Selasa, 16 Juli 2013

The Bliss of Innocent

“[Kids] don't remember what you try to teach them. They remember what you are.” 
Jim Henson, It's Not Easy Being Green: And Other Things to Consider


Dua bola mata lugu itu menatapku penuh makna, tubuhnya kecil dengan kulit berwarna sawo matang yang dibalut kaos berwarna biru lusuh, tanpa alas kaki anak kecil itu berlari kesana kemari. Terkadang menatapku sejenak dengan muka yang menahan tawa, seolah-olah ada hal yang benar-benar menggelikan dariku, bahkan aku sendiri tak pernah tahu apa yang ada dipikirannya. Kemudian dia memanggil temannya yang berbadan lebih gembul untuk pergi bersamanya agar mau berkenalan denganku. "Ayoo to kenalan ama mbak-mbak KKN!" teriaknya dengan logat jawa yang kental. Aku sendiri sedikit geli mendengarnya ketika aku dan teman-teman yang lain dipanggil "mbak-mbak KKN". 


Peristiwa itu terjadi pada hari pertama ketika kami hendak menjalankan program TPA di rumah Bu RT (Bu Sumarman). Saat itu aku tidak sendirian, ada beberapa teman yang membantuku meski sebetulnya hanya ada dua orang pengajar tetap di program KKN yaitu aku dan Neena (yang juga teman satu kampus di Fakultas Hukum, UGM). Sementara dua orang lainnya yaitu Umi (dari Fakultas MIPA) dan Asty (dari Fakultas Kehutanan) hanya membantu pada pertemuan pertama kami sekaligus perkenalan dengan ibu RT. 

** 
Hari pertama kami mengajar, kami memang sedikit kikuk, sejujurnya aku sendiri tak memiliki banyak pengalaman mengajar terutama dengan anak-anak, sekalipun sebetulnya aku sendiri memiliki beberapa keponakan di rumah. Kami akhirnya memutuskan untuk cukup membimbing mengaji saja. Sambil mengikuti kegiatan yang biasanya dilakukan di TPA kecil tersebut. 

Hari kedua, kami mulai mengajarkan tentang tata cara menulis huruf hijaiyah, dengan sedikit modal kemampuan tentang menulis kaligrafi, aku memberanikan diri untuk terus mengajarkan bagaimana cara menulis huruf hijaiyah yang baik dan benar, tidak mudah ternyata, dalam beberapa hal justru kesabaranku benar-benar diuji. Belum lagi ada beberapa anak-anak kecil laki-laki yang glidik (nakal dalam bahasa jawa), sulit sekali untuk diatur. Semua itu juga mengingatkan tentang diriku ketika aku masih kecil dan sesekali membuatku berpikiran "ah namanya juga anak kecil". Sebetulnya jadwal mengajar kami dimulai dari pukul 16.30 sampai 17.15, meski terkadang molor juga, sehingga ketika sampai di pondokan KKN biasanya sudah terdengar adzan Magrib. 

***


Hari-hari menjalankan program mengajar TPA berlalu begitu cepat, melihat tingkah anak-anak kecil yang semakin lama semakin bandel terkadang membuat semangatku untuk mengajar sedikit luntur. Aku berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka bahkan belajar sendiri agar semakin lama tulisan kaligrafiku semakin baik, namun ada kalanya ketika aku datang untuk mengajar ke rumah Bu RT di sana justru kosong melompong, ternyata karena siang hari hujan deras, anak-anak memilih untuk tidur dirumah masing-masing, atau terkadang mereka datang TPA tetapi tidak membawa buku untuk berlatih. Maka sedikit demi sedikit aku mulai mempelajari karakter mereka walaupun terkadang aku menyadari anak-anak memang tabiatnya senang bermain, atau mungkin hanya aku saja yang selalu menghadapi segala hal terlalu serius? 


Pernah pada suatu hari sebelum bulan Ramadhan, kami pergi mengajak anak-anak berkeliling dukuh Watukarung II (tempat kami berada). Selain itu supaya kami lebih mengenal lingkungan kami sekitar, sebab kami nantinya akan tinggal di desa ini selama dua bulan. Saat kami mulai menyusuri jalanan kampung, tiba-tiba salah seorang anak memintaku untuk terus mengenggam tangannya. Ketika kami mulai berjalan, dia bercerita dengan polosnya, tanpa rasa ragu, tentang sekolahnya, tentang tempat dia bermain-main, tentang keinginannya untuk seperti mbak-mbak KKN, tentang hewan-hewan di kandang ternak, tentang hal-hal lain yang begitu sederhana. Tanpa aku sadari aku pun larut dengan segala ceritanya. Yang membuatku heran adalah entah mengapa anak kecil yang satu ini tak mau melepas tanganku meski yang lain justru berlarian kesana kemari. "kenapa gak ikut maen-maen dengan anak yang lain, itu lo kesana?" tanyaku, sebetulnya aku sedikit risih jika tanganku terus menerus digenggam. "Gak mau, ntar mbak KKNnya diambil anak yang lain". Aku justru tertawa. Ada sebersit kebahagiaan ketika ternyata keberadaan kita mampu masuk ke dalam dunia mereka. 




Sebab entah apapun yang kelak akan kami tinggalkan di Desa ini, seberapa besar hal yang akan kami berikan pada mereka, anak-anak mungkin hanya akan mengenal kami sebagai "mbak-mbak KKN" mereka melihat sebagaimana yang terlihat tanpa ada prasangka, kepolosan mereka layaknya cermin yang menunjukkan siapa kami. Entah itu baik atau buruknya perilaku kami. 

Well the most sophisticated people I know is inside they are all children. Now I realized, there's nothing more contagious than the laughter of young children; it doesn't even have to matter what they're laughing about, there is kind of bliss, coming out from their innocent and I think, I am starting to like them. I am pretty sure that I am gonna miss their laughter someday. 

M. 
Sleman, July 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar