Minggu, 14 Maret 2010
Hope
Antara hati dan akal,
Antara perasaan dan pikiran,
Seolah mereka tak pernah menyatu,
Selalu ada ragu yang bersarang dalam hatiku,
Yang aku tak pernah mengerti maknanya,
Kehidupanku kembali membentuk paradox,
Aku yang selalu ingin diam,
Kini saatnya aku harus membagi,
Apa yang aku inginkan dan apa yang telah terjadi
Semuanya menjadi ilusi,
Meskipun
Mozaik-mozaik kehidupan kembali aku rangkai,
Tanpa aku sadari,
Aku justru terjatuh lebih dalam
Terjebak dalam pikiranku
Bersama dengan khayalan-khayalanku
Aku kembali ragu dengan jalan kehidupanku
Tapi saat itu
Aku mencoba menyalakan kembali api itu; api harapan,
Yang kata orang; selalu menyala.
(
Tepat
Hari
Ini
Satu
Tahun
Yang
Lalu
…
)
Y.14.03.10
Jumat, 12 Maret 2010
NURANI

Walaupun aku tak pernah tahu apa yang terjadi di dunia ini. Tapi aku dapat merasakan ada seribu hati yang hancur. Menangis dalam diam. Tersenyum dalam perih. Aku selalu menangis setiap kali aku merasakan perasaan itu. Apa dayaku? Aku hanya bisa duduk diatas kursi. Mulutku diam pula, penuh dahak yang tak tertelan dan tak terluntahkan. Gerutu itu! Terus terdengar, seolah-olah seperti kaki-kaki yang menghentak-hentakan ke tanah. Aku merasa sakit. Aku bingung. Padahal semua itu tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Tenang. Tidak disakiti, tidak dikhianati, tidak dihina, dan tidak disiksa. Tapi, sekali lagi aku merasakan, ada seribu hati yang merasa disakiti, merasa dikhianati, merasa dihina, dan merasa disiksa. Aku bingung. Gerutu itu lagi! Aku merasakannya. Namun aku tak mendengarkannya. Lantas apa lagi yang terjadi padaku? Aku Bingung. Gerutu itu lagi!
***
Kadang kala aku pun menerka tentang fenomena-fenomena alam yang ada disekitarku. Seperti, ketika udara menjadi semakin dingin. Aku tahu ini pasti ‘malam’ dan itu pasti gelap. Jadi setiap ‘malam’ itu pasti dingin dan gelap, mudah sekali untuk dipahami. Aku membagi hari itu menjadi tiga. Jika hari menjadi sangat dingin, itu berarti ‘malam’. Kalau sudah tidak begitu dingin, maka aku menyebutnya dengan ‘pagi’, tetapi kalau hari menjadi sangat panas aku menyebutnya ‘siang’. Aku mengetahui istilah-istilah itu dari suara-suara disekelilingku. Kadang suara-suara disekelilingku itu baik. Tapi, tak sedikit pula yang buruk.
Sehari-hari aku selalu habiskan dengan duduk di kursi. Menikmati hari. Karena hanya itu saja yang dapat aku lakukan. Aku mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada disekelilingku ini berbeda, hanya karena aku dapat merasakannya. Aku dapat menyentuhnya. Meraba. Kemudian berpikir hingga aku paham. Aku tak seperti manusia lainnya yang ‘normal’. Dulu perasaan gelisah ibu dan ayahku ketika aku lahir pun sangat terasa menusuk-nusuk kedalam hatiku. Perih rasanya, tak ada senyum kebahagiaan yang menyambutku saat aku menyongsong dunia. Jadi, aku sama sekali tak menangis, tak perlu.
Aku memang terlahir cacat. Itulah sebab kegelisahan yang menghantui ibu dan ayahku. Mereka malu. Aku tak peduli. Akhirnya mereka membuangku ke sebuah desa kecil bersama pengasuhku, Laksmi. Aku biasa memanggilnya mbok Laksmi. Wanita tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad, namun baik hati. Sekali lagi, aku tak peduli dengan keputusan kedua orang tuaku. Aku senang hidup di desa. Tenang. Menikmati angin, mendengarkan suara-suara merdu suaka, gemercik air, dan ilusi kedamaian yang begitu kuat menyentuh batinku.
Hingga suatu hal aneh terjadi pada diriku..
Aku berumur lima belas tahun waktu itu. Hawa yang sangat dingin menyelimuti tubuhku. Perasaan ketakutan yang maha dahsyat terus menyelubungi pikiranku. Aku bingung. Ada apa ini? Perasaan apa ini? Aku mencoba menenangkan perasaanku namun aku tak tahan. Aku berteriak. Memanggil-manggil mbok Laksmi. Tak ada jawaban. Kemana dia? Perasaan itu muncul lagi. Begitu kuat dan dekat. Aku yakin ini tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Lalu apa? Siapa yang mengalami peraasaan seperti ini? Kenapa aku harus merasakannya? Beribu pertanyaan terus menghampiriku. Aku berhenti merintih. Hawa dingin itu sedikit demi sedikit pergi meninggalkan tubuhku, tapi rasa sakit yang luar biasa masih terasa. Setelah semuanya pergi. Aku merasakan kejanggalan. Entah apa? Aku juga binggung. Aku meraba-raba menelusuri tembok rumahku, sambil berteriak memanggil mbok Laksmi. Kemana ia? Biasanya dia di dapur. Tapi kenapa begitu sepi, nyaris tak terdengar suara apapun.
Aku terus mencari mbok Laksmi. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kakiku. Tubuh siapa ini? Dari baunya, aku tahu ini pasti tubuh mbok Laksmi. “Mbok Laksmi! Mbok Laksmi!” Tubuhnya sangat dingin. Sedingin hawa yang tadi menyelimuti tubuhku. Ada apa ini?
***
Mbok Laksmi meninggal.
Pada akhirnya kedua orang tuaku membawaku ke ‘kota’, setelah lima belas tahun aku tak pernah datang ke ‘kota’. Aku pun kembali menjamah tempat ini. Sungguh asing bagi seluruh panca inderaku. Hawa yang panas membuat seluruh tubuh serasa terbakar. Ini melebihi siang. Hawa dingin begitu mencekam. Ini juga melebihi malam.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Perasaan takut, suasana suram, pesakitan dan tangisan. Membuatku semakin bingung.
Kejanggalan-kejanggalan itu semakin nyata. Aku dapat merasakan yang sepertinya ‘tidak’ orang lain rasakan. Perasaan batin yang begitu dalam dari manusia-manusia yang disakiti, disiksa, dihina, dan dikhianati. Aku buta, tapi perasaan batinku tidak mati. Orang tuaku yang mengajarkan kebencian sejak dalam kandungan. Kini aku mengerti. Betapa terlukanya aku terhadap mereka.
Aku merasa lukaku ini akan tetap menganga, aku hanya diam di tempat ini. Tak lagi aku merasakan harumnya bunga-bunga dan pepohonan. Aku memaksakan untuk tetap mengerti keadaan ini. Sulit bagiku untuk mengerti semua yang terjadi disekitarku. Saat ini juga sulit bagi inderaku untuk mengetahui kapan itu malam? Dan kapan itu siang? Waktu menjadi sangat kabur.
Suatu saat tubuhku kembali merasa sangat kedinginan. Walaupun aku tak merasakan sedingin ketika aku kehilangan mbok Laksmi, mbok Laksmiku yang malang. Tapi tetap saja seluruh tubuhku merasakan hawa dingin yang berbeda. Mungkinkah ini malam? Tanyaku dalam hati. Ini semua begitu berbeda. Kesendirian dan ketakutan.
Aku menangis. Semakin lama tangisanku ini semakin meraung dan meraung. Ibu datang menghampiriku. Mencoba menyadarkanku. Memanggil-manggil namaku. Ia mengira aku kesurupan atau semacamnya. Aku merasakan kehilangan. Aku tak pernah tahu, apa salahku? Kenapa aku ada ditempat ini? Bau tak sedap dan menjijikan! Apakah ini hanya perasaan? Tapi ini memang hanya sebuah perasaan. Siapakah yang terbuang? Ditengah malam seperti ini? Dosa apakah yang membuatnya terbuang?
Aku masih terus menangis dan menjerit. Kali ini ibu menamparku berkali-kali karena tangisanku tak juga berhenti. Aku seperti orang gila saat ini. Aku tak pernah bisa mengurai benang merah dari segala perasaanku ini. Semua terjadi begitu saja diluar kesadaranku. Perasaan itu datang dan pergi. Aku tak pernah sedikit saja mengharapkannya untuk ada. Kadang membuatku sangat ketakutan, khawatir dan resah.
Ditengah kebuntuan semacam ini. Ada satu hal lagi yang belum juga aku mengerti walaupun semuanya membuatku kembali tersadar. Ketika aku tertidur. Aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah mataku ini terbuka. Ibarat aku ada. Lantas apa arti kebutaanku ini? Jika dalam mimpi aku ’melihat’. Juga tentang perasaan-perasaan yang aku rasakan. Perasaan itu berasal dari seorang bayi. Aku melihat semuanya. Ia menangis kedinginan dan ketakutan diantara sampah-sampah. Menangis meraung-raung, persis seperti apa yang aku lakukan. Maka ketika seorang pemulung mengangkatnya, memeluk dan memberikannya kehangatan. Aku pun merasakan hal yang sama. Perasaan iba kepada bayi itu begitu nyata aku rasakan.
Bumi ini menjadi fenomena lain pula yang aku rasakan. Kadang aku muncul dalam mimpiku. Melihat bumi tersakiti dan menangis. Tanpa ada seorang pun. Aku lari sejauh apapun dan berteriak sekeras apapun. Memohon bantuan. Tak ada seorang pun yang muncul? Ampun tuhan! Dosa macam apa lagi yang diperbuat oleh manusia-Mu di dunia ini? Di bumi-Mu ini! Kenapa bumi menjadi sangat menderita atau bahkan ’sakit’? Kali ini aku memang langsung paham dengan mimpiku. Bumi sedang tersiksa. Penyakit-penyakit manusia kian menjadi-jadi. Hal ini membuat aku menjadi semakin sedih dan tersiksa. Aku merasakan tapi apa yang bisa aku perbuat dengan semua yang aku rasakan. Kemana manusia-manusia? Apa yang mereka lakukan?.
Peristiwa demi peristiwa pun aku alami. Semua ini menjadikan aku sadar akan diriku. Inilah aku. Merasakan apa yang orang lain sulit untuk rasakan. Aku buta tapi nuraniku tidak buta. Inilah yang membuatku merasa sangat bahagia. Aku tidak dijadikan sebagai makhluk yang munafik. Aku dapat berbagi penderitaan dengan alam. Meski kadang semua itu membuat aku sedih. Merasakan penderitaan mereka. Tapi ini jauh lebih baik daripada mengaku melihat dan memiliki nurani tapi sesungguhnya mereka buta dan tak bernurani.
Aku adalah korban keegoisan manusia. Begitu pula bumi. Kami tak begitu berbeda. Meredam asa dan amarah. Aku pun sangat memahami bumi. Seolah-olah nurani kami menyatu. Tapi dibalik semua itu, apa daya kami? Kami percaya akan janji Tuhan dan kami percaya Tuhan tidak diam. Bahkan aku pun percaya, masih ada manusia-manusia yang memiliki nurani dan merasakan, apa yang kami rasakan.
Mungkin sekali lagi. Tuhan tidak diam.
Wallahu’alam bishshawwa-b
Sebuah Cinta yang Sederhana itu...

…
Bermimpi itu bukan sebuah kesalahan. Hampir sama dengan cinta, itu adalah anugerah. Seandainya semua orang tahu bahwa mimpi sebuah anugerah, maka semua orang hanya akan bermimpi, bermimpi, dan terus bermimpi. Sama halnya dengan diriku. Akulah yang selalu berharap bahwa mimpi itu sebuah anugerah, padahal awalnya aku hanya bermimpi tentang seseorang, tetapi semua yang ada disekelilingku justru tampak seperti mimpi. Itulah kesalahanku. Memimpikan sebuah cinta yang sederhana.
Awalnya aku hanya menebak-nebak saja tentang cinta yang sederhana itu. Di sekolahku, ada banyak sekali murid yang berpacaran. Mereka menjalin hubungan dan berharap untuk terus bersama. Mereka bahagia. Tetapi kebahagian itu takkan abadi, waktu memisahkan mereka, dan hubungan pun hanya tampak seperti asap. Menghilang dilangit bersama angin. Ada apa dengan cinta mereka? Sejak itu aku menganggap cinta itu ambigu, tak jelas maknanya antara sakit hati dan perasaan bahagia atau antara tangis dan senyuman. Kemudian hanya kata ‘sederhana’lah yang membuatku sadar tentang makna cinta.
Hanya sebuah cinta yang sederhana.
Aku teringat, bagaimana indahnya kata-kata Kahlil Gibran ketika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Selma Karamy. Mungkin pula, sejak itu orang-orang menyadari dan menyebutkan bahwa, cinta pertama itu adalah cinta yang tak terlupakan. Aku pikir itu semua cuma omong kosong belaka. Tapi ternyata aku salah. Dan aku mulai menyadarinya.
Ketika itu dibawah atap gerbang sekolah. Musim hujan. Saat langit mulai menguning. Dia datang dengan senyuman, yang sampai saat ini pun aku takkan pernah bisa melupakan senyuman itu, senyuman yang begitu tulus.
…
Pukul empat sore.
“Sendiri?”
Dinda mengangguk.
“Mau nunggu jemputan?”
Dinda menggeleng.
“Kamu Dinda, kan?”
“Kok tau?”
“Dari kemarin kamu datang ke sekolah cuma buat foto sana, foto sini. Mau buat album ya?”
Dinda hanya tersenyum. Mengangguk. “Kamu nggak nyambung”
“Emangnya kenapa?”
“Akukan tanya, dari mana kamu tau namaku Dinda”
“Oh!”
Dia terdiam, kemudian berkata “Aku sering banget liat kamu duduk dibangku taman belakang sekolah”
Dinda tersenyum. Wajahnya memerah.
“Aku penasaran, aku tanyain deh ke temen-temen, siapa nama kamu?”
Hujan telah mereda. Dia duduk dibangku yang sama dengan Dinda.
Tiba-tiba hati Dinda berdetak sangat kencang. Dinda tertunduk malu, dia tak mengira bahwa akan ada orang yang akan memperhatikan dirinya.
“Mmm, mau ngelanjutin kuliah dimana?”
“Nama kamu siapa?”
Dia tersenyum lagi. Tenang sekali.
“Namaku Aldila, kamu bisa panggil aku Aldi. Aku juga lulus tahun ini sama ama kamu” katanya sambil mengulurkan tangan.
Dinda membalas uluran tangan itu dan berkata “Adinda”
Setelah perkenalan itu mereka membicarakan banyak hal. Saat itulah Dinda merasakan apa yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Nalurilah yang mengatakan pada Dinda bahwa ia jatuh cinta dan pada saat itu pula ia kembali menyimpulkan tentang sebuah cinta yang sederhana.
…
Waktu terus berjalan. Kenyataanlah yang membuatku mengerti tentang cinta. Bahkan siapa pun akan belajar tentang keindahan cinta dari apa yang ia rasakan dan alami. Begitu pula aku. Namun sudah hampir tiga tahun aku tak lagi bertemu dengannya. Sejak aku mengerti bahwa semakin mencintainya maka aku akan semakin kehilangan dia. Maka ketika aku utarakan perasaanku ini padanya, dia pun mengatakan bahwa dia mengalami hal yang sama. Ketakutan yang memang seharusnya tak terjadi. Kami pun pada akhirnya memutuskan untuk berpisah. Bukan karena ketakutan kami. Tapi karena dia harus meninggalkan kota Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sisa semesternya di Inggris. Sangat jauh.
Aku tak ingin lagi melukiskan perasaanku saat itu. Aku hanya menganggap semua itu masa lalu. Meski sulit aku lupakan tetapi harus aku kubur. Tuhan sibukkan diriku. Jangan ingatkan lagi tentangnya.
Pagi ini tak seharusnya aku mengenangnya kembali. Tapi ketika aku mengakses internet, untuk sesekali melihat inbox barangkali ada e-mail dari teman-teman lamaku. Sebuah e-mail dengan nama pengirim Muhammad Aldila membuatku tertegun. Entah perasaan bahagia, sedih ataupun ragu aku rasakan.
Dengan perasaan yang bercampur akhirnya aku baca juga e-mail itu.
Dear Dinda,
Mungkin kalimat pertamaku yang paling tepat saat ini untuk mu adalah ”apa kabar?”. Sudah hampir tiga tahun kita tidak pernah bertemu. Waktu yang lama. Tapi saat ini. Aku merasakannya begitu cepat. Sampai aku lupa, waktu yang berlalu itu tiga tahun. Jangan tanya mengapa aku mengirim e-mail untukmu. Karena waktu tiga tahun adalah waktu yang aku tunggu untuk kembali mengirim e-mail untukmu. Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan semua ini. Setelah aku mengguratkan sebuah luka dihatimu. Saat ini mungkin berbeda dengan tiga tahun yang lalu.Tapi aku takkan pernah mengatakan perasaanku berbeda dengan tiga tahun yang lalu. Karena masih ada rindu dalam hatiku. Selalu ada rindu.
Saat itu, tiga tahun yang lalu. Ketika aku tahu aku akan meninggalkan mu. Aku tak ingin merencanakan masa depan. Aku tak ingin membuatmu begitu banyak berharap. Aku tak ingin kamu menunggu terlalu banyak janji yang keluar dari mulutku dan aku juga tak ingin kau terlalu ’sakit’ dengan kepergianku. Maafkan aku yang bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun ketika aku pergi.
Aku tahu mungkin hal itu memang sulit. Seandainya ada lelaki lain yang saat ini mengisi ruang yang mungkin telah kosong itu, aku pun takkan lagi menganggu. Meski sebenarnya sangat sulit aku terima. Tapi ini memang salahku. Aku yang membiarkannya terluka. Demi obsesi dan segala ambisiku untuk meraih apa yang aku inginkan.
Seandainya kamu berpikir disana aku bersama wanita lain. Sejujurnya tak satu wanita pun berhasil membuatku melupakan rindu dalam hatiku. Rindu yang selalu aku jaga untuk mendapatkan kembali sebuah cinta sederhana.
Kamu tahu pasti Dinda. Hidup ini seperti sebuah sandiwara yang selalu ada babak baru. Meski terkadang kita kembali membutuhkan prolog. Agar tak berakhir pada epilog yang sendu. Anehnya ini semua bukan hanya sekedar sandiwara. Melainkan cinta. Cinta yang nyata. Meski diawali dengan sebuah prolog. Aku tak ingin cepat-cepat mengakhirinya tanpa epilog yang indah. Aku tak sedang mengkhayal dinda. Seharusnya ada babak baru setelah ini, karena ini adalah panggung kehidupan kita. Sekali lagi maafkan aku yang mungkin menjadikan cerita kita terhenti. Izinkan aku kembali menuliskan babak baru tentang sebuah cinta yang sederhana.
Sebuah cinta yang kita impikan.
Sebuah cinta sederhana antara aku dan kamu. Cinta yang saling menjaga. Cinta yang saling menyayangi. Cinta yang saling mengerti. Cinta yang begitu sederhana. Cinta yang indah. Cinta yang memang pernah kita impikan.
Aku tahu mungkin kata-kataku kali ini mengoreskan kembali luka dihatimu. Tak hanya dihatimu Dinda, hatiku pun sakit ketika mengingatmu. Aku hanya tak ingin mengingat mu, justru menjadikan hatiku sakit. Memang aku yang telah memulai segalanya. Maafkan aku. Aku yang tak pernah mengerti. Aku yang tak pernah bisa memahami. Aku hanya ingin memperbaiki segalanya. Menyembuhkan kembali lukaku atau mungkin juga lukamu. Luka diantara kita berdua.
...
Aku kembali di tempat ini. Tempat dimana prolog itu dimulai. Saat dimana pertama kali aku merasakan sebuah senyuman yang hangat, yang membuatku untuk sulit melupakannya. Aku merasakan hatiku seolah tak ingin berhenti memukul tubuhku. Sangat berdebar. Semilir angin menambah kalut perasaanku. Ini memang tentang cinta. Cinta yang tak pernah aku mengerti.
Surat itu benar-benar mengubah perasaan yang selama ini aku pendam. Amarah yang mendalam akan dirinya. Aku pun tak pernah memahami, mengapa semua itu justru berubah menjadi sebuah kesabaran. Betapa kecewanya aku ketika dia meninggalkan aku. Sulit sekali menggambarkan betapa aku sangat terluka karena sifatnya. Sekarang dia datang kembali dengan mengirimkan surat konyol ini dan mengatakan ’maaf’ yang bahkan tidak dia luncurkan dari mulutnya. Tuhan, masih adakah cinta dalam hatiku? Mengapa cinta ini begitu sulit aku mengerti? Kenapa begitu menyiksa? Mampukah aku memaafkannya? Atau aku memang tidak pernah membencinya?
(to be continue...) n_n'
Kamis, 28 Januari 2010
Sebuah Catatan Singkat: Membaca Masa Lalu
Membaca Masa Lalu
Membaca tulisan-tulisanku lima tahun yang lalu membuatku merasa begitu lemah. Tidak seperti sekarang. Saat itu aku sungguh bersemangat dan penuh dengan sejuta mimpi-mimpi. Aku begitu ingin mengenal diriku sendiri, hingga banyak hal yang aku tulisan sebetulnya hanyalah sebuah dugaan seperti apakah diriku ini sebenarnya? Semua itu hanya ingin menunjukkan bahwa pencarian jati diriku saat itu begitu besar. Keinginanku untuk mengenal diriku sendiri begitu dalam. Aku malu pada masa depan jika aku gagal sehingga keinginanku untuk berubah pun muncul. Tapi saat itu aku tak pernah menyadarinya. Aku betul-betul tidak pernah menyadarinya! Buku diary itu ditulis hanya karena sebuah tugas mata pelajaran sosiologi. Semua yang tertulis disana hanyalah sebuah kilasan kehidupanku saat itu. Tak banyak memori yang tersimpan akan tetapi banyak harapan-harapanku akan masa depan. Sejak membuka buku diary itu dihalaman pertama seakan-akan aku kembali mendengar semua rekaman ingatanku. Lorong-lorong asrama, bunyi bel tanda masuk kelas, teriakan teman-temanku dan bahkan bau asap dapur (saat menulis buku diary ini asrama ku terletak paling belakang ‘VIP’ dan dekat dengan dapur). Aku memang menikmati penyusunan buku itu. Bahkan aku merelakan untuk tidak tidur siang demi menuliskan cerita-cerita yang terjadi hari itu. Itu semua adalah ekspresi masa muda yang bermakna namun sangat singkat. Kadang aku sendiri tidak mengerti kenapa aku menuliskan demikian, dilain pihak, aku begitu mengagumi tulisan-tulisanku sendiri-bagaimana mungkin aku menulis kata-kata begitu bermakna dan mendalam? Begitulah kira-kira. Buku diary membuat kita membaca masa lalu. Tapi aku yakinkan buku diary ini berbeda. Aku jadikan buku diary ini edisi khusus dalam hidupku. Aku sebetulnya memiliki juga beberapa buku diary. Tapi entah mengapa ini begitu special. Buku diary ini seperti Introductory of my Life. Aku menerangkan diriku begitu details sehingga aku pun menyadari akan sikap dan perilakuku yang kadang tak terduga sebetulnya merupakan akibat dari sifatku itu sendiri.
Hal yang juga membuat aku menjadi heran, entah bagaimana aku mendapatkan kata-kata yang maknanya luar biasa, kata-kata itu berasal dari seorang filosof Jerman bernama Kierkegaard dan aku menuliskannya diawal buku diaryku. Begini bunyinya: Hidup manusia baru dimengerti dari belakang. Tetapi harus dijalani dari depan. Aku menjadi merefleksikan kembali kehidupanku. Aku membaca sejarahku dan mulai berjalan mundur selama lima tahun, dapatkah aku mengerti makna kehidupanku selama lima tahun sejak aku menuliskan buku diary ini?