Rabu, 14 April 2010

Cerpen: Wall of Love



Aku telah menunggu gadis itu lebih dari dua jam namun dia tak kunjung datang. Kami berjanji akan bertemu pukul empat sore, sedangkan saat ini langit sudah mulai gelap dan gerimis. Bagaimana pun aku tetap akan menunggunya. Aku tak tahu sampai kapan aku akan menunggunya, mungkin karena aku sangat yakin dia pasti datang. Ketika hujan benar-benar menjadi deras. Keraguan pun mulai menyelimuti hatiku. Apakah dia masih tetap akan datang? Penampilanku juga sudah tidak sebaik dua jam yang lalu, hanya bunga mawar merah yang terbuat dari plastik ini saja yang masih terlihat segar. Anehnya, tak ada sedikitpun kekecewaan yang aku rasakan meski dia telah membuatku menunggu lebih dari dua jam ini, mungkin karena perasaanku yang mendalam terhadap dirinya.
Tepat pukul tujuh malam, saat dimana aku sudah hampir putus asa. Dia muncul dengan mata sembab. Awalnya aku sama sekali tidak tahu bahwa itu akan menjadi hari terburuk dalam kisah cintaku ini. Kumunculannya malam itu saja sebenarnya telah membuat perasaanku lega dan bahagia. Sampai aku menyadarinya beberapa saat kemudian. Jeda diantara dia muncul dan aku mengetahui raut wajahnya yang sedih serta matanya yang sembab itulah seketika perasaanku mulai berubah menjadi gelisah, apakah dia menangis? Ketika dia sudah ada didepanku, aku pun menjadi linglung. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Tubuhnya yang basah kuyup akibat menerjang hujan deras juga membuatku semakin tak karuan. Aku benar-benar tidak tahu kalimat apa yang harus aku ucapkan bahkan aku melupakan setangkai mawar yang seharusnya aku berikan di awal pertemuan, sebagaimana skenario yang jauh-jauh hari aku persiapkan. Akhirnya dialah yang memulai pembicaraan diantara kami.
“Maaf aku terlambat”
“Tidak apa-apa, kamu juga kehujanan”
“Yah, aku tak apa-apa kok mungkin pertemuan kita ini tidak akan lama”
Aku benar-benar gelisah kali ini.
“Ya, itu juga tidak apa-apa sebaiknya kamu segera pulang dan ganti baju, aku senang kamu mau bertemu denganku hari ini”
“Bukan begitu dit, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan tentang hubungan kita”
“Katakan saja, apapun itu asalkan membuat perasaanmu lebih baik” kataku memberanikan diri.
Dia terpaku dan sedikt ragu-ragu untuk mengatakan perasaannya.
“Aku mencintai laki-laki lain” ucapnya dengan lirih.
Aku terdiam. Kulihat air mata itu mulai mengalir dari matanya yang indah.
“Maafkan aku” ucapnya sambil menyeka air mata yang semakin deras.
Itu merupakan kalimat terakhir yang aku dengar. Kemudian dia berlari menuju hujan, aku hanya mampu melihatnya semakin menjauh dariku hingga hilang ditelan oleh kegelapan. Sedangkan aku terdiam menyaksikan semua itu. Kegelisahanku beralasan, hatiku mungkin akan tahu bahwa saat itu aku akan benar-benar kecewa. Hatiku seperti ditusuk. Aku menatap bunga mawar plastik yang ada digenggamanku. Ingin aku katakan pada bunga mawar itu, “Tahukah engkau wahai bunga mawar, keberadaanmu dalam genggaman tanganku kini sudah tiada artinya, gadis yang seharusnya memilikimu kini meninggalkan aku dan mungkin untuk selamanya”.
Aku pun meninggalkan tempat ini. Perasaanku begitu kacau balau antara kekecewaan dan ketidakpahaman. Mungkinkah selama ini dia tersiksa harus menjalani hubungan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah dia cintai? Aku benar-benar tak mengerti. Mungkin saja dia menangis karena dia tahu akan melukai hati seseorang yang tulus mencintainya. Seperti inikah rasanya patah hati tuhan? Sungguh menyakitkan. Aku berjalan dibawah hujan seperti mati rasa, tidak dingin dan tidak pula panas.Mungkin tempat ini akan menjadi saksi mati betapa aku mencintaimu meski pada akhirnya aku harus mengalah karena ketidakberdayaanku akan cintamu pada lelaki lain.
Aku terus berjalan hingga sampai disebuah persimpangan jalan, dimana disanalah pertama kali aku melihat gadis yang aku cintai itu. Dia berdiri begitu indah menanti angkutan kota melewati jalan ini. Tempat ini adalah jalan yang sehari-hari aku lewati ketika berangkat ke sekolah. Aku melihatnya disana lebih dari tiga kali dalam seminggu. Aku selalu memperhatikan dia. Hingga saat itu, hujan turun begitu deras. Aku tawarkan payung yang aku miliki dan membiarkannya membawanya, sementara aku rela hujan-hujan pulang kerumah. Keesokan harinya terpaksa aku tak mengenakan sepatu dan tas ranselku ke sekolah karena basah kuyub dan paginya belum kering. Aku pun terpaksa mengenakan sepatu kulit milik pamanku yang kebesaran dan kantong plastik hitam untuk menyimpan bukuku. Sesulit apapun hal yang aku alami saat itu, tetap saja indah kurasakan. Mungkin itulah saat dimana aku jatuh cinta. Aku tatap tempat dimana dia biasa berdiri dengan indahnya, kini yang ada hanyalah dinding putih yang sudah mulai kusam. Kosong tak bernyawa. Seperti hatiku saat ini.
Aku tidak tahu aku mendapatkan ide ini dari mana. Tapi aku menuliskan sebuah kalimat di dinding itu agar tak menjadi kosong seperti hatiku. Aku hanya ingin suatu saat dia akan membacanya, saat dimana mungkin dia akan kembali berdiri ditempat ini. “Hari ini aku telah patah hati oleh seorang gadis yang amat kucintai.” Kutuliskan pula inisial namaku disana “R. S.” yaitu Raditya Sastra. Mungkin aku terlalu berharap akan perasaanmu padaku, mungkin pula aku terlalu memaksakan perasaan ini. Seharusnya aku sadari perasaan itu sejak awal, hingga aku tak perlu menyakiti hati ini terlalu dalam. Aku masih tak bergerak menatap tulisan dengan tinta hitam tipis yang ditorehkan ditembok itu. Semoga suatu hari nanti engkau membacanya. Suatu saat engkau harus tahu.
Kutinggalkan bunga mawar plastik itu disana, di depan tembok itu kemudian aku pergi dari tempat itu dengan langkah goyah. Sepanjang jalan menuju ke rumah aku hanya mampu bergumam, “Sungguh menyakitkan patah hati itu”.


Keesokan harinya badanku panas dan betul-betul demam. Aku tidak tahu ini efek psikologis dari aku yang sedang patah hati atau memang karena aku membiarkan tubuhku diguyur hujan semalaman tanpa mengunyah sesuap nasi pun. Semalam ketika aku pulang, ibuku mengomel-ngomel karena sikapku yang tidak peduli dengan diri sendiri dengan memilih hujan-hujanan. Sekata-kata ibuku mengomeliku tetap saja makian itu tak terasa sakit dihati. Karena saat itu hatiku seperti mati rasa akibat patah hati. Begitu pula pagi hari ini ketika badanku demam dan aku terpaksa tidak pergi sekolah. Ibuku kembali memaki-maki dan mengungkit sikapku semalam. Aku tetap tak bergidik. Badanku memang sedang sakit tapi itu tak seberapa ketimbang sakit yang ada dihati. Sungguh memilukan.
Siang harinya sahabat karibku Karina yang juga tetanggaku satu kampung datang menjengukku, karena dia menanyakan kenapa hari ini aku tidak hadir dirapat pertemuan organisasi sekolah yang aku dan dia ikuti. Aku pun telah melupakan hal penting itu. Ibuku mengantarkan Karina ke kamarku namun ketika ibu telah meninggalkan kami untuk bercakap-cakap mengenai tugas-tugas kami disekolah. Karina justru mengatakan hal lain. Bukan tentang organisasi ataupun tentang tugas-tugas sekolah.
“Aku dengar kamu putus dengan Putri, dit?” pertanyaannya sungguh mengagetkanku.
“Dari mana kamu tahu?”
“Karena aku juga dengar kalau Putri hari ini jadian dengan kakak kelas kita, kelas tiga”
“Siapa?” tanyaku penasaran, tak kusangka sudah banyak nyebar gossip disekolahku. Padahal sekolah kami dengan sekolah Putri berbeda meskipun tempatnya sangat berdekatan.
“Kak Yordan” jawab Karina dengan suara rendah.
Aku hanya terdiam. Sungguh sangat miris kenyataan yang diungkapkan Karina. Kini aku tahu alasan Putri meninggalkanku. Yordan kakak kelas kami bukanlah murid yang biasa saja. Selain tampangnya yang mempesona para gadis, dia juga jagoan tim basket sekolah kami. Belum lagi sederet prestasi yang dilainnya. Aku dibandingkan dengan Yordan sungguh sangat ironis. Meninggalkan aku demi Yordan pun bukan hal yang aneh, justru semakin wajar. Kini aku tahu alasan itu yang diinginkan Putri. Kenyataan itu menjadikan titik balik akan perasaanku terhadap Putri, gadis yang semalam membuat aku terlunta-lunta dengan cinta. Apa yang dimiliki Yordan adalah apa yang selama ini dia harapkan dariku.
Pertanyaan Karina membuyarkan lamunanku.
“Itu sebabnya kamu sakit, dit?”
“Mungkin” jawabku sambil memalingkan muka.
“Seharusnya aku memberitahu kamu sejak awal” katanya tiba-tiba.
“Maksudmu?” tanyaku menatapnya.
“Aku tahu Putri menyukai kak Yordan sejak dulu”
“Apa?”
Aku sungguh kaget dengan perkataan Karina.
Dia mengulangi kalimatnya dengan suara lebih rendah,”iya dit, Putri sudah lama menyukai Yordan. Aku tak mengatakannya padamu karena aku hanya ingin menjaga perasaanmu dit” ungkapnya.
“Na, seandainya kamu mengatakan padaku lebih awal mungkin hatiku gak sesakit ini”
“Maaf” ucapnya sambil menitikkan air mata.
“Sebaiknya kamu segera pergi dari tempat ini” kataku dengan perasaan sangat kesal, aku merasa seperti ditipu oleh sahabatku sendiri.
Mendengar perkataanku, dia sangat terkejut. Kemudian dengan cepat dia segera pergi dari kamarku dengan langkah terburu-buru. Aku sadar, memang seharusnya kata-kata itu tidak terlontar dari bibirku. Aku pasti telah menyakiti perasaannya. Aku hanya kalut. Akan tetapi tak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku pada Karina. Dia adalah sahabatku.


Paginya ketika aku datang kesekolah. Ternyata teman-temanku juga telah banyak mendengar berita tentang putusnya hubunganku dengan Putri. Setiap kali aku temui mereka diluar kelas. Pertanyaan yang terlontar adalah tentang Putri dan Putri. Berbagai kalimat iba ataupun semangat untuk kembali bangkit dan mendapatkan cinta yang baru terlontar dari beberapa temanku. “Sabar dit, mungkin emang takdirnya lo harus putus ma dia. Cewek banyak kok!” atau “Sia-sia dong kamu kejar dia, bukan jodohnya kali dit, kamu ama Putri!” Aku hanya bisa meringis mendengar semua itu. Itulah mereka dengan pikiran mereka.
Teman-temanku itu mungkin memang mengatakan perjuangan panjangku untuk mendapatkan cinta dari Putri telah sia-sia. Tapi bagiku tidak, semua kisah itu adalah miliku. Ketika aku jatuh cinta padanya, mungkin memang benar itu sebuah takdir. Namun ketika dia telah memilih untuk meninggalkanku itu bukan lagi menjadi takdir. Itu telah menjadi keputusannya untuk meninggalkanku dan memilih mencintai laki-laki lain. Saat itulah aku sadar mengapa dia menangis ketika meninggalkanku. Mencintainya dan ketika aku tahu dia menerimaku untuk berada disisinya, bagiku semua itu seperti mimpi. Kini aku sadar, ini bukanlah mimpi dan putusnya hubungan kami juga bukan takdir. Itulah yang diinginkan Putri, yang mungkin bisa membuatnya bahagia. Sebagaimana dia telah membuatku bahagia, walaupun dalam sekejap.
Ketika aku pulang dari sekolah. Aku kembali melewati persimpangan jalan yang tak pernah aku lupakan itu. Aku kembali menatap sejenak tembok itu. Kulihat samar-samar, coretan tulisanku ditembok itu telah bertambah atau mungkin Putri telah menyadari aku yang telah menuliskan sebuah kalimat disana sehingga dia pun membalas kata-kata cintaku. Segera aku dekati tembok itu. Perlahan sebuah kalimat telah muncul disana. Sebuah kalimat yang membuatku tersentak. “Hanya seseorang yang telah jatuh cinta yang mengerti; bagaimana indahnya cinta itu dan hanya seseorang yang telah patah hati yang mengerti; bagaimana rasa perih itu”. Kalimat itu tertulis begitu rapi dengan tinta warna merah seperti darah hingga membuatku berpikir bahwa yang menulis ini pastilah seorang gadis. Segera aku keluarkan pulpenku. Kubalas kalimat itu, “Cintalah yang membuatku tersadar akan indahnya kehidupan dan terkadang cinta pula yang membuatku sulit menghadapi kehidupan” Aku tuliskan kalimatku disana tanpa peduli keesokan harinya dia akan membaca tulisan ini atau tidak namun aku berharap dia membacanya.

Keesokan harinya ternyata dia membalas kalimat cintaku. Aku pun juga membalas kalimat-kalimat cinta yang dituliskan disana. Begitulah seterusnya hingga berhari-hari.



Aku terus membalas kalimat-kalimat cinta dengan tinta merah itu hingga tanpa sadar, tulisan-tulisan kami hampir memenuhi tembok putih itu. Aku tidak pernah tahu, siapa wanita disebrang sana. Walaupun sebetulnya rasa penasaran itu selalu ada. Pernah suatu hari aku bersembunyi dibalik kotak-kotak bekas yang bertumpuk di dekat tembok itu, aku hanya ingin menunggu sang penulis denga tinta merah itu. Namun penantianku tak kunjung tiba hingga malam hari, orang itu tak datang.
Sebenarnya tak banyak gadis yang tinggal di daerah ini. Aku juga pernah membuat daftar nama-nama anak perempuan yang mungkin aku kenal. Namun ketika aku bertemu dengan orang-orang itu aku singgung sedikit mengenai tembok itu, tak satupun dari mereka mengerti apa maksudku. Mereka sepertinya bukan penulis itu, tidak mungkin. Beberapa gadis yang mungkin aku kenal di daerah kampung sebelah juga sepertinya tidak tahu menahu, kecuali orang-orang yang tinggal di sebelah jalan raya itu. Namun aku cukup meragukan jika seseorang yang selalu berbagi kalimat cinta denganku itu berasal dari daerah itu. Mereka adalah orang-orang kaya yang tak mungkin mau melewati persimpangan jalan ini, karena tempat ini adalah tempat yang agak kotor dan becek jika turun hujan. Mungkin hanya beberapa orang saja yang mau naik angkutan kota menuju ke pasar yang biasa berada di tempat ini. Bahkan Putri pun tidak pernah lagi datang ketempat ini, mungkin sejak peristiwa itu dia lebih memilih menunggu angkutan kota ditempat pangkalan yang lain agar tidak bertemu denganku.
Saat ini aku juga mengkhawatirkan hubunganku dengan Karina. Sudah hampir lebih dari lima hari aku tidak bertegur sapa dengan Karina. Sekalipun kami bertemu di sekolah. Dia selalu menghindariku. Tentu saja ini sangat mengangguku, aku memutuskan untuk meminta maaf kepadanya. Aku memang menyadari bahwa aku telah memperlakukan Karina dengan tidak adil. Aku telah melampiaskan kemarahanku pada dirinya. Aku seperti akan kehilangan sahabatku.
Banyak juga yang aku ingin tanyakan pada Karina, terutama mengenai seseorang yang selama ini selalu berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku ingin tahu identitas sebenarnya seseorang itu. Sekalipun aku mungkin akan menyesal mengetahuinya, jika seseorang yang menulis ditembok itu tidak sesuai dengan apa yang selama ini aku pikirkan. Besok aku memutuskan untuk menemui Karina. Aku harus meminta maaf padanya.

Hari ini aku tahu dimana seharusnya Karina berada. Setiap hari Selasa dia memiliki jadwal piket menjaga kantor OSIS. Sepulang sekolah aku sengaja mendatangi kantor itu. Tapi disana tidak ada siapapun. Kosong. Aku pun memutuskan menunggunya disini. Tak sampai setengah jam Karina muncul. Aku melihat raut wajahnya yang sedikit kaget ketika melihatku berdiri didepan pintu kantor OSIS. Segera aku mengatakan permintaan maafku padanya.
“Na, maafkan aku. Aku tahu aku salah.”
Dia menatapku sejenak kemudian hanya mengangguk dan berkata, “Aku juga salah dit, harusnya aku kasih tahu kamu dari dulu”
“Gak apa-apa, biarkan aja semua berlalu. Aku memutuskan untuk segera melupakan Putri. Mungkin memang aku tak pantas untuknya”
“Kamu pantas kok” kata Karina pelan. “Hanya saja kalian tidak ditakdirkan untuk saling mencintai” sambungnya.
“Mungkin saja”
Setelah itu, hubungan kami menjadi membaik kembali. Aku juga menceritakan padanya mengenai seseorang yang selama ini berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku katakana padanya bahwa seandainya orang yang berbagi kalimat-kalimat cinta denganku itu seorang perempuan, mungkin aku akan mencintainya. Aku menyukai setiap kalimat yang dituliskannya disana. Karina begitu terkejut mendengar pernyataanku.
“APA?”
“Iya, tembok itu ada dipersimpangan jalan menuju kampong kita. Kamu juga bisa baca disana kalau kamu mau, Na. Kamu pasti akan kagum dengan semua kalimat-kalimat tentang cinta itu”.
“Kamu pasti akan kecewa suatu saat nanti mengatakan hal itu”
“Gimana kamu tahu? Bertemu dengan orangnya saja belum pernah”
“Tapi kamu gak perlu buat pernyataan seperti itu kan dit?”
“Na, kalimat-kalimat itu begitu indah disana” kataku meyakinkannya. “Kamu perlu membacanya, nanti sepulang sekolah kamu harus membacanya”.
“Tidak mungkin”
“Kenapa?”
“Hari ini aku akan pergi kerumah nenek di Bandung, kata ayah nenekku sakit dan kami sekeluarga diminta menjenguknya”
“Aku ikut sedih mendengarnya, berapa lama kamu akan pergi?”
“Mungkin tiga sampai empat hari”
“Baiklah kalau begitu, sepertinya aku sudah harus pulang”
“Yah sampai bertemu minggu depan”
Aku pun meninggalkan Karina. Hatiku begitu lega Karina mau memaafkan aku. Sepulang sekolah seperti biasanya aku melewati persimpangan jalan itu. Aku selalu mampir dan memastikan tulisan-tulisan yang baru akan muncul. Begitu pula kali ini. Hari ini dia menuliskan subuah kalimat yang tak pernah aku sangka. “Tak ada lagi kalimat yang lebih indah untuk aku sampaikan padamu selain, AKU MENCINTAIMU Raditya Sastra”
Kalimat itu begitu jelas menyiratkan perasaannya. Dia tahu namaku sementara aku tak pernah tahu siapa dia. Bagaimana mungkin aku juga mencintai orang yang mungkin aku tak pernah tahu. Aku tak mengerti hal sepeerti ini bisa terjadi. Aku tak berniat membalas kalimat-kalimat itu. Aku hanya akan menunggu saja siapa yang akan datang menemuiku, jika memang gadis itu benar-benar mencintaku. Mungkin saja ada orang yang sengaja iseng mengerjaiku dengan semua ini. Benar seperti kata Karina, jika mungkin suatu saat aku akan kecewa dengan kalimat-kalimat cinta di tembok itu.


Sudah berhari-hari tulisan ditembok itu tak lagi bertambah. Aku enggan menuliskan sesuatu ditembok itu, setelah sang penulisnya menyatakan perasaannya padaku. Masalahnya mungkin aku tak pernah tahu, siapakah gerangan sang penulis itu?
Hari ini pula aku dikejutkan oleh berita dari ibuku.
“Diiiiitt!” panggil ibuku.
“Ada apa bu? Kok teriak-teriak?”
“Kamu sudah dengar kabar kalau Karina kecelakaan?”
“Hah?”
“Iya, ibu juga baru dengar!”
“Terus?”
“Keluarga Karina kecelakaan, tapi katanya yang paling parah ya justru Karina”
“Ibu baru dengar dari ibu-ibu arisan hari ini, padahal kecelakaannya sudah dua hari yang lalu”
“Sekarang Karina dirumah sakit mana, bu?” tanyaku khawatir.
“Katanya sudah dirawat dirumahnya”
“Jadi sudah pulang?”
Ibuku mengangguk. “Kalau kamu mau ke rumahnya sampaikan salam ibu pada keluarganya, mungkin besok ibu akan kesana”
“Yah bu” sahutku sambil bersiap pergi kerumahnya.
Bagiku, Karina adalah sahabat terbaikku. Kami berteman sudah sangat lama. Keluarga Karina juga sering membantu keluarga kami jika sedang daalam kesusahan terutama dalam masalah finansial. Bukan hanya kami yang bersahabat tapi juga keluarga kami. Sesegera mungkin aku pergi kerumah Karina, meski kami tinggal disatu kampung tapi rumah kami terpisah beberapa blok oleh rumah-rumah tempat pabrik kerupuk. Berjalan kaki dari rumahku menuju rumah Karina mungkin hanya membutuhkan beberapa menit. Aku berlari secepatnya agar segera sampai di rumah Karina.
Sampai di depan rumah Karina. Ibu Karina yang membukakan pintu untukku, aku melihat juga didahinya yang dibalut oleh perban putih. Aku katakan padanya, jika kedatanganku karena aku ingin menjenguk Karina. Beliau mempersilahkan aku masuk dan mengantarkannya ke kamar Karina.
“Karina mengalami gegar otak” katanya lirih sembari membukakan pintu kamar Karina.
Aku melihat tubuhnya yang kecil terbaring lemah tak berdaya. Selang infuse masih membelit di tangannya. Tapi diruangan itu, ada hal lain yang membuatku tertegun. Aku melihat setangkai mawar merah plastik yang tidak asing lagi bagiku, disebelahnya juga terdapat sebuah spidol berwarna merah. Kulihat pula berbagai tulisan kalimat yang ditulis di kertas warna-warni, kertas-kertas yang telah ditempelkan pada tembok-tembok didepan meja belajar Karina. Kata-kata yang ditulis disana adalah kata-kata cinta yang aku tuliskan setiap hari ditembok itu. Kini aku mengetahui siapa sang penulis kalimat-kalimat cinta yang indah itu.
Kutatap wajah Karina yang pucat pasi. Ku genggam tangannya dengan erat. Saat itu inginku bisikan melalui telinganya, “Karina, maafkan aku yang tak pernah memahami perasaanmu, kelak jika kau terbangun aku akan katakan padamu bahwa aku juga mencintaimu” .






Yogyakarta, 13 April 2010
“Raditya & Karina, tetaplah bahagia dalam mimpi-mimpiku…”

4 komentar:

  1. maybe i should learn much about writing from you...

    BalasHapus
  2. iya, chol...dan aq akan belajar banyak gamelan n wayang padamu..hahaha deal khan^^

    BalasHapus
  3. hahehehe...
    berdasarkan kisah nyata nya maz..??

    BalasHapus
  4. hahaha
    eggk cuma imajinasi otak kanan :D

    BalasHapus