Rabu, 07 April 2010

Kekasih dalam Kata-Kata


Sebetulnya aku tidak mencintainya. Setidaknya aku tahu bahwa perasaanku padanya bukanlah perasaan cinta. Aku mencintai semua tulisan-tulisannya tapi tidak penulisnya, begitulah. Aku pun menyadari perasaan ini cukup lama, menerima kenyataan bahwa aku tidak mencintai istriku sendiri. Sejujurnya aku menikahi dia karena apa-apa yang dituangkan dalam kertas-kertas itu berupa puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, dan novel-novelnya. Tapi tidak dirinya dan tidak pribadinya. Aku pun merasa tidak terganggu dengan segala perasaan ini asalkan aku masih membaca semua karya-karyanya. Kenyataan terindah yang aku alami adalah aku selalu menjadi orang pertama yang membaca karya-karyanya. Aku sangat menikmati semua itu. Oleh sebab itu cintaku bukanlah cinta bertepuk sebelah tangan.

Awalnya mungkin aneh. Seperti mencintai hal yang tidak nyata. Absurd. Coba bayangkan, aku hanya mendekati istriku jika dia telah mulai beranjak dari mejanya dan mengerak-gerakan badannya melepas penat sambil tersenyum riang, itu merupakan pertanda bahwa dia telah menyelesaikan karya terbarunya. Kebiasaan istriku yang satu Inilah yang selalu kunanti-nanti.
Kemudian aku mulai mendekatinya sambil bertanya, “Apa yang kau tulis? Novel? Cerpen? Atau Puisi?”
“Cerpen” jawabnya singkat.
“Sudah selesai?”
Dia mengangguk perlahan.
“Boleh aku baca?”
Dia kembali mengangguk.
Seketika perasaanku berubah menjadi berbunga-bunga, bahagia tiada tara. Semakin aku mendekati laptop istriku, hatiku semakin berdetak tak karuan. Luar biasa. Perasaan cintaku ini begitu mendalam. Aku membaca tulisan itu dengan seksama, sekejap perasaanku mulai bergejolak, mataku menyusuri kata demi kata, cerita itu segera mengalir lembut diantara sel-sel otakku membuat hatiku semakin berdegup gencang. Cerpen magis dengan gaya kesusastraan tingkat tinggi. Gaya bahasa yang begitu aku kenal, ide cerita yang brilian, aku begitu mencintainya, aku begitu mencintai karya-karya sastra istriku, sekali lagi hanya karyanya bukan pribadinya.
Setelah membaca karya terbaru istriku, cerita-cerita dalam karya itu selalu terbawa dalam mimpi-mimpiku, yang kemudian membawaku kedalam dunia baru. Dunia yang jauh lebih indah. Yang jauh dari dunia nyataku, yang jauh dari kehidupanku, dan yang jauh dari istriku. Namun kebahagiaan yang ada dalam mimpiku ini hanya terasa sekejap saja. Karena bisikan-bisikan suara wanita itu, tepatnya suara istriku yang membangunkanku untuk kembali berangkat ke kantor. Aku selalu kesal. Kebahagiaan yang hanya dirasakan beberapa saat saja. Hilang begitu saja oleh suara-suara wanita itu. Sialan!
Begitulah aku menjalani kisah cintaku. Unik. Tapi aku pun tak bisa menepis perasaan cintaku yang begitu mendalam ini. Aku membiarkan cintaku ini tetap tumbuh dengan sendirinya. Karena aku pun begitu menikmati setiap episode kehidupan cinta yang aku jalani. Sampai suatu ketika istriku kembali menulis, kali ini dia mengarang sebuah novel yang membuat perasaan cintaku ini semakin gila. Perasaan cintaku dengan karya-karyanya sekali lagi bukan pada penulisnya secara pribadi.

***

Hari itu aku pulang lebih awal dari biasanya, kudapati rumahku sangat sepi. Hening. Kupanggil nama istriku berulang kali namun dia tak menyahut. Aku pun masuk kamar dan berganti pakaian. Kemudian aku mendatangi ruang makan, kubuka tudung saji diatas meja makan, disana telah tersedia nasi putih hangat, lauk pauk dan sayuran. Tentu saja semua itu adalah makan siang yang disediakan untukku oleh istriku. Dia tahu betul hari ini aku akan pulang lebih cepat dari biasanya, batinku. Segera aku mulai menyantap hidangan yang ada dihadapanku, perutku sudah tidak tahan setelah setengah hari ini berkerja dikantor menghadapi setumpuk nota-nota yang harus dibuat menjadi laporan keuangan berlembar-lembar. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai pekerjaanku namun ini adalah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Sayup-sayup aku mendengar bunyi seseorang sedang memencet keyboard dengan cepat. Seseorang sedang mengetik. Wanita itu kembali menulis! Istriku kembali menulis!
Segera aku datangi ruang baca, tempat dimana istriku biasanya menulis semua karya-karyanya. Aku mengintipnya dari balik celah pintu, wanita itu terlihat begitu fokus menatap layar laptop, jari-jarinya yang lentik tak berhenti bergerak terus memencet tuts-tuts keyboard dengan begitu tangkasnya. Matanya melotot menatap huruf-huruf yang mulai bermunculan dilayar dengan rapinya. Sedangkan aku, hatiku justru mulai berdegup, semakin lama semakin kecang. Ini pertanda bagus, wanita itu benar-benar mulai menulis lagi, itu berarti aku akan kembali membaca dan menemui kekasihku! Aku tersenyum bahagia.
Tiba-tiba wanita itu menghentikan aktivitasnya, dia menoleh kearahku. Dia menyadari aku memperhatikannya. Dia menatapku sesaat dan tersenyum. Mungkin keheranan melihatku senyum-senyum sendirian dibalik pintu.
“Sudah pulang?”
Aku mengangguk.
“Maaf aku tidak tahu kamu sudah pulang, aku keasyikan menulis sebuah novel sampai aku tidak sadar ternyata kamu sudah pulang sedari tadi”
Sebuah novel!
“Sudah makan? Aku sudah menyiapkan makan siang di atas meja makan” tambahnya.
Aku hanya menunjukkan piring yang aku pegang diatasnya juga masih tersisa setumpuk nasi dan lauk pauk yang sengaja aku ambil melebihi porsi biasanya.
Tak kuat menahan rasa penasaranku. Aku bertanya, “Kamu sedang menulis novel tentang apa?”
“Seorang wanita” jawabnya singkat. “Dan kau adalah lelaki pertama yang akan membacanya” tambahnya dengan tegas.
Aku bahagia bukan main. Sebentar lagi akan muncul sebuah novel yang menuturkan tentang seorang wanita, akankah wanita dalam novel ini yang akan menjadi cinta sejatiku. Perasaanku semakin tak karuan. Maka sebisa mungkin aku tidak menganggu wanita itu. Biarlah dia terus menyelesaikan novel itu. Biarkan dia terus menulis. Aku tak sabar! Wanita penulis novel itu atau wanita yang biasa disebut-sebut oleh orang-orang sebagai istriku. Mungkin dia memang istriku tapi sekali lagi aku tidak mencintainya, aku hanya mencintai tulisan-tulisannya.

***

Berhari-hari bahkan berminggu-minggu aku tunggu wanita itu atau istriku menyelesaikan novel terbarunya. Aku rela membiarkan dia sesekali tidak memasak makan malam ataupun makan siang. Tak apalah, asalkan cepat selesai novel itu, batinku.
Sampailah dimana istriku jatuh sakit. Ini benar-benar masa yang sulit. Aku menjadi gelisah tidak karuan, aku benar-benar khawatir akan novel itu yang tak terselesaikan. Maka apapun akan aku lakukan demi sembuhnya istriku. Aku benar-benar khawatir pada novel itu. Aku benar-benar ingin segera membacanya. Semenjak aku tahu istriku sakit hingga tidak bisa melanjutkan menulis novel segeralah aku membawanya ke dokter. Sesampai disana, aku ingin perawatan terbaik untuk istriku agar dia lekas sembuh dan kembali melanjutkan menulis novel yang tertunda karena kesehatannya. Beruntung sang dokter mengatakan bahwa istriku hanya kecapean dan perlu istirahat. Aku begitu lega mendengar penuturan sang dokter, setelah menerima resep obat dari dokter kami cepat-cepat membeli obat itu di apotek terdekat dan pulang. Sampai dirumah segera aku memastikan dia meminum obat dan beristirahat. Nampaknya aku harus lebih bersabar untuk menanti novel itu. Setidaknya aku harus lebih berjuang untuk mendapatkan kekasih sejatiku. Sekali lagi bukan istriku, tetapi tulisan-tulisannya.
Malam harinya, istriku mengucapkan terima kasih atas semua perhatianku hari ini. Aku diam saja. Dia mengatakan sangat bahagia terhadap kepedulian dan perhatianku. Aku tetap diam saja. Dia bahkan juga mengatakan kalau dia sangat mencintaiku dan akan segera menyelesaikan novel itu agar aku bisa segera membacanya.
“Aku ingin kamu segera membaca novel terbaruku, aku ingin mendengar pendapatmu” begitulah katanya.
Kali ini aku tidak diam saja. Aku tersenyum ceria sambil mengatakan, “Aku juga ingin segera membaca novel itu, cepatlah lekas sembuh”
Dia pun mengangguk dan tersenyum.
Meski begitu, aku memang bahagia. Tapi aku tak pernah sekalipun mengatakan padanya bahwa aku tak mencintainya dan aku hanya mencintai tulisan-tulisannya. Entahlah, mungkin aku takut kehilangan cintaku, aku takut dia tidak menulis lagi dan aku akan kehilangan cinta sejatiku. Hanya itu saja alasanku. Perasaan yang aneh.
Beberapa hari setelah dia sembuh, dia kembali menulis untuk melanjutkan novel itu. Aku bahagia. Setidaknya aku akan segera membaca novel itu.

***

Siang itu aku pulang dengan kondisi yang sangat melelahkan. Semua ini disebabkan aktivitas di kantor. Naiknya pamor perusahaan tempat aku bekerja menyebabkan aku harus mengikuti meeting dengan beberapa klien perusahaan dalam seharian, yang kemudian hasil meeting itu harus segera aku ubah menjadi rencana anggaran ini dan itu. Akan tetapi suasana hatiku malam itu menjadi berubah ketika wanita itu atau istriku mengatakan bahwa dia telah menyelesaikan novel terbarunya. Dia mengatakannya ketika menyambut kehadiranku diruang tamu.
“Aku telah menyelesaikan novel terbaru”
“Sungguh?” tanyaku tak percaya.
“Yah, kau bisa membacanya malam ini” katanya sambil mengangguk.
Saking bahagianya, aku peluk wanita itu atau istriku dan segera aku pergi ke ruang baca. Kudapati laptop yang tengah menyala itu. Mataku pun segera menyusuri kata demi kata. Novel ini tak kalah dengan cerita-cerita yang lain. Tetap magis dengan gaya kesusastraan tingkat tinggi. Gaya bahasa yang begitu aku kenal, ide cerita yang brilian, aku begitu mencintainya, aku begitu mencintai karya-karya sastra istriku, sekali lagi hanya karyanya bukan pribadinya.
Aku terus membaca novel itu. Sampai aku pun terasa terbawa ke dunia lain, aku terasa hidup mengikuti alur cerita dalam novel itu dan akhirnya aku pun terpikat oleh wanita lain. Seorang wanita yang hambir ribuan kali namanya disebut-sebut dalam novel itu. Wanita yang membuat aku terus membaca novel itu hingga imajinasiku semakin menyala dengan liarnya.
Wanita itu bernama Melisa. Wanita yang diceritakan dalam novel karya istriku itu. Kini mimpi-mimpiku tidak lagi tentang cerita-cerita magis, melainkan tentang wanita bernama Melisa. Semua kini telah berubah, aku justru tergila-gila tentang wanita bernama Melisa. Wanita hasil imajinasi istriku. Entah bagaimana wanita itu mulai memasuki mimpi-mimpiku. Bahkan jauh dari yang pernah aku bayangkan. Kami berdua begitu bahagia dalam dunia kami. Dunia mimpi kami. Dunia yang jauh lebih indah. Yang jauh dari dunia nyataku, yang jauh dari kehidupanku, dan yang jauh dari istriku. Dunia yang hanya milik kami berdua saja, aku dan Melisa. Sedangkan wanita itu atau istriku tetap saja menjadi penganggu kebahagiaan kami. Menganggu mimpi-mimpi kami dengan suara-suara yang membangunkanku untuk segera berangkat ke tempat kerja.
Mimpi-mimpi itu membuat aku menunggu hadirnya malam. Aku tak sabar untuk segera terlelap dan bertemu dengan Melisa. Aku tergila-gila dengan wanita itu. Wanita yang diciptakan dari imajinasi istriku kini benar-benar menjadi wanita impianku. Sungguh sulit dipercaya.

***

Berulangkali aku memastikan sikap istriku yang mulai terlihat tak biasa, mungkin dia mulai menyadari juga kenyataan bahwa aku tidak mencintainya. Gelagatnya selalu menunjukan rasa curiga, seolah-olah memastikan aku tidak berhubungan dengan wanita lain. Sepulang dari kantor, dia selalu memeriksa barang-barangku secara diam-diam meskipun aku tahu tapi aku berpura-pura tidak tahu. Jika aku pulang agak terlambat karena harus menyelesaikan laporan ke kepala bidang pun dia dengan sengaja menelpon ke kantor. Aku tidak tahu persis apa yang ingin diketahuinya, tapi mungkin dia hanya memastikan bahwa aku tidak bersama wanita manapun dikantor. Aku membiarkan semua hal yang dilakukannya meski aku mulai sedikit risih dengan hal-hal yang menunjukkan rasa penuh kecurigaan itu.

Barangkali dia sudah lelah dengan semua sikap dan perilakuku terhadap dirinya. Ketika kutemui dia dikamar, wajahnya begitu muram. Meski aku tak terlalu mengenalnya, tapi aku tahu perilakunya itu tak biasa. Mungkin saja dia sedang marah. Inilah kemarahannya. Sebetulnya aku tidak ingin mengajaknya bicara namun dia sendiri justru yang memulai pembicaraan kami malam itu. Percakapan melelahkan yang membuat aku mengakui perasaanku yang sebenarnya.
Matanya mulai merah dan sembab, aku die telah menangis dan kini dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan air mata itu lagi.
Dengan suara serak, ia berusaha berteriak. “Siapa wanita bernama Lisa itu?”
Aku diam saja.
“Aku mendengar kau sebut-sebut nama itu ratusan kali dalam tidurmu! Katakan siapa wanita itu!”
Aku tetap diam saja.
“Hampir tiap malam kau mengigau menyebut L-I-S-A!” katanya dengan suara nyaring. “Siapa wanita itu? Katakan padaku siapa gadis itu!” tambahnya sambil disertai isak tangis.
“Lisa itu Melisa, wanita dalam imajinasimu, wanita dalam novelmu”
“OMONG KOSONG! Wanita itu tidak nyata!”
“Tapi dia nyata bagiku!” teriakku. “Dia sangat nyata bagiku! Dia hidup! Aku begitu mendambakan wanita itu hidup dalam mimpiku selamanya! Aku begitu memimpikan gadis itu”
“Bohong!”
“Aku tidak bohong! Dan aku tidak pernah berbohong!” kataku sambil menatapnya “Seandainya kau ingin aku jujur. Aku tidak pernah mencintaimu, aku hanya mencintai karya-karyamu, tulisan-tulisanmu, puisi-puisimu, cerpen-cerpenmu, novel-novelmu, juga Melisa atau L-I-S-A!”
Sejenak dia hanya terdiam mendengar kata-kataku.
“Itukah perasaanmu padaku selama ini?”
“Yah” jawabku dengan tegas. “Maafkan aku”
Dia kembali menangis dan pergi ke ruang baca. Disana dia terus menangis. Hingga suara tangisnya yang begitu sendu memecah keheningan malam setelah pertengkaran mulut yang terjadi diantara kami, pertengkaran mengenai Melisa dan perasaanku yang sebenarnya. Dia tidak kembali lagi kekamar sampai tengah malam. Bahkan malam itu, ketika aku bertemu dengan Melisa dalam mimpiku, dia juga terlihat begitu sedih. Seolah-olah dia akan pergi jauh dan tidak kembali. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya tidak sedih. Namun Melisa tetap sedih bahkan dia menangis. Aku pun begitu sedih melihat dia menangis. Aku tak mampu berkata-kata. Aku terus menghiburnya. Hal yang aku inginkan hanya melihatnya tersenyum seperti biasanya, hanya hal itu yang paling aku harapkan dari mimpiku yang singkat ini agar mimpi ini tidak menjadi mimpi terburuk dalam hidupku.
Kali ini yang membangunkanku bukan lagi suara-suara wanita itu atau istriku. Melainkan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku. Aku lihat jam dinding yang ada dikamarku. Sudah pukul sembilan, pikirku. Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Hari ini aku memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Perasaanku terhadap Melisa dalam mimpi begitu mempengaruhiku. Dia terlihat begitu sedih. Sungguh mimpi yang sangat buruk. Namun kali ini aku telah kembali ke dunia nyataku.
Aku mencari-cari wanita itu atau istriku. Mungkinkah dia meninggalkanku setelah kejadian semalam? Aku mencarinya kesetiap ruang rumah kami. Kali ini aku periksa lemarinya. Aku pastikan kali ini, dia benar-benar telah pergi.


Hari ini, aku hanya ingin diam dirumah dan menunggu malam tiba. Aku menunggu saat yang tepat untuk bertemu dengan Melisa. Biarkanlah istriku meninggalkanku asalkan Melisa tetap hadir dalam mimpi-mimpiku. Sesaat malam tiba. Aku tenggelam dalam kasurku. Kini aku tidak lagi membagi kasur ini dengan wanita itu atau istriku. Aku berharap mimpi itu datang, bersama dengan datangnya Melisaku tersayang. Namun sungguh sangat membuatku kecewa. Malam ini Melisa tidak bisa datang dalam mimpiku. Sungguh menyesakkan. Apa yang telah terjadi padamu. Oh, Melisaku tersayang?
Ketidakhadirannya dalam mimpiku membuatku terbangun. Hanya sekilas wajahnya yang terlintas dalam benakku, saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Saat-saat dimana dia terlihat begitu sedih. Aku mencintai Melisa. Kekasihku yang hidup dalam kata-kata. Wanita hasil imajinasi istriku. Wanita yang ada dalam novel hasil karya isteriku. Aku begitu mencintai tulisan-tulisan isteriku. Sekali lagi hanya tulisan-tulisannya bukan pribadinya. Sungguh aneh, tapi memang begitulah.


Berhari-hari sudah aku jalani kehidupan tanpa Melisa dalam mimpi-mimpiku. Dia tidak pernah kembali setelah malam itu, begitu pula wanita itu atau isteriku. Melisa pergi tepat disaat isteriku pergi. Sepulang kerja tidak adalagi masakan diatas meja makan. Ketika malam tiba, tidak ada lagi wajah lugu milik Melisa. Aku pun tak pernah lagi mendengar bunyi gerakan jari-jari yang menghentak-hentak pada tuts-tuts keyboard laptop. Aku juga tak pernah melihat senyum Melisa atau cerita-cerita magis dalam mimpiku seperti dulu. Hatiku begitu sakit merasakan semua itu. Seolah-olah sebuah anak panah ditusukkan tepat mengenai dadaku. Begitu sakitnya sampai membuatku menangis setiap malam. Sampai aku sadari satu hal. Aku tak hanya merindukan Melisa, tetapi juga wanita itu atau istriku. Penyesalan itu datang seiring dengan adanya bisikan-bisikan, ketika engkau mencintai sesuatu maka engkau juga harus mencintai sang penciptanya.
Aku pun menangis. Kali ini aku benar-benar menangis. Aku tak hanya mencintai tulisan-tulisannya, puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, novel-novelnya, ataupun Melisa tetapi aku juga mencintai isteriku. Aku menyesal, menangis, dan patah hati.

01:04
Y. 07. 04. 10

2 komentar:

  1. Keren bener....^_^
    thumbs up dah...terharu euy..
    "ketika kita mencintai ciptaannya maka kita harus mencintai penciptanya.."

    BalasHapus