Senin, 02 Januari 2012

Cerpen: Remain


Aku sedang duduk menanti sebuah taksi melewati jalan yang panjang ini. Meski jalanan begitu ramai entah mengapa tak ada satu pun taksi kosong yang lewat. Kurang lebih sudah satu jam aku menunggu. Aku pun berjalan menelusuri trotoar untuk menuju ke halte selanjutnya. Sesampai di halte, aku memilih duduk sambil menatap ke jalanan yang begitu ramai. Dihadapanku, tepatnya di seberang jalan menjulang tinggi sebuah gedung milik perusahaan swasta yang bergerak dibidang kontraktor.

Gedung itu tak asing bagiku. Meski ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di halte bus ini. Aku ingat betul, di gedung itu tersimpan mimpi indahmu. Bekerja secara profesional menjadi bagian dari desainer bangunan-bangunan megah. Aku suka melihat wajahmu yang penuh dengan entusiasme. Keceriaan itu selalu ada di wajahmu ketika kamu bercerita bagaimana para profesormu membanggakan diri mengenai kesuksesan mereka sebagai arsitek bangunan metropolitan modern di pusat kota. Merancang gedung-gedung penting. Menjadi bagian dari sejarah. Dikenal sebagai pahlawan pembangunan. “Aku juga ingin seperti mereka” katamu mengakhiri cerita.

Deru suara bus yang aku nanti telah mengagetkan lamunanku. Segera saja aku menaiki bus itu. Aku tak ingin pulang terlalu malam. Rutinitasku yang begitu padat telah mengerogoti masa mudaku. Aku bekerja di sebuah instasi milik pemerintah. Aku menuruti petuah ibuku untuk menjadi PNS. Maka setelah lulus kuliah aku, memasukkan surat lamaran pekerjaan setiap kali ada lowongan CPNS. Aku tak peduli di daerah mana aku akan ditempatkan. Setelah 5 tahun bekerja, akhirnya karirku menjadi PNS mulai membaik. Aku mendapatkan jabatan dan gaji yang lumayan. Meskipun tinggal jauh dari keluarga, ibuku bahagia ketika aku diterima menjadi PNS.

Namun keputusanku ini selalu mengusik isi hatiku. Sosokmu yang telah mengisi masa muda begitu membekas dalam setiap periode kehidupanku. Alangkah indahnya masa muda itu. Perlahan aku tenggelam dalam sisa-sisa memoriku tentangmu, Rendra.

Will you remain the same?
...

Mimpimu begitu besar. Sementara aku tak sepertimu. Kadang aku selalu iri pada mimpi-mimpi besarmu. Kamu memiliki mimpi-mimpi itu seolah-olah mimpi itu adalah bagian dari masa depan. Mereka begitu nyata tergambar dalam benakmu. Sementara aku hanya bermimpi menjadi guru dan PNS. Lagipula hanya itu yang diharapkan orang tuaku. Menjadi PNS itu terjamin, begitulah kata ibuku. Bahkan PNS itu mengabdi pada Negara. Kita layak dihargai karena bagian pion-pion birokrasi pemerintah, apalagi sekarang ada jaminan hari tua bagi PNS. Tak perlu lagi sibuk memikirkan investasi atau asuransi. Dalam kehidupan sosial, strata kita tidaklah terlalu buruk. Menjadi PNS jauh lebih dihormati dari pada pegawai swasta yang serba tidak tetap. Hanya petuah-petuah itulah yang aku ingat. Menjadi PNS. Titik!

Jadilah kamu pencerita yang baik dan aku pendengar yang baik. Indah. Bukankah kita saling mengisi satu sama lainnya? Aku tak pernah membayangkan, aku adalah bagian dari pasangan mimpi ini. Kita menghabiskan masa muda yang begitu bergairah. Bersama-sama menyusuri alur-alur liar yang tak pernah kita terka. Menuntaskan segala keraguan dan keingintahuan kita tentang kehidupan. Meski perdebatan kita sering diisi oleh riak-riak kecil mengenai ketidaksepakatan. Kita adalah pasangan idealis tapi idealkah?

Idealisme dan pasangan ideal kami ternyata hanya bertahan lima bulan atau paling tidak empat bulan. Setelah itu kamu justru mencintai hal lain. Kamu begitu mencintai mimpi-mimpi sehingga aku bosan menjadi pendengar yang baik. Aku juga memiliki mulut yang selalu ingin menceritakan kisahku. Aku juga membutuhkan telinga yang mampu mendengarkan aku, sebaik aku mendengarkan kamu.

Sore hari tepat diusia lima bulan hubungan kita. Aku ingin mengutarakan perasaanku padamu. Aku merasakan ambivalensi, antara menginginkanmu tetap disampingku atau membiarkanmu berlalu dengan sejuta mimpi-mimpi magismu. Aku ingin membuat semuanya menjadi lebih jelas. Bukankah ini esensial dari hubungan kita selama ini? Saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Jadi biarkanlah aku menyusun semua alasan ini menjadi lebih logis.

Aku memutuskan untuk menemuimu di cafe yang tak jauh dari rumah. Sebetulnya cafe itu tak senyaman cafe lainnya. Hanya saja jika nantinya aku harus menangis. Aku tak perlu berlari terlalu jauh untuk menenangkan hati. Aku tak ingin orang lain melihatku menangis karena lelaki. Pantang bagi seorang Kiara Pramesti ini. Aku duduk disudut cafe. Sambil menantimu aku mencoba mengingat setiap sketsa kebersamaan kita. Tidak terlalu buruk. Meski ilusiku tentangmu membuat hatiku sedikit gentar. Entah mengapa justu aku yang merasa lebih sulit. Mungkin karena aku tahu aku akan melukaimu. Aku telah berusaha menata hatiku dengan sebaik-baiknya, aku tak ingin hatiku terlihat begitu rapuh dihadapanmu, aku ingin tetap tegar.

Kamu datang dengan senyum itu. Entah mengapa saat itu juga kamu, menyapaku dengan geliat khas mu. “Jago juga pilih cafe? Sound track-nya Michael Buble pula?” katanya sambil tersenyum nakal. Saat itu memang cafe sedang memutar musik Michael Buble yang berjudul Everything.

Do you know what i am feeling right now? Kataku dalam hati.

Ketika dia duduk. Akulah yang memulai semua percakapan ini.

“Mungkin, kali ini tidak akan lama”. Kataku pelan tapi tegas.

Aku tahu wajahmu akan berubah secepat itu. “Ini soal apa?” katamu kebingungan.

“Soal kita dan aku ingin mengakhiri semuanya”.

Kami akhirnya hanya terdiam. Hanya musik Michael Buble yang sudah hampir berakhir yang terdengar begitu keras diantara keheningan ini.

“Kenapa?” katamu memulai.

“Karena aku lelah dengan semua sikapmu.”

“Sikap?”

“Sikapmu yang memikirkan diri sendiri”

Hampir lebih dari lima belas menit kami berdebat mengenai apa yang masing-masing kami inginkan, aku berusaha sekuat tenaga untuk memuntahkan semua perasaanku selama ini. Semua cukup melelahkan. Sampai akhirnya kamu berkata...

“Kiara, kamu yakin?”

Aku hanya diam. Setidaknya mataku mulai memanas. Aku hanya tak pernah mengira bahwa mengakhiri semua ini denganmu begitu sulit. I don’t think so, i can do this anymore. Akhirnya aku memilih untuk berdiri dan pergi meninggalkan kamu. Sampai akhirnya tanganmu berusaha menahanku.

“Rendra, sudah” kataku sambil berusaha melepaskan cengkraman itu.

“Maaf” katamu lirih.

Aku hanya melepaskan cengkremannya yang mulai melemas, entah mengapa aku justru ingin sekali menangis. Aku tak peduli lagi. Aku tetap berjalan menuju pintu keluar meninggalkan kamu duduk terpaku. Jika saja, yang aku dengar terakhir kali bukan kata “maaf”, tetapi kata lain yang lebih pantas kamu ucapkan, bahwa kamu benar-benar mencintaiku selama ini melebihi dari semua mimpi-mimpi magismu mungkin aku tak sesakit ini. Sambil berlalu, terdengar sayup-sayup ditelingaku lagu Ironic dari Alanis Morisette mengalun dari cafe, ...a traffic jam when you're already late. A no-smoking sign on your cigarette break. It's like ten thousand spoons when all you need is a knife. It's meeting the man of my dreams and then meeting his beautiful wife and isn't it ironic...don't you think. A little too ironic...and, yeah, I really do think....

Yes, it’s ironic. Bahkan air mata ini juga tak berhenti menangis hingga aku sampai di rumah.
...

Kala itu keputusanku untuk meninggalkan kamu memang selalu menyisakan keraguan dalam hatiku. Kita bertemu di usia yang terlampau muda untuk bisa terus bersama. Aku hanya menjalani apa yang ada dihadapanku. Aku merasa kita tidak perlu bersama jika mimpi tak cukup menyatukan kita. Memang masih ada sisa-sisa memori tentang kamu disetiap sudut kepalaku, but lets things remained as they are...

Yogyakarta, di akhir tahun 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar