampai saat ini pun aku takkan pernah bisa melupakan senyuman itu, senyuman yang begitu tulus.

Pukul empat sore.

“Sendiri?”
Dinda mengangguk.
“Mau nunggu jemputan?”
Dinda menggeleng.
“Kamu Dinda, kan?”
“Kok tau?”
“Dari kemarin kamu datang ke sekolah cuma buat foto sana, foto sini. Mau buat album ya?”
Dinda hanya tersenyum. Mengangguk. “Kamu nggak nyambung”
“Emangnya kenapa?”
“Akukan tanya, dari mana kamu tau namaku Dinda”
“Oh!”
Dia terdiam, kemudian berkata “Aku sering banget liat kamu duduk dibangku taman belakang sekolah”
Dinda tersenyum. Wajahnya memerah.
“Aku penasaran, aku tanyain deh ke temen-temen, siapa nama kamu?”
Hujan telah mereda. Dia duduk dibangku yang sama dengan Dinda.
Tiba-tiba hati Dinda berdetak sangat kencang. Dinda tertunduk malu, dia tak mengira bahwa akan ada orang yang akan memperhatikan dirinya.
“Mmm, mau ngelanjutin kuliah dimana?”
“Nama kamu siapa?”
Dia tersenyum lagi. Tenang sekali.
“Namaku Aldila, kamu bisa panggil aku Aldi. Aku juga lulus tahun ini sama ama kamu” katanya sambil mengulurkan tangan.
Dinda membalas uluran tangan itu dan berkata “Adinda”
Setelah perkenalan itu mereka membicarakan banyak hal. Saat itulah Dinda merasakan apa yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Nalurilah yang mengatakan pada Dinda bahwa ia jatuh cinta dan pada saat itu pula ia kembali menyimpulkan tentang sebuah cinta yang sederhana.

Waktu terus berjalan. Kenyataanlah yang membuatku mengerti tentang cinta. Bahkan siapa pun akan belajar tentang keindahan cinta dari apa yang ia rasakan dan alami. Begitu pula aku. Namun sudah hampir tiga tahun aku tak lagi bertemu dengannya. Sejak aku mengerti bahwa semakin mencintainya maka aku akan semakin kehilangan dia. Maka ketika aku utarakan perasaanku ini padanya, dia pun mengatakan bahwa dia mengalami hal yang sama. Ketakutan yang memang seharusnya tak terjadi. Kami pun pada akhirnya memutuskan untuk berpisah. Bukan karena ketakutan kami. Tapi karena dia harus meninggalkan kota Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sisa semesternya di Inggris. Sangat jauh.
Aku tak ingin lagi melukiskan perasaanku saat itu. Aku hanya menganggap semua itu masa lalu. Meski sulit aku lupakan tetapi harus aku kubur. Tuhan sibukkan diriku. Jangan ingatkan lagi tentangnya.
Pagi ini tak seharusnya aku mengenangnya kembali. Tapi ketika aku mengakses internet, untuk sesekali melihat inbox barangkali ada e-mail dari teman-teman lamaku. Sebuah e-mail dengan nama pengirim Muhammad Aldila membuatku tertegun. Entah perasaan bahagia, sedih ataupun ragu aku rasakan.
Dengan perasaan yang bercampur akhirnya aku baca juga e-mail itu.

Dear Dinda,
Mungkin kalimat pertamaku yang paling tepat saat ini untuk mu adalah ”apa kabar?”. Sudah hampir tiga tahun kita tidak pernah bertemu. Waktu yang lama. Tapi saat ini. Aku merasakannya begitu cepat. Sampai aku lupa, waktu yang berlalu itu tiga tahun. Jangan tanya mengapa aku mengirim e-mail untukmu. Karena waktu tiga tahun adalah waktu yang aku tunggu untuk kembali mengirim e-mail untukmu. Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan semua ini. Setelah aku mengguratkan sebuah luka dihatimu. Saat ini mungkin berbeda dengan tiga tahun yang lalu.Tapi aku takkan pernah mengatakan perasaanku berbeda dengan tiga tahun yang lalu. Karena masih ada rindu dalam hatiku. Selalu ada rindu.
Saat itu, tiga tahun yang lalu. Ketika aku tahu aku akan meninggalkan mu. Aku tak ingin merencanakan masa depan. Aku tak ingin membuatmu begitu banyak berharap. Aku tak ingin kamu menunggu terlalu banyak janji yang keluar dari mulutku dan aku juga tak ingin kau terlalu ’sakit’ dengan kepergianku. Maafkan aku yang bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun ketika aku pergi.
Aku tahu mungkin hal itu memang sulit. Seandainya ada lelaki lain yang saat ini mengisi ruang yang mungkin telah kosong itu, aku pun takkan lagi menganggu. Meski sebenarnya sangat sulit aku terima. Tapi ini memang salahku. Aku yang membiarkannya terluka. Demi obsesi dan segala ambisiku untuk meraih apa yang aku inginkan.
Seandainya kamu berpikir disana aku bersama wanita lain. Sejujurnya tak satu wanita pun berhasil membuatku melupakan rindu dalam hatiku. Rindu yang selalu aku jaga untuk mendapatkan kembali sebuah cinta sederhana.
Kamu tahu pasti Dinda. Hidup ini seperti sebuah sandiwara yang selalu ada babak baru. Meski terkadang kita kembali membutuhkan prolog. Agar tak berakhir pada epilog yang sendu. Anehnya ini semua bukan hanya sekedar sandiwara. Melainkan cinta. Cinta yang nyata. Meski diawali dengan sebuah prolog. Aku tak ingin cepat-cepat mengakhirinya tanpa epilog yang indah. Aku tak sedang mengkhayal dinda. Seharusnya ada babak baru setelah ini, karena ini adalah panggung kehidupan kita. Sekali lagi maafkan aku yang mungkin menjadikan cerita kita terhenti. Izinkan aku kembali menuliskan babak baru tentang sebuah cinta yang sederhana.
Sebuah cinta yang kita impikan.
Sebuah cinta sederhana antara aku dan kamu. Cinta yang saling menjaga. Cinta yang saling menyayangi. Cinta yang saling mengerti. Cinta yang begitu sederhana. Cinta yang indah. Cinta yang memang pernah kita impikan.
Aku tahu mungkin kata-kataku kali ini mengoreskan kembali luka dihatimu. Tak hanya dihatimu Dinda, hatiku pun sakit ketika mengingatmu. Aku hanya tak ingin mengingat mu, justru menjadikan hatiku sakit. Memang aku yang telah memulai segalanya. Maafkan aku. Aku yang tak pernah mengerti. Aku yang tak pernah bisa memahami. Aku hanya ingin memperbaiki segalanya. Menyembuhkan kembali lukaku atau mungkin juga lukamu. Luka diantara kita berdua.

...
Aku kembali di tempat ini. Tempat dimana prolog itu dimulai. Saat dimana pertama kali aku merasakan sebuah senyuman yang hangat, yang membuatku untuk sulit melupakannya. Aku merasakan hatiku seolah tak ingin berhenti memukul tubuhku. Sangat berdebar. Semilir angin menambah kalut perasaanku. Ini memang tentang cinta. Cinta yang tak pernah aku mengerti.
Surat itu benar-benar mengubah perasaan yang selama ini aku pendam. Amarah yang mendalam akan dirinya. Aku pun tak pernah memahami, mengapa semua itu justru berubah menjadi sebuah kesabaran. Betapa kecewanya aku ketika dia meninggalkan aku. Sulit sekali menggambarkan betapa aku sangat terluka karena sifatnya. Sekarang dia datang kembali dengan mengirimkan surat konyol ini dan mengatakan ’maaf’ yang bahkan tidak dia luncurkan dari mulutnya. Tuhan, masih adakah cinta dalam hatiku? Mengapa cinta ini begitu sulit aku mengerti? Kenapa begitu menyiksa? Mampukah aku memaafkannya? Atau aku memang tidak pernah membencinya?

(to be continue...) n_n'


Tidak ada komentar:

Posting Komentar