Pada Juni tahun 2010 lalu saya berkesempatan mengikuti program Global Xchange yakni pertukaran relawan muda Indonesia dan Inggris yang diadakan oleh British Council melalui kerjasama dengan VSO (Volunteer Service Overseas) dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Program inilah yang telah memberikan saya kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan berkerja sebagai relawan. Pada program kali ini, kota Luton (Inggris) dan Yogyakarta (Indonesia) terpilih menjadi Host Community bagi Global Xchange 2010. Maka kesempatan yang telah diberikan oleh British Council ini tidak saya sia-siakan, setelah menyelesaikan fase pertama program di kota Yogyakarta. Pada akhir Juli saya berangkat ke Inggris untuk melanjutkan fase kedua di kota Luton. Disinilah pengalaman hidup saya merasakan bulan Ramadhan di Negara Ratu Elizabeth ini pun dimulai.
Saya tak pernah membayangkan sebelumnya bisa merasakan ibadah puasa di sebuah kota kecil di bagian selatan Inggris. Kota itu bernama Luton, lama perjalanan yang harus ditempuh dari kota London sekitar dua puluh menit menggunakan kereta api. Daya tarik dari kota Luton yaitu dikenal sebagai kota yang multikultur, karena masyarakat yang tinggal di kota ini tidak hanya terdiri orang-orang keturunan kulit putih yang memiliki keturunan Inggris saja melainkan banyak juga yang berasal dari Afrika-Karibia atau Asia seperti India, Pakistan dan Banglades. Prosentase penduduk Luton yang berkulit putih adalah 68% dan penduduk keturunan Asia atau Asia-Inggris (British Asia) mencapai 19,3% dari total keseluruhan masyarakat kota Luton yaitu 184.371 jiwa, sisanya berasal dari keturunan kulit hitam seperti Afrika Karibia, atau daerah Eropa lainnya dan Cina. Maka sekitar 14,6% masyarakat kota Luton yang beragama Islam dan menjalankan ibadah puasa dibulan Ramadhan ini
Kota Luton dahulu dikenal sebagai kota Industri sehingga banyak berdatangan para imigran dari Afrika dan Asia untuk menjadi tenaga kerja di beberapa pabrik di kota Luton ini. Akan tetapi kebanyakan dari mereka lebih merasa nyaman tinggal dan melanjutkan kehidupannya di Inggris ketimbang harus pulang ke negara asalnya. Berbeda dengan Dunstable, sebuah kota kecil disebelah timur kota Luton. Suasana dikota ini sudah berbeda, tidak lagi banyak ditemui masyarakat keturunan Afrika ataupun Asia layaknya di kota Luton. Sisa-sisa memori Luton sebagai kota Industri juga terlihat disudut-sudut kota Luton. Seperti the Hat Factory, sebuah bangunan bekas pabrik topi yang sekarang digunakan sebagai tempat diadakannya berbagai macam pertunjukan teater. Di ujung jalan Bute St. juga terdapat monumen mesin alat pembuat topi yang pernah digunakan oleh pabrik-pabrik topi, sebagai bentuk kenangan akan adanya pabrik topi di kota Luton. Selain sebagai pabrik topi, kota Luton juga terkenal dengan adanya perusahan mobil Vauxhall Motors.
Kawasan pusat kota adalah disekitaran St. George’s Square, sebuah lapangan ditengah kawasan pertokoan dan fasilitas publik. Disinilah tempat diadakannya acara-acara hiburan bagi masyarakat kota Luton. Salah satunya adalah Luton Summer Festival, konser musik baik internasional ataupun nasional, pertujukan tari, teater dan pertunjukan seni lainnya. Festival ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Luton bahkan mereka juga dapat ikut berpartisipasi mengisi acara di festival ini.
Tak jauh dari St. George’s Square, terlihat sebuah bangunan besar yang nampaknya belum selesai direnovasi. Bangunan itu adalah The Mall yang merupakan pusat belanja di kota Luton. The Mall sendiri menjadi pusat berbelanja dari berbagai kalangan. Tidak seperti mall yang biasanya hanya didatangi kalangan atas saja ataupun sebaliknya, di dalam mall ini terdapat pula Luton Market, semacam kumpulan para pedagang dengan pertokoan kecil yang menjual aneka macam barang mulai dari pakaian, sepatu, alat elektronik sampai makanan-makanan ringan. Di dalam The Mall juga terdapat toko-toko dengan merk ternama seperti Mark & Spencer dan Debenhams.
Bicara mengenai tempat favorit, Bury Park adalah tempat paling sering saya kunjungi untuk berbelanja, berkuliner ria dan menghabiskan waktu selain The Mall. Tempat ini merupakan kawasan perbelajaan yang mayoritas tokonya dimiliki oleh orang-orang Asia. Cukup berjalan sepuluh menit saja dari St. George’s Square kearah timur maka akan segera sampai di Bury Park. Deretan pertokoan di Bury Park menyajikan berbagai macam bahan makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, bahan makanan dari Asia. Di tempat ini juga biasanya orang-orang muslim mencari daging halal. Selain itu terdapat pula toko-toko pakaian Asia, selain menjual pakaian-pakaian tradisional mereka juga menjual berbagai macam pernak-pernik gelang atau kalung.
Di sepanjang kawasan Bury Park ini banyak restoran-restoran yang menjajakan makanan-makanan Asia seperti kebab, kari, ataupun nasi. Restoran-restoran di Bury Park ini juga mencantukan tulisan ‘halal’ sehingga bagi muslim seperti saya tidak ragu lagi untuk menikmati makanan-makanan di tempat ini meskipun makanan-makanan Asia harganya sedikit lebih mahal daripada makanan Inggris pada umumnya yaitu sandwich, burger atau ayam dengan kentang goreng. Misalnya, harga yang dibayar untuk satu porsi kebab sekitar 3 hingga 5 pounds tapi bagi saya itu cukup memuaskan karena porsi yang cukup besar and its very Asian food taste! Sangat cocok bagi pendatang seperti saya yang merindukan masakan tanah air.
Di Bury Park inilah ciri khas masyarakat Multikultural begitu terasa, kita bisa dengan mudah menemui orang-orang dari berbagai kalangan berkumpul bersama seperti orang-orang Afrika, Pakistan, India, Thailand, Cina atau pun orang-orang Inggris sendiri. Misalnya, disudut jalan Bury Park juga terdapat sebuah gereja yang tak kurang dari 100 meter terdapat pula sebuah Masjid. Mereka hidup dengan rukun dan harmoni satu sama lainnya. Bahkan kampanye ‘Luton in Harmony’ sering disuarakan oleh pemerintah kota Luton sebagai bentuk komitmen masyarakat Luton untuk tetap menjaga keharmonisan antar suku dan agama.
Selama lima minggu menetap di Luton, saya tinggal bersama Host Home, mereka adalah keluarga Muslim keturunan Pakistan. Maka tidak terlalu sulit bagi saya untuk bangun menyiapkan sahur pada dini hari, karena kami dapat menyiapkan makanan untuk sahur bersama. Tinggal bersama mereka juga memberikan saya pengalaman baru mengenal budaya Pakistan meskipun tidak secara langsung di Negara Pakistan.
Perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di Inggris adalah rentang waktu puasa yang jauh lebih lama daripada saat berada di Indonesia. Saya harus menahan rasa lapar kurang lebih 18 jam, berbeda dengan di Indonesia yang hanya 14 jam. Itu karena matahari baru mulai tenggelam atau mencapai waktu Magrib sekitar pukul 20.00. Awalnya mungkin terasa berat namun kondisi cuaca musim panas di Inggris yang masih tetap terasa dingin bagi saya, suhunya berkisar antara 12 sampai dengan 18 derajat celcius ternyata tidak membuat saya merasa terlalu kehausan dan kelaparan. Ketika pertama kali datang ke kota Luton sebelum bulan Ramadhan dimulai, kami merasakan hal yang cukup unik yakni kami harus menikmati makan malam sementara langit masih sangat terang. Ini diluar kebiasaan orang-orang Indonesia yang waktu makan malam adalah ketika langit mulai gelap.
Sayangnya masjid yang ada di Luton tidak menyelenggarakan sholat jama’ah (sholat bersama) baik sholat wajib ataupun tarawih bagi perempuan, satu-satunya yang mengizinkan perempuan mengikuti sholat tarawih bersama hanyalah di Islamic Centre, yang letaknya masih dikawasan Bury Park. Maka disinilah saya bisa mengikuti sholat tarawih bersama-sama. Sholat tarawih untuk perempuan dilaksanakan di lantai dua, sedangkan laki-laki dilantai dasar. Para perempuan ketika menunaikan ibadah tarawih tidak menggunakan mukena layaknya di Indonesia, mereka menggunakan baju seperti gamis longar dipadu dengan kerudung lebar.
Menjalani ibadah di Negara yang mayoritas bukan beragama Islam memang terasa berbeda, tetapi justru semakin menguatkan keteguhan hati saya sebagai muslimah. Di Kota ini keindahan perbedaan begitu terasa karena rasa toleransi dan saling menghargai yang tinggi. Begitu pula ketika saya menjalani salah satu kegiatan yaitu Global Citizenship Day (GCD) yang kebetulan terletak di aula Gereja Katolik di High Town, Luton. Pada saat itu tiba waktu dzuhur, maka saya meminta mereka untuk menghentikan kegiatan. Mereka pun mengerti, bahkan menyediakan tempat untuk sholat berjama’ah. Lucunya, saya bersama teman-teman muslim lainnya terpaksa melaksanakan sholat jama’ah di aula gereja tersebut. Mereka yang beragama non-muslim pun tidak tersinggung dan menghargai keyakinan saya. Fenomena itu memberikan pelajaran begitu berharga, ketika kita harus saling membantu dan bertoleransi terhadap keyakinan sesama manusia. However, this journey that enriches me lots of experiences and it matter most, rather than its destination.
noted:
Tulisan ini saya upload kembali setelah sebetulnya dimuat di Majalah Suara Aisyiyah bulan September, 2010. Sekaligus untuk menunjukkan rasa keprihatinan saya terhadap London's Riot.
Beruntungnyaaa, pengen deh ke Inggris (>.<)
BalasHapusKalau gak salah,keadaan cuaca di Inggris cepat berubah..benar gak?
BalasHapus