Senin, 06 September 2010

A Song



“Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be.”


Lagu itu terus mengalun dalam benak Kirana. Sambil menatap monumen tua yang hampir sepuluh tahun meninggalkan memori penting dalam hidupnya. Dipandanginya bunga-bunga yang berjejeran mengelilingi monumen itu. Beraneka warna bunga yang mereka persembahkan. Kirana tetap memilih mawar putih tak berduri, baginya bunga itu adalah simbol ketulusan akan perjuangan hidup. Diletakkan bunga itu berjejer dengan bunga yang lain. Diucapkannya sebuah permohonan. Setelah selesai, segeralah Kirana meninggalkan tempat itu. Dia berlalu untuk mencari seseorang yang tinggal dengan alamat dalam kertas lusuh yang disimpannya lebih dari lima tahun terakhir.

“Kau akan menyesal seumur hidupmu jika tidak menemukannya” batinnya.

Kirana masih ingin menanyakan masa lalu hidupnya, bukan hanya untuk memuaskan keingintahuannya tapi juga untuk masa depannya. Meski tak satu pun mampu menjawab apa yang dikehendakinya. Kirana tak pantang menyerah. Hidupnya akan tetap sama jika dia tak mampu menemukan jawaban itu.


Hembusan angin lembut yang menyibakan rambutnya, mengingatkannya pada padang rumput yang kini tak ada lagi. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang berderet sepanjang jalan menuju kota. Kirana tak bisa lagi membohongi pada dunia bahwa dia begitu merindukan tempat itu.

“Ini adalah penantian panjang” ucapnya suatu hari pada kekasihnya.
“Maksudmu?”
“Aku akan segera mengetahui siapa ibuku sebenarnya?”
Lelaki itu terdiam. Menghela nafas panjang.
“Apa?” sahut Kirana menantang kebisuan sang kekasih.
“Dia meninggalkanmu begitu lama, kau masih ingin mencarinya?” Tanya sang kekasih tanpa pikir panjang.
“YA” jawab Kirana dengan tegas. “Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa seorang Ibu”.
“Tapi wanita seperti itu tak pantas kau sebut ibu” tandas sang kekasih.
Kirana tersentak kaget. Dipandanginya wajah sang Kekasih yang terlihat sangat kesal.
“Cukup! Kau bukan siapapun tak berhak mengatur hidupku lagi” Teriaknya sambil berlalu.

Kirana tahu betul lelaki itu mengejarnya. Amarah tak tertahankan membuatnya tak ingin kembali pada sang kekasih. Itulah awal mula perpisahannya. Kirana tak ingin menemuinya lagi. Tidak lagi.

Ayahnya meninggal sejak Kirana berumur 12 tahun. Baginya tak banyak yang dia ingat dari sang Ayah. Hanya satu memori itu, sang Ayah yang sering menyanyikannya lagu Que Sera Sera. Selebihnya hanyalah cerita dari orang-orang terdekat. Bukan kesalahan siapapun jika semua itu terjadi pada Kirana. Dirinya tahu bahwa sang Ayah begitu mencintainya. Kirana tak akan hidup jika tanpa kerja keras sang Ayah.

Kehidupanlah yang membimbing menjadi dewasa. Kirana tahu kerasnya hidup sebelum saatnya untuk tahu. Kirana merasakan pahitnya hidup sebelum rasa pahit itu ada dalam hidupnya. Hidup dengan belas kasih orang bukanlah hidup yang menyenangkan. Kirana tak butuh retorika tentang makna hidup, yang dia tahu hanyalah bagaimana untuk tetap hidup. Meski kini tujuan hidupnya berubah. Kirana masih ingin mencari sosok ibu yang telah lama hilang dari hidupnya.



Sampailah kaki ini pada alamat yang dicarinya. Tak seperti yang dibayangkan. Rumah itu begitu mungil. Bunga-bunga indah bermekaran di halaman rumah. Batu-batu tertata rapi membentuk jalan setapak. Sebuah lampu taman berbentuk angsa melengkapi nuansa keindahan taman sederhana yang dibatasi dengan pagar putih bersih.

Tiba-tiba tak sedikit pun keberanian muncul dibenaknya. Matanya tertuju pada pintu depan rumah itu. Dirinya hanya mampu memandangi rumah mungil itu dari seberang jalan. Kebingungan muncul dihatinya. Kekuatan yang mendorongnya berjalan hingga sejauh ini pun hilang sia-sia.

Satu jam telah berlalu. Keberanian itu belum muncul juga.

“Kau akan menyesal seumur hidup” gumamnya.

Dua jam telah berlalu. Matahari sudah mulai bosan menyinari. Kirana masih tetap berdiri dan memandangi rumah itu. Entah mengapa, rasa takut itu muncul. Mungkin saja alamat ini salah. Bagaimana bisa Kirana tahu jika dirinya pun tak mencoba masuk kerumah itu.

Kirana pun teringat sang kekasih yang sudah dicampakkannya.

“Mungkin dia ada benarnya” desahnya kemudian.

Saat itu Kirana memutuskan untuk menyerah pada kenyataan, hingga terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi bagi telinga Kirana, lagu itu mengalun perlahan dari rumah itu.

“When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me.

Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be”.


Sebuah senyuman muncul dari bibir Kirana. Dengan segenap kekuatan didatangilah rumah mungil itu. Sambil terus mengucap doa dalam hatinya, semoga itu ibu.





Yogyakarta, 20 Agustus 2010.

*Lagu “Que Sera, Sera” (Whatever will be, will be)
Apa yang akan terjadi, terjadilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar