Senin, 22 Agustus 2011

Surat Cinta 4: Layang-layang


Aku selalu merasa seperti layang-layang. Aku melayang bebas diterpa angin dan hujan. Aku tetap tegar. Sementara engkau adalah seorang anak laki-laki yang terus mengerakkan hatiku. Menikmati setiap keindahan gerak-gerikku. Suatu saat kau menarikku agar aku terus ada dalam pandanganmu, tetapi suatu saat kau membiarkan aku jauh diterpa angin, kau terus mengulur tali agar aku menjauh dan semakin jauh. Dalam interval tertentu kau menarik tali layang-layang itu dengan gesit. Menangkap hatiku. Membuatku terpana. Membiarkan perasaanku kalut.

Aku pun membiarkan dirimu memainkan tali itu. Karena aku begitu menikmatinya saat itu. Tapi tidakkah kau takut bahwa suatu saat tali itu akan putus. Sehingga layang-layang itu akan terbang jauh dari pandanganmu dan takkan pernah kembali lagi kepadamu?



Aku mengakui bahwa akulah yang memulai semua ini. Awalnya aku hanya jatuh cinta pada namamu. Aku membaca namamu seolah adalah harapan. Kemudian aku mulai mencari tahu tentang dirimu. Sungguh, kamu begitu menarik. Aku selalu berusaha meyakinkan hatiku bahwa ini adalah rahasia hatiku. Hanya aku saja yang mengamatimu setiap kali berjalan menuju labolatorium dibelakang kelasku. Hanya aku saja menikmati momentum itu berlalu. Tapi kerisauanku segera tercium oleh teman-temanku layaknya aroma terapi yang disulut.

Aku tak mengerti. Sejak semula aku mendeskripsikan dirimu sebagai obsesi hatiku. Semua itu ditunjukkan dengan gejala-gejala obsesi kronis yang aku alami. Aku selalu bahagia menerima pesan singkat darimu. Aku selalu bahagia menghabiskan waktu tengah malam suntuk untuk sekedar berbicara hal-hal yang tak penting denganmu. Selera humormu yang sederhana selalu menghidupkan malam-malamku. Sikapmu yang acuh tak acuh menumbuhkan rasa penasaranku tentang kehidupanmu. Cerita-cerita konyolmu selalu terdengar mengasyikkan ditelingaku. Itulah yang aku tak mengerti. Aku bahagia walaupun hanya menjadi sekedar layang-layang di matamu.

Jadilah aku pecandu dunia seluler. Aku hanya menanti sms darimu. Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pagi dan orang terakhir yang mengucapkan selamat malam kepadamu melalui pesan singkat. Di hari ulang tahunmu yang ke tujuh belas, mungkin, akulah orang pertama yang mengucapnya selamat ulang tahun. Malam itu aku menantang mataku untuk tetap bertahan hingga detik-detik hari kelahiranmu. Hingga momentum itu tiba tepat pada waktunya. Hingga ucapanku benar-benar menjadi special.

Suatu waktu, kita memutuskan untuk bertemu. Tak hanya menghabis pembicaraan kita lewat telepon dan pesan singkat. Maka saat itulah kencan pertama dalam hidupku. Kencan? Mungkin kencan artifisial. Sebetulnya kami hanya membunuh waktu dengan berjalan bersama dan mengobrol. Membicarakan hal apapun tentang kehidupan masing-masing di sebuah cafe. Aku selalu kehabisan kata-kata dihadapanmu. Sementara kamu seolah-olah memiliki ratusan cerita yang menarik. Kamu memiliki pribadi yang menyenangkan. Mungkin karena aku selalu ingin menjadi sempurna dihadapanmu karena aku tahu kau begitu berharga.

Kala itu, aku menganggap bahwa kamu adalah alasan mengapa aku masih sendiri. Aku selalu menunggu. Aku selalu menghargai segala keputusanmu. Aku selalu berusaha paham. Aku selalu mencoba ‘mengangguk’ untuk semua pendapat yang kau utarakan. Meski segala keinginanmu itu terdengar begitu absurd ditelingaku. Tidakkah mungkin bagimu melupakan luka yang telah ditorehkan wanita lain dihatimu.

Aku selalu berusaha mengkalkulasi setiap kemungkinan yang muncul agar aku bisa menjadi kekasihmu. Mempertimbangkan setiap jejak kehidupanku agar aku bisa menjadi pasangan yang serasi bagimu. Selayaknya gadis-gadis lainnya aku mengalami fairytale syndrome tentangmu.

Hingga akhirnya aku terlambat menyadari bahwa aku bukan apa-apa. Hanya aku saja yang menganggap diriku ini layang-layang. Aku tahu, kamu tak pernah meminta apapun dariku. Ini hanya tentang aku dan layang-layang. Aku selalu menganggap kamu adalah matahari tapi ternyata kamu hanyalah pelangi, yang datang dalam sekejap untuk memperlihatkan keindahan bias warnamu. Kamu hanyalah kupu-kupu yang terbang dengan singkat di taman kehidupanku. Kamu adalah mimpi yang datang sejenak dalam tidur lelapku. Kau terlampau indah untuk terus ada dalam realitas hidupku.


Jika suatu hari kita kembali bertemu. Mungkin aku tak lagi menjadi layang-layang. Mungkin aku tak lagi mengenalmu sebaik aku mengenalmu dahulu. Mungkin aku hanya akan menjadi wanita biasa yang pernah kau temui di sebuah halte bus. Mungkin aku akan menjadi wanita yang lupa ingatan. Aku akan membiarkan semuanya tak terjawab meski begitu banyak pertanyaan yang tersekat dalam tenggorokanku. Aku akan membiarkan semua kenangan itu berlalu walau terus merajam dalam ingatanku.

Tetapi meski bukan aku, cobalah sedikit untuk membuka hati. Cobalah untuk kembali mencintai. Cobalah lebih jujur dan menantang kehidupan. Cobalah lebih berani. Cobalah kembali untuk mengenal wanita, karena mereka tak selalu sama.


~~
Yogyakarta, Mei 2011

Noted:
pictures by Andrew @CubaGallery

Tidak ada komentar:

Posting Komentar