Sabtu, 06 Agustus 2011

Cerpen: Café

“Hari ini kenapa terlambat?” tanya kak Nanda
“Maaf kak, tadi kecelakaan kecil, uhm.. jatuh dari sepeda” jawabku dengan lirih.
Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi muram, “Kamu terluka?”
“Sedikit, lecet-lecet di tumit” jawabku sambil tersenyum kecut.
“Lain kali hati-hati”
Aku hanya mengangguk.
“Jatuh itu sakit apalagi jatuh cinta”
Aku tertawa mendengar dia berkata seperti itu dan seketika luka di tumit itu menjadi tidak perih lagi.
“Kok bisa sakit? Bukannya justru bahagia?
“Kata siapa bahagia?”
“Kata orang-orang” jawabku sekenanya.
“Mungkin bahagia tapi sesaat saja”
“Wah...wah...kakak tahu betul soal jatuh cinta?”
“Entahlah” jawabnya sambil meringis dan berlalu.

Hanya itu saja percakapanku dengannya sore ini. Aku berkerja partime sebagai waitress dengan kak Nanda di sebuah cafe dekat kampus. Aku berkerja mulai pukul empat sore sampai pukul sembilan malam. Memang cukup melelahkan tapi demi uang mau bagaimana lagi. Setiap harinya di cafe ini selalu ada berbagai macam kisah anak muda, mulai dari yang menyendiri bermain laptop hingga yang asyik berpacaran. Awalnya aku melakukan pekerjaan ini karena terpaksa. Dorongan ekonomi. Tapi setelah bertemu dengan Kak Nanda. Aku menyukai café ini bahkan lebih dari Mall atau tempat apapun. Aku tak pernah lelah mengamati kak Nanda. Bagimana aku harus melukiskan kak Nanda? Dia memiliki tatapan yang tajam, hidung mancung, bibir tipis, wajahnya berbentuk oval, kurus walaupun tak benar-benar kurus kerempeng dan kulit berwarna sawo matang. Tingginya mungkin sekitar 175 cm. Aku tak yakin dia keturunan Jawa tulen. Tapi dia paham betul tingkah laku perempuan jawa. Dia berulang kali bercerita mengidam-idamkan gadis jawa. Dan itu membuat hatiku berdebar-debar setiap kali mendengarnya. Ah...

***

Aku melihat kak Nanda yang hanya terdiam. Sesekali mengecek HP-nya meski tidak ada nada ataupun getaran. Aku tahu dia gelisah, tapi aku tak pernah tahu apa penyebabnya. Dilanjutkannya kembali mengelap meja dan membereskan gelas-gelas kemudian membawanya ke dapur. Entah mengapa aku begitu ingin memperhatikan setiap gerak-geriknya. Kak Nanda memiliki kepribadian yang menyenangkan. Ramah kepada teman dan pelanggan. Sesekali juga humoris. Supel. Lelaki yang sangat hangat. Aku menduga Kak Nanda sedang ada masalah yang cukup serius, karena tak biasanya kak Nanda merenung dan terdiam seperti itu. Aku mungkin terlalu peduli dengannya, tapi bagiku sikap kak Nanda kali ini begitu berbeda.

Bukan hanya itu saja yang membuatku heran. Kebetulan hari ini kami kedatangan pelanggaan yang cukup menyebalkan. Gerombolan anak-anak SMA yang saling bercanda bahkan sampai menggangu pelangan yang lain. Kak Nanda dengan emosional menegur mereka dengan nada suara ynag cukup tinggi. Bukan hanya aku bahkan pelayan yang lain pun kaget dengan sikap Kak Nanda yang tak biasa.

Keesokan harinya aku tak melihat kak Nanda berkerja. Aku pikir hanya hari tu saja aku tak menemuinya. Kira-kira lebih dua minggu kak Nanda tak bekerja. Tak ada yang tahu penyebabnya, hanya manajer cafe saja yang konon mengetahuinya. Alasan yang aku dengar juga simpang siur. Ada yang mengatakan ketidakmunculan kak Nanda disebabkan oleh peristiwa gerombolan anak SMA tempo lalu. Namun ada yang mengatakan ada masalah keluarga dan lain sebagainya. Aku begitu menyayangkan absensi kak Nanda di tempat kerja.

***


Cahaya café yang temaram. Suasana ini membawaku kepada lautan memori. Aku ingat ketika kak Nanda berjalan diantara kursi-kursi café, kemudian duduk diantara kursi-kursi pelanggan memandang ke arah jendela menanti pukul empat sore. Dia selalu datang dua jam lebih awal, untuk memastikan café bersih dan nyaman bagi pelanggan. Terkadang aku pun juga sengaja untuk datang lebih awal, dan menghabiskan menit-menit berdua dengan kak Nanda sampai pelayan yang lainnya berdatangan. Ketika aku mendengar kak Nanda terpaksa kembali karena ibunya wafat. Aku tak bisa berprasangka apapun. Aku hanya menyadari bahwa aku tak mengerti apapun tentang kak Nanda.

Kini kulihat diruangan ini, cahaya temaram yang menambah suasana semakin dingin dan suram, meskipun biasanya cahaya café ini sengaja untuk dibuat temaram tapi entah mengapa kali aku merasa tempat ini begitu kelam. Konsep café ini sebetulnya dibuat romantis dengan gaya minimalis. Tak heran jika café kecil ini sering dijadikan tempat berkencan bagi para remaja.

Kali ini aku datang ketempat ini bukan lagi sebagai seorang waitress, melainkan sebagai pelanggan biasa. Usahaku kecil-kecilan berbisnis pernak-pernik souvenir berjalan lancar. Aku pun memutuskan untuk berhenti menjadi waitress yang menurutku cukup melelahkan. Walaupun alasanku sebenarnya, aku tak lagi merasa nyaman ketika Kak Nanda telah meninggalkan café ini.

Aku terdiam menatap para pelayan café, tak satu pun dari mereka aku kenal. Mungkin memang sudah lama sejak aku bekerja. Masa yang cukup lama. Waktu berjalan tanpa kita sadari Tetapi kenangan itu masih tetap ada. aku sengaja duduk membelakangi pintu dan lampu utama. Aku hanya menghindari lalu lalang orang masuk. Aku menghindari keramaian. Dalam keremangan itu, aku melihat bayangan tubuh lelaki mendatangiku. Bayangan itu begitu familiar. Mengenakan seragam waitress dan membawa nampan berisi cangkir-cangkir. Aku membiarkan waitress itu meletakan minuman yang telah aku pesan. Cappuccino. Aku pun tak menoleh hanya untuk sekedar menegok wajahnya. Bukan dengan maksdu apapun. Sampai sang pelayan itu meletakkan tangannya di pundakku dan memanggil namaku dengan suara yang begitu khas, “Diandra”.

Seketika kutatap wajahnya. Aku tersenyum. Ada kelegaan yang muncul dalam dada seperti hendak membuncah. Aku tak pernah tahu aku akan menemuinya kembali di café ini. Aku hanya berfirasat mungkin saja dia akan kembali ke café kecil ini.

Yogyakarta, Mei 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar