Jumat, 10 September 2010

Quote again^^


"People with goals succeed because they know where they are going... It's as simple as that."
- Earl Nightingale

Kutipan ini mungkin memiliki hubungan erat dengan pentingnya buat kita punya yang namanya tujuan hidup =D. Kadang sepele, tapi ternyata memang mempengaruhi kok. Gak ada salahnya kan kalo kita mulai meninjau ulang tujuan hidup kita...^^




*foto diambil ketika di bandara internasional dubai

Semarak Takbir, Semangat Menyambut Hari yang Fitri


Allahu akbar, Allahu akbar, Laa Ilaaha Illallah, wallahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya semua pujian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)




Bertakbiran bukanlah sekedar budaya dalam masyarakat Islam akan tetapi juga syariat.

Malam terakhir di bulan Ramadhan ini, masyarakakat Kotagede dihibur dengan gemerlapan lomba takbiran keliling. Peserta lomba takbiran keliling ini diikuti oleh warga Yogyakarta, mulai dari masyarakat Kotagede, Purbayan, Selokraman, Kauman, Nitiprayan, dan beberapa daerah lainnya.









Tidak hanya sekedar pawai, mereka juga menghiasi lampion dengan berbagai macam kreasi yang sangat kreatif. Juga seragam pawai yang mereka kenakan sangat bervariasi.







Ketika pawai sampai didepan pasar Kotagede para peserta juga harus menunjukkan berbagai macam atraksi sesuai dengan tema yang dibawakan oleh peserta.









Semangat yang mereka tunjukkan bukan hanya semangat kebersamaan, melainkan semangat menyambut datangnya hari nan penuh fitri, yang sudah patut disambut dan dinikmati malam keindahannya.

Semoga tidak hanya disadari dengan kata-kata akan keindahan maknanya melainkan juga dengan tindakan. Mari jadikan malam takbiran ini sebagai malam untuk sebuah perubahan diri.

Selamat Idul Fitri bagi seluruh umat muslim di dunia. Mari kita rayakan hari kemenangan ini. Eid Mubarak!!


Taqaballahu minna wa minkum minal aidin wal faidzin.
(Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan mengembalikan kita sbg org yg berjuang dan kembali pd kemenangan).

Mohon maaf lahir dan batin^^

Rabu, 08 September 2010

Quotes and ideas to move and inspire you...^^


Don't follow your dreams; chase them.
- Richard Dumb

Akh, terkadang saya begitu naif pada diri sendiri, saya memiliki sejuta mimpi. Tapi entah mengapa rasa malas itu masih sering berkutat dalam benak saya. Berbagai macam cara saya lakukan untuk kembali membangkitkan mimpi dan cita-cita saya^^

Termasuk quotations atau kutipan-kutipan sederhana namun inspiratif dan mampu memotivasi.

Maka, kata-kata Richard Dumb begitu menyentuh pikiran dan hati saya dikala membutuhkan sebuah motivasi dan inspirasi.

Terkadang satu kesempatan emas itu datang bukan dengan hal yang besar melainkan dengan sesuatu hal yang sederhana, sangat simple.

Meskipun mimpi kita adalah sesuatu yang besar tapi jalan menunju mimpi itu selalu berawal dari kesempatan yang tidak pernah kita duga.

Always keep your dreams alive,
Always keep they coming true.





*Gambar diambil di Dunstable Downs, Bedfordshires, Inggris.

Senin, 06 September 2010

A Song



“Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be.”


Lagu itu terus mengalun dalam benak Kirana. Sambil menatap monumen tua yang hampir sepuluh tahun meninggalkan memori penting dalam hidupnya. Dipandanginya bunga-bunga yang berjejeran mengelilingi monumen itu. Beraneka warna bunga yang mereka persembahkan. Kirana tetap memilih mawar putih tak berduri, baginya bunga itu adalah simbol ketulusan akan perjuangan hidup. Diletakkan bunga itu berjejer dengan bunga yang lain. Diucapkannya sebuah permohonan. Setelah selesai, segeralah Kirana meninggalkan tempat itu. Dia berlalu untuk mencari seseorang yang tinggal dengan alamat dalam kertas lusuh yang disimpannya lebih dari lima tahun terakhir.

“Kau akan menyesal seumur hidupmu jika tidak menemukannya” batinnya.

Kirana masih ingin menanyakan masa lalu hidupnya, bukan hanya untuk memuaskan keingintahuannya tapi juga untuk masa depannya. Meski tak satu pun mampu menjawab apa yang dikehendakinya. Kirana tak pantang menyerah. Hidupnya akan tetap sama jika dia tak mampu menemukan jawaban itu.


Hembusan angin lembut yang menyibakan rambutnya, mengingatkannya pada padang rumput yang kini tak ada lagi. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang berderet sepanjang jalan menuju kota. Kirana tak bisa lagi membohongi pada dunia bahwa dia begitu merindukan tempat itu.

“Ini adalah penantian panjang” ucapnya suatu hari pada kekasihnya.
“Maksudmu?”
“Aku akan segera mengetahui siapa ibuku sebenarnya?”
Lelaki itu terdiam. Menghela nafas panjang.
“Apa?” sahut Kirana menantang kebisuan sang kekasih.
“Dia meninggalkanmu begitu lama, kau masih ingin mencarinya?” Tanya sang kekasih tanpa pikir panjang.
“YA” jawab Kirana dengan tegas. “Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa seorang Ibu”.
“Tapi wanita seperti itu tak pantas kau sebut ibu” tandas sang kekasih.
Kirana tersentak kaget. Dipandanginya wajah sang Kekasih yang terlihat sangat kesal.
“Cukup! Kau bukan siapapun tak berhak mengatur hidupku lagi” Teriaknya sambil berlalu.

Kirana tahu betul lelaki itu mengejarnya. Amarah tak tertahankan membuatnya tak ingin kembali pada sang kekasih. Itulah awal mula perpisahannya. Kirana tak ingin menemuinya lagi. Tidak lagi.

Ayahnya meninggal sejak Kirana berumur 12 tahun. Baginya tak banyak yang dia ingat dari sang Ayah. Hanya satu memori itu, sang Ayah yang sering menyanyikannya lagu Que Sera Sera. Selebihnya hanyalah cerita dari orang-orang terdekat. Bukan kesalahan siapapun jika semua itu terjadi pada Kirana. Dirinya tahu bahwa sang Ayah begitu mencintainya. Kirana tak akan hidup jika tanpa kerja keras sang Ayah.

Kehidupanlah yang membimbing menjadi dewasa. Kirana tahu kerasnya hidup sebelum saatnya untuk tahu. Kirana merasakan pahitnya hidup sebelum rasa pahit itu ada dalam hidupnya. Hidup dengan belas kasih orang bukanlah hidup yang menyenangkan. Kirana tak butuh retorika tentang makna hidup, yang dia tahu hanyalah bagaimana untuk tetap hidup. Meski kini tujuan hidupnya berubah. Kirana masih ingin mencari sosok ibu yang telah lama hilang dari hidupnya.



Sampailah kaki ini pada alamat yang dicarinya. Tak seperti yang dibayangkan. Rumah itu begitu mungil. Bunga-bunga indah bermekaran di halaman rumah. Batu-batu tertata rapi membentuk jalan setapak. Sebuah lampu taman berbentuk angsa melengkapi nuansa keindahan taman sederhana yang dibatasi dengan pagar putih bersih.

Tiba-tiba tak sedikit pun keberanian muncul dibenaknya. Matanya tertuju pada pintu depan rumah itu. Dirinya hanya mampu memandangi rumah mungil itu dari seberang jalan. Kebingungan muncul dihatinya. Kekuatan yang mendorongnya berjalan hingga sejauh ini pun hilang sia-sia.

Satu jam telah berlalu. Keberanian itu belum muncul juga.

“Kau akan menyesal seumur hidup” gumamnya.

Dua jam telah berlalu. Matahari sudah mulai bosan menyinari. Kirana masih tetap berdiri dan memandangi rumah itu. Entah mengapa, rasa takut itu muncul. Mungkin saja alamat ini salah. Bagaimana bisa Kirana tahu jika dirinya pun tak mencoba masuk kerumah itu.

Kirana pun teringat sang kekasih yang sudah dicampakkannya.

“Mungkin dia ada benarnya” desahnya kemudian.

Saat itu Kirana memutuskan untuk menyerah pada kenyataan, hingga terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi bagi telinga Kirana, lagu itu mengalun perlahan dari rumah itu.

“When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me.

Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be”.


Sebuah senyuman muncul dari bibir Kirana. Dengan segenap kekuatan didatangilah rumah mungil itu. Sambil terus mengucap doa dalam hatinya, semoga itu ibu.





Yogyakarta, 20 Agustus 2010.

*Lagu “Que Sera, Sera” (Whatever will be, will be)
Apa yang akan terjadi, terjadilah.

“Aku akan baik-baik saja”

Dan aku tetap akan pergi
Waktu yang tak mau menanti
Kau mendekapku, mendorongku menuju bis yang tengah menanti
Dekapan itu melonggar dan pintu bis pun terbuka
Dengan mata berkaca-kaca dan sedikit amarah
Aku berkata, “Aku baik-baik saja”.
Tetapi tetap saja, air mata ini tak mau berhenti
meski semuanya
akan
baik-baik
saja
.













Aku menghela napas.
Cukup sudah cerita itu. Tak perlu diulas kembali.
Kulepas engkau dengan satu impian; tuk kembali.
Meski sepertinya
Hati ini mungkin lelah

Kupejamkan mataku dalam-dalam
Kuingat senyum itu perlahan
Kurekam pula saat terakhir bersamanya
Selagi aku mampu menyimpannya,
Aku pun menangis sepuasnya

“Aku akan baik-baik saja”
Gumamku.

Minggu, 05 September 2010

Mimpi


.....
Satu waktu di Wardown Park,
Kulihat sepasang kakek dan nenek bernostalgia,
Mungkin tentang kisah mereka yang telah lalu.

Sementara aku, termenung kaku menatap kemesraan itu,
Sebuah romansa abadi yang begitu nyata.

Tetapi,
Suaramulah yang memecah hening lamunan indah itu

Sore yang sama di Wardown Park
Dimana aku selalu berjalan tertinggal dibelakangmu,
Yang kulihat hanya pundak itu

Andai saja kau tahu,
Kaki ini juga ingin berjalan cepat.
Agar menyatu dengan bayangan kakimu yang begitu semu.

Kala itu di Wardown Park,
Burung-burung merpati, angsa-angsa
Dan semilir angin barat yang begitu menusuk kulitku.

Ingatanku melayang jauh entah kemana bersama
mimpi-mimpi yang tak menentu.

Hanya saja aku terbangun
Ketika mimpi itu hendak mendekati bayanganmu.

Dan kutemui diriku tak ada lagi
Burung-burung merpati, angsa-angsa
Dan semilir angin barat yang begitu menusuk kulitku.


Aku pun menyadari,
Aku akan segera tiba di Jakarta.

.....
…..
…..

*Gambar diambil di Wardown Park, Luton, Inggris.

Rabu, 14 April 2010

Cerpen: Wall of Love



Aku telah menunggu gadis itu lebih dari dua jam namun dia tak kunjung datang. Kami berjanji akan bertemu pukul empat sore, sedangkan saat ini langit sudah mulai gelap dan gerimis. Bagaimana pun aku tetap akan menunggunya. Aku tak tahu sampai kapan aku akan menunggunya, mungkin karena aku sangat yakin dia pasti datang. Ketika hujan benar-benar menjadi deras. Keraguan pun mulai menyelimuti hatiku. Apakah dia masih tetap akan datang? Penampilanku juga sudah tidak sebaik dua jam yang lalu, hanya bunga mawar merah yang terbuat dari plastik ini saja yang masih terlihat segar. Anehnya, tak ada sedikitpun kekecewaan yang aku rasakan meski dia telah membuatku menunggu lebih dari dua jam ini, mungkin karena perasaanku yang mendalam terhadap dirinya.
Tepat pukul tujuh malam, saat dimana aku sudah hampir putus asa. Dia muncul dengan mata sembab. Awalnya aku sama sekali tidak tahu bahwa itu akan menjadi hari terburuk dalam kisah cintaku ini. Kumunculannya malam itu saja sebenarnya telah membuat perasaanku lega dan bahagia. Sampai aku menyadarinya beberapa saat kemudian. Jeda diantara dia muncul dan aku mengetahui raut wajahnya yang sedih serta matanya yang sembab itulah seketika perasaanku mulai berubah menjadi gelisah, apakah dia menangis? Ketika dia sudah ada didepanku, aku pun menjadi linglung. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Tubuhnya yang basah kuyup akibat menerjang hujan deras juga membuatku semakin tak karuan. Aku benar-benar tidak tahu kalimat apa yang harus aku ucapkan bahkan aku melupakan setangkai mawar yang seharusnya aku berikan di awal pertemuan, sebagaimana skenario yang jauh-jauh hari aku persiapkan. Akhirnya dialah yang memulai pembicaraan diantara kami.
“Maaf aku terlambat”
“Tidak apa-apa, kamu juga kehujanan”
“Yah, aku tak apa-apa kok mungkin pertemuan kita ini tidak akan lama”
Aku benar-benar gelisah kali ini.
“Ya, itu juga tidak apa-apa sebaiknya kamu segera pulang dan ganti baju, aku senang kamu mau bertemu denganku hari ini”
“Bukan begitu dit, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan tentang hubungan kita”
“Katakan saja, apapun itu asalkan membuat perasaanmu lebih baik” kataku memberanikan diri.
Dia terpaku dan sedikt ragu-ragu untuk mengatakan perasaannya.
“Aku mencintai laki-laki lain” ucapnya dengan lirih.
Aku terdiam. Kulihat air mata itu mulai mengalir dari matanya yang indah.
“Maafkan aku” ucapnya sambil menyeka air mata yang semakin deras.
Itu merupakan kalimat terakhir yang aku dengar. Kemudian dia berlari menuju hujan, aku hanya mampu melihatnya semakin menjauh dariku hingga hilang ditelan oleh kegelapan. Sedangkan aku terdiam menyaksikan semua itu. Kegelisahanku beralasan, hatiku mungkin akan tahu bahwa saat itu aku akan benar-benar kecewa. Hatiku seperti ditusuk. Aku menatap bunga mawar plastik yang ada digenggamanku. Ingin aku katakan pada bunga mawar itu, “Tahukah engkau wahai bunga mawar, keberadaanmu dalam genggaman tanganku kini sudah tiada artinya, gadis yang seharusnya memilikimu kini meninggalkan aku dan mungkin untuk selamanya”.
Aku pun meninggalkan tempat ini. Perasaanku begitu kacau balau antara kekecewaan dan ketidakpahaman. Mungkinkah selama ini dia tersiksa harus menjalani hubungan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah dia cintai? Aku benar-benar tak mengerti. Mungkin saja dia menangis karena dia tahu akan melukai hati seseorang yang tulus mencintainya. Seperti inikah rasanya patah hati tuhan? Sungguh menyakitkan. Aku berjalan dibawah hujan seperti mati rasa, tidak dingin dan tidak pula panas.Mungkin tempat ini akan menjadi saksi mati betapa aku mencintaimu meski pada akhirnya aku harus mengalah karena ketidakberdayaanku akan cintamu pada lelaki lain.
Aku terus berjalan hingga sampai disebuah persimpangan jalan, dimana disanalah pertama kali aku melihat gadis yang aku cintai itu. Dia berdiri begitu indah menanti angkutan kota melewati jalan ini. Tempat ini adalah jalan yang sehari-hari aku lewati ketika berangkat ke sekolah. Aku melihatnya disana lebih dari tiga kali dalam seminggu. Aku selalu memperhatikan dia. Hingga saat itu, hujan turun begitu deras. Aku tawarkan payung yang aku miliki dan membiarkannya membawanya, sementara aku rela hujan-hujan pulang kerumah. Keesokan harinya terpaksa aku tak mengenakan sepatu dan tas ranselku ke sekolah karena basah kuyub dan paginya belum kering. Aku pun terpaksa mengenakan sepatu kulit milik pamanku yang kebesaran dan kantong plastik hitam untuk menyimpan bukuku. Sesulit apapun hal yang aku alami saat itu, tetap saja indah kurasakan. Mungkin itulah saat dimana aku jatuh cinta. Aku tatap tempat dimana dia biasa berdiri dengan indahnya, kini yang ada hanyalah dinding putih yang sudah mulai kusam. Kosong tak bernyawa. Seperti hatiku saat ini.
Aku tidak tahu aku mendapatkan ide ini dari mana. Tapi aku menuliskan sebuah kalimat di dinding itu agar tak menjadi kosong seperti hatiku. Aku hanya ingin suatu saat dia akan membacanya, saat dimana mungkin dia akan kembali berdiri ditempat ini. “Hari ini aku telah patah hati oleh seorang gadis yang amat kucintai.” Kutuliskan pula inisial namaku disana “R. S.” yaitu Raditya Sastra. Mungkin aku terlalu berharap akan perasaanmu padaku, mungkin pula aku terlalu memaksakan perasaan ini. Seharusnya aku sadari perasaan itu sejak awal, hingga aku tak perlu menyakiti hati ini terlalu dalam. Aku masih tak bergerak menatap tulisan dengan tinta hitam tipis yang ditorehkan ditembok itu. Semoga suatu hari nanti engkau membacanya. Suatu saat engkau harus tahu.
Kutinggalkan bunga mawar plastik itu disana, di depan tembok itu kemudian aku pergi dari tempat itu dengan langkah goyah. Sepanjang jalan menuju ke rumah aku hanya mampu bergumam, “Sungguh menyakitkan patah hati itu”.


Keesokan harinya badanku panas dan betul-betul demam. Aku tidak tahu ini efek psikologis dari aku yang sedang patah hati atau memang karena aku membiarkan tubuhku diguyur hujan semalaman tanpa mengunyah sesuap nasi pun. Semalam ketika aku pulang, ibuku mengomel-ngomel karena sikapku yang tidak peduli dengan diri sendiri dengan memilih hujan-hujanan. Sekata-kata ibuku mengomeliku tetap saja makian itu tak terasa sakit dihati. Karena saat itu hatiku seperti mati rasa akibat patah hati. Begitu pula pagi hari ini ketika badanku demam dan aku terpaksa tidak pergi sekolah. Ibuku kembali memaki-maki dan mengungkit sikapku semalam. Aku tetap tak bergidik. Badanku memang sedang sakit tapi itu tak seberapa ketimbang sakit yang ada dihati. Sungguh memilukan.
Siang harinya sahabat karibku Karina yang juga tetanggaku satu kampung datang menjengukku, karena dia menanyakan kenapa hari ini aku tidak hadir dirapat pertemuan organisasi sekolah yang aku dan dia ikuti. Aku pun telah melupakan hal penting itu. Ibuku mengantarkan Karina ke kamarku namun ketika ibu telah meninggalkan kami untuk bercakap-cakap mengenai tugas-tugas kami disekolah. Karina justru mengatakan hal lain. Bukan tentang organisasi ataupun tentang tugas-tugas sekolah.
“Aku dengar kamu putus dengan Putri, dit?” pertanyaannya sungguh mengagetkanku.
“Dari mana kamu tahu?”
“Karena aku juga dengar kalau Putri hari ini jadian dengan kakak kelas kita, kelas tiga”
“Siapa?” tanyaku penasaran, tak kusangka sudah banyak nyebar gossip disekolahku. Padahal sekolah kami dengan sekolah Putri berbeda meskipun tempatnya sangat berdekatan.
“Kak Yordan” jawab Karina dengan suara rendah.
Aku hanya terdiam. Sungguh sangat miris kenyataan yang diungkapkan Karina. Kini aku tahu alasan Putri meninggalkanku. Yordan kakak kelas kami bukanlah murid yang biasa saja. Selain tampangnya yang mempesona para gadis, dia juga jagoan tim basket sekolah kami. Belum lagi sederet prestasi yang dilainnya. Aku dibandingkan dengan Yordan sungguh sangat ironis. Meninggalkan aku demi Yordan pun bukan hal yang aneh, justru semakin wajar. Kini aku tahu alasan itu yang diinginkan Putri. Kenyataan itu menjadikan titik balik akan perasaanku terhadap Putri, gadis yang semalam membuat aku terlunta-lunta dengan cinta. Apa yang dimiliki Yordan adalah apa yang selama ini dia harapkan dariku.
Pertanyaan Karina membuyarkan lamunanku.
“Itu sebabnya kamu sakit, dit?”
“Mungkin” jawabku sambil memalingkan muka.
“Seharusnya aku memberitahu kamu sejak awal” katanya tiba-tiba.
“Maksudmu?” tanyaku menatapnya.
“Aku tahu Putri menyukai kak Yordan sejak dulu”
“Apa?”
Aku sungguh kaget dengan perkataan Karina.
Dia mengulangi kalimatnya dengan suara lebih rendah,”iya dit, Putri sudah lama menyukai Yordan. Aku tak mengatakannya padamu karena aku hanya ingin menjaga perasaanmu dit” ungkapnya.
“Na, seandainya kamu mengatakan padaku lebih awal mungkin hatiku gak sesakit ini”
“Maaf” ucapnya sambil menitikkan air mata.
“Sebaiknya kamu segera pergi dari tempat ini” kataku dengan perasaan sangat kesal, aku merasa seperti ditipu oleh sahabatku sendiri.
Mendengar perkataanku, dia sangat terkejut. Kemudian dengan cepat dia segera pergi dari kamarku dengan langkah terburu-buru. Aku sadar, memang seharusnya kata-kata itu tidak terlontar dari bibirku. Aku pasti telah menyakiti perasaannya. Aku hanya kalut. Akan tetapi tak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku pada Karina. Dia adalah sahabatku.


Paginya ketika aku datang kesekolah. Ternyata teman-temanku juga telah banyak mendengar berita tentang putusnya hubunganku dengan Putri. Setiap kali aku temui mereka diluar kelas. Pertanyaan yang terlontar adalah tentang Putri dan Putri. Berbagai kalimat iba ataupun semangat untuk kembali bangkit dan mendapatkan cinta yang baru terlontar dari beberapa temanku. “Sabar dit, mungkin emang takdirnya lo harus putus ma dia. Cewek banyak kok!” atau “Sia-sia dong kamu kejar dia, bukan jodohnya kali dit, kamu ama Putri!” Aku hanya bisa meringis mendengar semua itu. Itulah mereka dengan pikiran mereka.
Teman-temanku itu mungkin memang mengatakan perjuangan panjangku untuk mendapatkan cinta dari Putri telah sia-sia. Tapi bagiku tidak, semua kisah itu adalah miliku. Ketika aku jatuh cinta padanya, mungkin memang benar itu sebuah takdir. Namun ketika dia telah memilih untuk meninggalkanku itu bukan lagi menjadi takdir. Itu telah menjadi keputusannya untuk meninggalkanku dan memilih mencintai laki-laki lain. Saat itulah aku sadar mengapa dia menangis ketika meninggalkanku. Mencintainya dan ketika aku tahu dia menerimaku untuk berada disisinya, bagiku semua itu seperti mimpi. Kini aku sadar, ini bukanlah mimpi dan putusnya hubungan kami juga bukan takdir. Itulah yang diinginkan Putri, yang mungkin bisa membuatnya bahagia. Sebagaimana dia telah membuatku bahagia, walaupun dalam sekejap.
Ketika aku pulang dari sekolah. Aku kembali melewati persimpangan jalan yang tak pernah aku lupakan itu. Aku kembali menatap sejenak tembok itu. Kulihat samar-samar, coretan tulisanku ditembok itu telah bertambah atau mungkin Putri telah menyadari aku yang telah menuliskan sebuah kalimat disana sehingga dia pun membalas kata-kata cintaku. Segera aku dekati tembok itu. Perlahan sebuah kalimat telah muncul disana. Sebuah kalimat yang membuatku tersentak. “Hanya seseorang yang telah jatuh cinta yang mengerti; bagaimana indahnya cinta itu dan hanya seseorang yang telah patah hati yang mengerti; bagaimana rasa perih itu”. Kalimat itu tertulis begitu rapi dengan tinta warna merah seperti darah hingga membuatku berpikir bahwa yang menulis ini pastilah seorang gadis. Segera aku keluarkan pulpenku. Kubalas kalimat itu, “Cintalah yang membuatku tersadar akan indahnya kehidupan dan terkadang cinta pula yang membuatku sulit menghadapi kehidupan” Aku tuliskan kalimatku disana tanpa peduli keesokan harinya dia akan membaca tulisan ini atau tidak namun aku berharap dia membacanya.

Keesokan harinya ternyata dia membalas kalimat cintaku. Aku pun juga membalas kalimat-kalimat cinta yang dituliskan disana. Begitulah seterusnya hingga berhari-hari.



Aku terus membalas kalimat-kalimat cinta dengan tinta merah itu hingga tanpa sadar, tulisan-tulisan kami hampir memenuhi tembok putih itu. Aku tidak pernah tahu, siapa wanita disebrang sana. Walaupun sebetulnya rasa penasaran itu selalu ada. Pernah suatu hari aku bersembunyi dibalik kotak-kotak bekas yang bertumpuk di dekat tembok itu, aku hanya ingin menunggu sang penulis denga tinta merah itu. Namun penantianku tak kunjung tiba hingga malam hari, orang itu tak datang.
Sebenarnya tak banyak gadis yang tinggal di daerah ini. Aku juga pernah membuat daftar nama-nama anak perempuan yang mungkin aku kenal. Namun ketika aku bertemu dengan orang-orang itu aku singgung sedikit mengenai tembok itu, tak satupun dari mereka mengerti apa maksudku. Mereka sepertinya bukan penulis itu, tidak mungkin. Beberapa gadis yang mungkin aku kenal di daerah kampung sebelah juga sepertinya tidak tahu menahu, kecuali orang-orang yang tinggal di sebelah jalan raya itu. Namun aku cukup meragukan jika seseorang yang selalu berbagi kalimat cinta denganku itu berasal dari daerah itu. Mereka adalah orang-orang kaya yang tak mungkin mau melewati persimpangan jalan ini, karena tempat ini adalah tempat yang agak kotor dan becek jika turun hujan. Mungkin hanya beberapa orang saja yang mau naik angkutan kota menuju ke pasar yang biasa berada di tempat ini. Bahkan Putri pun tidak pernah lagi datang ketempat ini, mungkin sejak peristiwa itu dia lebih memilih menunggu angkutan kota ditempat pangkalan yang lain agar tidak bertemu denganku.
Saat ini aku juga mengkhawatirkan hubunganku dengan Karina. Sudah hampir lebih dari lima hari aku tidak bertegur sapa dengan Karina. Sekalipun kami bertemu di sekolah. Dia selalu menghindariku. Tentu saja ini sangat mengangguku, aku memutuskan untuk meminta maaf kepadanya. Aku memang menyadari bahwa aku telah memperlakukan Karina dengan tidak adil. Aku telah melampiaskan kemarahanku pada dirinya. Aku seperti akan kehilangan sahabatku.
Banyak juga yang aku ingin tanyakan pada Karina, terutama mengenai seseorang yang selama ini selalu berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku ingin tahu identitas sebenarnya seseorang itu. Sekalipun aku mungkin akan menyesal mengetahuinya, jika seseorang yang menulis ditembok itu tidak sesuai dengan apa yang selama ini aku pikirkan. Besok aku memutuskan untuk menemui Karina. Aku harus meminta maaf padanya.

Hari ini aku tahu dimana seharusnya Karina berada. Setiap hari Selasa dia memiliki jadwal piket menjaga kantor OSIS. Sepulang sekolah aku sengaja mendatangi kantor itu. Tapi disana tidak ada siapapun. Kosong. Aku pun memutuskan menunggunya disini. Tak sampai setengah jam Karina muncul. Aku melihat raut wajahnya yang sedikit kaget ketika melihatku berdiri didepan pintu kantor OSIS. Segera aku mengatakan permintaan maafku padanya.
“Na, maafkan aku. Aku tahu aku salah.”
Dia menatapku sejenak kemudian hanya mengangguk dan berkata, “Aku juga salah dit, harusnya aku kasih tahu kamu dari dulu”
“Gak apa-apa, biarkan aja semua berlalu. Aku memutuskan untuk segera melupakan Putri. Mungkin memang aku tak pantas untuknya”
“Kamu pantas kok” kata Karina pelan. “Hanya saja kalian tidak ditakdirkan untuk saling mencintai” sambungnya.
“Mungkin saja”
Setelah itu, hubungan kami menjadi membaik kembali. Aku juga menceritakan padanya mengenai seseorang yang selama ini berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku katakana padanya bahwa seandainya orang yang berbagi kalimat-kalimat cinta denganku itu seorang perempuan, mungkin aku akan mencintainya. Aku menyukai setiap kalimat yang dituliskannya disana. Karina begitu terkejut mendengar pernyataanku.
“APA?”
“Iya, tembok itu ada dipersimpangan jalan menuju kampong kita. Kamu juga bisa baca disana kalau kamu mau, Na. Kamu pasti akan kagum dengan semua kalimat-kalimat tentang cinta itu”.
“Kamu pasti akan kecewa suatu saat nanti mengatakan hal itu”
“Gimana kamu tahu? Bertemu dengan orangnya saja belum pernah”
“Tapi kamu gak perlu buat pernyataan seperti itu kan dit?”
“Na, kalimat-kalimat itu begitu indah disana” kataku meyakinkannya. “Kamu perlu membacanya, nanti sepulang sekolah kamu harus membacanya”.
“Tidak mungkin”
“Kenapa?”
“Hari ini aku akan pergi kerumah nenek di Bandung, kata ayah nenekku sakit dan kami sekeluarga diminta menjenguknya”
“Aku ikut sedih mendengarnya, berapa lama kamu akan pergi?”
“Mungkin tiga sampai empat hari”
“Baiklah kalau begitu, sepertinya aku sudah harus pulang”
“Yah sampai bertemu minggu depan”
Aku pun meninggalkan Karina. Hatiku begitu lega Karina mau memaafkan aku. Sepulang sekolah seperti biasanya aku melewati persimpangan jalan itu. Aku selalu mampir dan memastikan tulisan-tulisan yang baru akan muncul. Begitu pula kali ini. Hari ini dia menuliskan subuah kalimat yang tak pernah aku sangka. “Tak ada lagi kalimat yang lebih indah untuk aku sampaikan padamu selain, AKU MENCINTAIMU Raditya Sastra”
Kalimat itu begitu jelas menyiratkan perasaannya. Dia tahu namaku sementara aku tak pernah tahu siapa dia. Bagaimana mungkin aku juga mencintai orang yang mungkin aku tak pernah tahu. Aku tak mengerti hal sepeerti ini bisa terjadi. Aku tak berniat membalas kalimat-kalimat itu. Aku hanya akan menunggu saja siapa yang akan datang menemuiku, jika memang gadis itu benar-benar mencintaku. Mungkin saja ada orang yang sengaja iseng mengerjaiku dengan semua ini. Benar seperti kata Karina, jika mungkin suatu saat aku akan kecewa dengan kalimat-kalimat cinta di tembok itu.


Sudah berhari-hari tulisan ditembok itu tak lagi bertambah. Aku enggan menuliskan sesuatu ditembok itu, setelah sang penulisnya menyatakan perasaannya padaku. Masalahnya mungkin aku tak pernah tahu, siapakah gerangan sang penulis itu?
Hari ini pula aku dikejutkan oleh berita dari ibuku.
“Diiiiitt!” panggil ibuku.
“Ada apa bu? Kok teriak-teriak?”
“Kamu sudah dengar kabar kalau Karina kecelakaan?”
“Hah?”
“Iya, ibu juga baru dengar!”
“Terus?”
“Keluarga Karina kecelakaan, tapi katanya yang paling parah ya justru Karina”
“Ibu baru dengar dari ibu-ibu arisan hari ini, padahal kecelakaannya sudah dua hari yang lalu”
“Sekarang Karina dirumah sakit mana, bu?” tanyaku khawatir.
“Katanya sudah dirawat dirumahnya”
“Jadi sudah pulang?”
Ibuku mengangguk. “Kalau kamu mau ke rumahnya sampaikan salam ibu pada keluarganya, mungkin besok ibu akan kesana”
“Yah bu” sahutku sambil bersiap pergi kerumahnya.
Bagiku, Karina adalah sahabat terbaikku. Kami berteman sudah sangat lama. Keluarga Karina juga sering membantu keluarga kami jika sedang daalam kesusahan terutama dalam masalah finansial. Bukan hanya kami yang bersahabat tapi juga keluarga kami. Sesegera mungkin aku pergi kerumah Karina, meski kami tinggal disatu kampung tapi rumah kami terpisah beberapa blok oleh rumah-rumah tempat pabrik kerupuk. Berjalan kaki dari rumahku menuju rumah Karina mungkin hanya membutuhkan beberapa menit. Aku berlari secepatnya agar segera sampai di rumah Karina.
Sampai di depan rumah Karina. Ibu Karina yang membukakan pintu untukku, aku melihat juga didahinya yang dibalut oleh perban putih. Aku katakan padanya, jika kedatanganku karena aku ingin menjenguk Karina. Beliau mempersilahkan aku masuk dan mengantarkannya ke kamar Karina.
“Karina mengalami gegar otak” katanya lirih sembari membukakan pintu kamar Karina.
Aku melihat tubuhnya yang kecil terbaring lemah tak berdaya. Selang infuse masih membelit di tangannya. Tapi diruangan itu, ada hal lain yang membuatku tertegun. Aku melihat setangkai mawar merah plastik yang tidak asing lagi bagiku, disebelahnya juga terdapat sebuah spidol berwarna merah. Kulihat pula berbagai tulisan kalimat yang ditulis di kertas warna-warni, kertas-kertas yang telah ditempelkan pada tembok-tembok didepan meja belajar Karina. Kata-kata yang ditulis disana adalah kata-kata cinta yang aku tuliskan setiap hari ditembok itu. Kini aku mengetahui siapa sang penulis kalimat-kalimat cinta yang indah itu.
Kutatap wajah Karina yang pucat pasi. Ku genggam tangannya dengan erat. Saat itu inginku bisikan melalui telinganya, “Karina, maafkan aku yang tak pernah memahami perasaanmu, kelak jika kau terbangun aku akan katakan padamu bahwa aku juga mencintaimu” .






Yogyakarta, 13 April 2010
“Raditya & Karina, tetaplah bahagia dalam mimpi-mimpiku…”