Jumat, 10 September 2010
Quote again^^
"People with goals succeed because they know where they are going... It's as simple as that."
- Earl Nightingale
Kutipan ini mungkin memiliki hubungan erat dengan pentingnya buat kita punya yang namanya tujuan hidup =D. Kadang sepele, tapi ternyata memang mempengaruhi kok. Gak ada salahnya kan kalo kita mulai meninjau ulang tujuan hidup kita...^^
*foto diambil ketika di bandara internasional dubai
Semarak Takbir, Semangat Menyambut Hari yang Fitri
Allahu akbar, Allahu akbar, Laa Ilaaha Illallah, wallahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya semua pujian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)
Bertakbiran bukanlah sekedar budaya dalam masyarakat Islam akan tetapi juga syariat.
Malam terakhir di bulan Ramadhan ini, masyarakakat Kotagede dihibur dengan gemerlapan lomba takbiran keliling. Peserta lomba takbiran keliling ini diikuti oleh warga Yogyakarta, mulai dari masyarakat Kotagede, Purbayan, Selokraman, Kauman, Nitiprayan, dan beberapa daerah lainnya.
Tidak hanya sekedar pawai, mereka juga menghiasi lampion dengan berbagai macam kreasi yang sangat kreatif. Juga seragam pawai yang mereka kenakan sangat bervariasi.
Ketika pawai sampai didepan pasar Kotagede para peserta juga harus menunjukkan berbagai macam atraksi sesuai dengan tema yang dibawakan oleh peserta.
Semangat yang mereka tunjukkan bukan hanya semangat kebersamaan, melainkan semangat menyambut datangnya hari nan penuh fitri, yang sudah patut disambut dan dinikmati malam keindahannya.
Semoga tidak hanya disadari dengan kata-kata akan keindahan maknanya melainkan juga dengan tindakan. Mari jadikan malam takbiran ini sebagai malam untuk sebuah perubahan diri.
Selamat Idul Fitri bagi seluruh umat muslim di dunia. Mari kita rayakan hari kemenangan ini. Eid Mubarak!!
Taqaballahu minna wa minkum minal aidin wal faidzin.
(Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan mengembalikan kita sbg org yg berjuang dan kembali pd kemenangan).
Mohon maaf lahir dan batin^^
Rabu, 08 September 2010
Quotes and ideas to move and inspire you...^^
Don't follow your dreams; chase them.
- Richard Dumb
Akh, terkadang saya begitu naif pada diri sendiri, saya memiliki sejuta mimpi. Tapi entah mengapa rasa malas itu masih sering berkutat dalam benak saya. Berbagai macam cara saya lakukan untuk kembali membangkitkan mimpi dan cita-cita saya^^
Termasuk quotations atau kutipan-kutipan sederhana namun inspiratif dan mampu memotivasi.
Maka, kata-kata Richard Dumb begitu menyentuh pikiran dan hati saya dikala membutuhkan sebuah motivasi dan inspirasi.
Terkadang satu kesempatan emas itu datang bukan dengan hal yang besar melainkan dengan sesuatu hal yang sederhana, sangat simple.
Meskipun mimpi kita adalah sesuatu yang besar tapi jalan menunju mimpi itu selalu berawal dari kesempatan yang tidak pernah kita duga.
Always keep your dreams alive,
Always keep they coming true.
*Gambar diambil di Dunstable Downs, Bedfordshires, Inggris.
Senin, 06 September 2010
A Song
…
“Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be.”
Lagu itu terus mengalun dalam benak Kirana. Sambil menatap monumen tua yang hampir sepuluh tahun meninggalkan memori penting dalam hidupnya. Dipandanginya bunga-bunga yang berjejeran mengelilingi monumen itu. Beraneka warna bunga yang mereka persembahkan. Kirana tetap memilih mawar putih tak berduri, baginya bunga itu adalah simbol ketulusan akan perjuangan hidup. Diletakkan bunga itu berjejer dengan bunga yang lain. Diucapkannya sebuah permohonan. Setelah selesai, segeralah Kirana meninggalkan tempat itu. Dia berlalu untuk mencari seseorang yang tinggal dengan alamat dalam kertas lusuh yang disimpannya lebih dari lima tahun terakhir.
“Kau akan menyesal seumur hidupmu jika tidak menemukannya” batinnya.
Kirana masih ingin menanyakan masa lalu hidupnya, bukan hanya untuk memuaskan keingintahuannya tapi juga untuk masa depannya. Meski tak satu pun mampu menjawab apa yang dikehendakinya. Kirana tak pantang menyerah. Hidupnya akan tetap sama jika dia tak mampu menemukan jawaban itu.
Hembusan angin lembut yang menyibakan rambutnya, mengingatkannya pada padang rumput yang kini tak ada lagi. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang berderet sepanjang jalan menuju kota. Kirana tak bisa lagi membohongi pada dunia bahwa dia begitu merindukan tempat itu.
“Ini adalah penantian panjang” ucapnya suatu hari pada kekasihnya.
“Maksudmu?”
“Aku akan segera mengetahui siapa ibuku sebenarnya?”
Lelaki itu terdiam. Menghela nafas panjang.
“Apa?” sahut Kirana menantang kebisuan sang kekasih.
“Dia meninggalkanmu begitu lama, kau masih ingin mencarinya?” Tanya sang kekasih tanpa pikir panjang.
“YA” jawab Kirana dengan tegas. “Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa seorang Ibu”.
“Tapi wanita seperti itu tak pantas kau sebut ibu” tandas sang kekasih.
Kirana tersentak kaget. Dipandanginya wajah sang Kekasih yang terlihat sangat kesal.
“Cukup! Kau bukan siapapun tak berhak mengatur hidupku lagi” Teriaknya sambil berlalu.
Kirana tahu betul lelaki itu mengejarnya. Amarah tak tertahankan membuatnya tak ingin kembali pada sang kekasih. Itulah awal mula perpisahannya. Kirana tak ingin menemuinya lagi. Tidak lagi.
Ayahnya meninggal sejak Kirana berumur 12 tahun. Baginya tak banyak yang dia ingat dari sang Ayah. Hanya satu memori itu, sang Ayah yang sering menyanyikannya lagu Que Sera Sera. Selebihnya hanyalah cerita dari orang-orang terdekat. Bukan kesalahan siapapun jika semua itu terjadi pada Kirana. Dirinya tahu bahwa sang Ayah begitu mencintainya. Kirana tak akan hidup jika tanpa kerja keras sang Ayah.
Kehidupanlah yang membimbing menjadi dewasa. Kirana tahu kerasnya hidup sebelum saatnya untuk tahu. Kirana merasakan pahitnya hidup sebelum rasa pahit itu ada dalam hidupnya. Hidup dengan belas kasih orang bukanlah hidup yang menyenangkan. Kirana tak butuh retorika tentang makna hidup, yang dia tahu hanyalah bagaimana untuk tetap hidup. Meski kini tujuan hidupnya berubah. Kirana masih ingin mencari sosok ibu yang telah lama hilang dari hidupnya.
Sampailah kaki ini pada alamat yang dicarinya. Tak seperti yang dibayangkan. Rumah itu begitu mungil. Bunga-bunga indah bermekaran di halaman rumah. Batu-batu tertata rapi membentuk jalan setapak. Sebuah lampu taman berbentuk angsa melengkapi nuansa keindahan taman sederhana yang dibatasi dengan pagar putih bersih.
Tiba-tiba tak sedikit pun keberanian muncul dibenaknya. Matanya tertuju pada pintu depan rumah itu. Dirinya hanya mampu memandangi rumah mungil itu dari seberang jalan. Kebingungan muncul dihatinya. Kekuatan yang mendorongnya berjalan hingga sejauh ini pun hilang sia-sia.
Satu jam telah berlalu. Keberanian itu belum muncul juga.
“Kau akan menyesal seumur hidup” gumamnya.
Dua jam telah berlalu. Matahari sudah mulai bosan menyinari. Kirana masih tetap berdiri dan memandangi rumah itu. Entah mengapa, rasa takut itu muncul. Mungkin saja alamat ini salah. Bagaimana bisa Kirana tahu jika dirinya pun tak mencoba masuk kerumah itu.
Kirana pun teringat sang kekasih yang sudah dicampakkannya.
“Mungkin dia ada benarnya” desahnya kemudian.
Saat itu Kirana memutuskan untuk menyerah pada kenyataan, hingga terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi bagi telinga Kirana, lagu itu mengalun perlahan dari rumah itu.
“When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me.
Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be”.
Sebuah senyuman muncul dari bibir Kirana. Dengan segenap kekuatan didatangilah rumah mungil itu. Sambil terus mengucap doa dalam hatinya, semoga itu ibu.
Yogyakarta, 20 Agustus 2010.
*Lagu “Que Sera, Sera” (Whatever will be, will be)
Apa yang akan terjadi, terjadilah.
“Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be.”
Lagu itu terus mengalun dalam benak Kirana. Sambil menatap monumen tua yang hampir sepuluh tahun meninggalkan memori penting dalam hidupnya. Dipandanginya bunga-bunga yang berjejeran mengelilingi monumen itu. Beraneka warna bunga yang mereka persembahkan. Kirana tetap memilih mawar putih tak berduri, baginya bunga itu adalah simbol ketulusan akan perjuangan hidup. Diletakkan bunga itu berjejer dengan bunga yang lain. Diucapkannya sebuah permohonan. Setelah selesai, segeralah Kirana meninggalkan tempat itu. Dia berlalu untuk mencari seseorang yang tinggal dengan alamat dalam kertas lusuh yang disimpannya lebih dari lima tahun terakhir.
“Kau akan menyesal seumur hidupmu jika tidak menemukannya” batinnya.
Kirana masih ingin menanyakan masa lalu hidupnya, bukan hanya untuk memuaskan keingintahuannya tapi juga untuk masa depannya. Meski tak satu pun mampu menjawab apa yang dikehendakinya. Kirana tak pantang menyerah. Hidupnya akan tetap sama jika dia tak mampu menemukan jawaban itu.
Hembusan angin lembut yang menyibakan rambutnya, mengingatkannya pada padang rumput yang kini tak ada lagi. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang berderet sepanjang jalan menuju kota. Kirana tak bisa lagi membohongi pada dunia bahwa dia begitu merindukan tempat itu.
“Ini adalah penantian panjang” ucapnya suatu hari pada kekasihnya.
“Maksudmu?”
“Aku akan segera mengetahui siapa ibuku sebenarnya?”
Lelaki itu terdiam. Menghela nafas panjang.
“Apa?” sahut Kirana menantang kebisuan sang kekasih.
“Dia meninggalkanmu begitu lama, kau masih ingin mencarinya?” Tanya sang kekasih tanpa pikir panjang.
“YA” jawab Kirana dengan tegas. “Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa seorang Ibu”.
“Tapi wanita seperti itu tak pantas kau sebut ibu” tandas sang kekasih.
Kirana tersentak kaget. Dipandanginya wajah sang Kekasih yang terlihat sangat kesal.
“Cukup! Kau bukan siapapun tak berhak mengatur hidupku lagi” Teriaknya sambil berlalu.
Kirana tahu betul lelaki itu mengejarnya. Amarah tak tertahankan membuatnya tak ingin kembali pada sang kekasih. Itulah awal mula perpisahannya. Kirana tak ingin menemuinya lagi. Tidak lagi.
Ayahnya meninggal sejak Kirana berumur 12 tahun. Baginya tak banyak yang dia ingat dari sang Ayah. Hanya satu memori itu, sang Ayah yang sering menyanyikannya lagu Que Sera Sera. Selebihnya hanyalah cerita dari orang-orang terdekat. Bukan kesalahan siapapun jika semua itu terjadi pada Kirana. Dirinya tahu bahwa sang Ayah begitu mencintainya. Kirana tak akan hidup jika tanpa kerja keras sang Ayah.
Kehidupanlah yang membimbing menjadi dewasa. Kirana tahu kerasnya hidup sebelum saatnya untuk tahu. Kirana merasakan pahitnya hidup sebelum rasa pahit itu ada dalam hidupnya. Hidup dengan belas kasih orang bukanlah hidup yang menyenangkan. Kirana tak butuh retorika tentang makna hidup, yang dia tahu hanyalah bagaimana untuk tetap hidup. Meski kini tujuan hidupnya berubah. Kirana masih ingin mencari sosok ibu yang telah lama hilang dari hidupnya.
Sampailah kaki ini pada alamat yang dicarinya. Tak seperti yang dibayangkan. Rumah itu begitu mungil. Bunga-bunga indah bermekaran di halaman rumah. Batu-batu tertata rapi membentuk jalan setapak. Sebuah lampu taman berbentuk angsa melengkapi nuansa keindahan taman sederhana yang dibatasi dengan pagar putih bersih.
Tiba-tiba tak sedikit pun keberanian muncul dibenaknya. Matanya tertuju pada pintu depan rumah itu. Dirinya hanya mampu memandangi rumah mungil itu dari seberang jalan. Kebingungan muncul dihatinya. Kekuatan yang mendorongnya berjalan hingga sejauh ini pun hilang sia-sia.
Satu jam telah berlalu. Keberanian itu belum muncul juga.
“Kau akan menyesal seumur hidup” gumamnya.
Dua jam telah berlalu. Matahari sudah mulai bosan menyinari. Kirana masih tetap berdiri dan memandangi rumah itu. Entah mengapa, rasa takut itu muncul. Mungkin saja alamat ini salah. Bagaimana bisa Kirana tahu jika dirinya pun tak mencoba masuk kerumah itu.
Kirana pun teringat sang kekasih yang sudah dicampakkannya.
“Mungkin dia ada benarnya” desahnya kemudian.
Saat itu Kirana memutuskan untuk menyerah pada kenyataan, hingga terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi bagi telinga Kirana, lagu itu mengalun perlahan dari rumah itu.
“When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me.
Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be”.
Sebuah senyuman muncul dari bibir Kirana. Dengan segenap kekuatan didatangilah rumah mungil itu. Sambil terus mengucap doa dalam hatinya, semoga itu ibu.
Yogyakarta, 20 Agustus 2010.
*Lagu “Que Sera, Sera” (Whatever will be, will be)
Apa yang akan terjadi, terjadilah.
“Aku akan baik-baik saja”
Dan aku tetap akan pergi
Waktu yang tak mau menanti
Kau mendekapku, mendorongku menuju bis yang tengah menanti
Dekapan itu melonggar dan pintu bis pun terbuka
Dengan mata berkaca-kaca dan sedikit amarah
Aku berkata, “Aku baik-baik saja”.
Tetapi tetap saja, air mata ini tak mau berhenti
meski semuanya
akan
baik-baik
saja.
…
Aku menghela napas.
Cukup sudah cerita itu. Tak perlu diulas kembali.
Kulepas engkau dengan satu impian; tuk kembali.
Meski sepertinya
Hati ini mungkin lelah
Kupejamkan mataku dalam-dalam
Kuingat senyum itu perlahan
Kurekam pula saat terakhir bersamanya
Selagi aku mampu menyimpannya,
Aku pun menangis sepuasnya
…
“Aku akan baik-baik saja”
Gumamku.
Waktu yang tak mau menanti
Kau mendekapku, mendorongku menuju bis yang tengah menanti
Dekapan itu melonggar dan pintu bis pun terbuka
Dengan mata berkaca-kaca dan sedikit amarah
Aku berkata, “Aku baik-baik saja”.
Tetapi tetap saja, air mata ini tak mau berhenti
meski semuanya
akan
baik-baik
saja.
…
Aku menghela napas.
Cukup sudah cerita itu. Tak perlu diulas kembali.
Kulepas engkau dengan satu impian; tuk kembali.
Meski sepertinya
Hati ini mungkin lelah
Kupejamkan mataku dalam-dalam
Kuingat senyum itu perlahan
Kurekam pula saat terakhir bersamanya
Selagi aku mampu menyimpannya,
Aku pun menangis sepuasnya
…
“Aku akan baik-baik saja”
Gumamku.
Minggu, 05 September 2010
Mimpi
.....
Satu waktu di Wardown Park,
Kulihat sepasang kakek dan nenek bernostalgia,
Mungkin tentang kisah mereka yang telah lalu.
Sementara aku, termenung kaku menatap kemesraan itu,
Sebuah romansa abadi yang begitu nyata.
Tetapi,
Suaramulah yang memecah hening lamunan indah itu
Sore yang sama di Wardown Park
Dimana aku selalu berjalan tertinggal dibelakangmu,
Yang kulihat hanya pundak itu
Andai saja kau tahu,
Kaki ini juga ingin berjalan cepat.
Agar menyatu dengan bayangan kakimu yang begitu semu.
Kala itu di Wardown Park,
Burung-burung merpati, angsa-angsa
Dan semilir angin barat yang begitu menusuk kulitku.
Ingatanku melayang jauh entah kemana bersama
mimpi-mimpi yang tak menentu.
Hanya saja aku terbangun
Ketika mimpi itu hendak mendekati bayanganmu.
Dan kutemui diriku tak ada lagi
Burung-burung merpati, angsa-angsa
Dan semilir angin barat yang begitu menusuk kulitku.
Aku pun menyadari,
Aku akan segera tiba di Jakarta.
.....
…..
…..
*Gambar diambil di Wardown Park, Luton, Inggris.
Langganan:
Postingan (Atom)