X : Gimana kalau suatu hari dia menikah dengan wanita lain?
M : Ya bukan jodoh.
X : Kamu?
M : Mungkin dijodohin.
X : Yakin, kamu bakalan bahagia?
Ah, a very short conversation that you can't forget is coming again. Which is makes me smiling and feeling so funny.
I don't know the answer too. I place my heart in Hand of Allah but then He is introducing me with great man. I feel my heart jumping and beat so fast like-butterfly flapping their wings every time I meet him. Suddenly, I fall in love with him by no reasons. Everything happens so fast. I was lost my counting days. I missed my skepticism about relationship.
I remember, once time someone told me about the red thread of fate: the two people connected by the red thread are destined lovers, regardless of time, place, or circumstances. This magical cord may stretch or tangle, but never break. It is your fate that makes you happy, not how you meet him or the way you meet with him. I feel like, finally, I meet with end of my red thread of fate. So, I decided to growing old with him for the entirely of my life...
always,
M.
Yogyakarta , A Sunny day in February 2014.
Sabtu, 15 Februari 2014
Selasa, 31 Desember 2013
Membaca Perempuan Lain (4)
"Lubuk hati manusia itu dalamnya tiada terduga-duga. Kita sangka sudah tiba pada dasarnya, akan tetapi masih lebih dalam lagi."
Barangkali tidak salah jika Mochtar Lubis mendeskripsikan perasaan perempuan
seperti itu dalam cerpennya yang berjudul "Perempuan". Mungkin
begini, kebanyakan perempuan memilih untuk memaafkan laki-laki yang
sangat dia cintai meskipun sudah berkali-kali disakiti tapi tidak laki-laki.
Bisa saja seorang perempuan menunggu sang Kekasih sampai puluhan tahun tanpa ada
laki-laki lain disisinya, tetapi sulit bagi seorang laki-laki jika hanya hidup
dengan menanti satu perempuan saja sepanjang hidupnya. Saya katakan sulit,
bukan berarti tidak mungkin. Saya baru paham hal semacam ini setelah akan
menikah, karena seringnya laki-laki itu kelimpungan setengah mati jika harus
menghadapi hasrat seksualnya yang tinggi, yang mana sebetulnya merupakan
anugerah tiada tara yang pernah diberikan Tuhan kepada manusia-para lelaki, hal
yang patut mereka syukuri.
Bulan Desember ini, kota Yogyakarta menjadi semakin sulit dikenali. Terkadang
hujan deras, namun hawa tetap panas. Terkadang langit terang, namun hujan
datang tiba-tiba. Terkadang langit begitu mendung, namun rintikan hujan tak
kunjung datang. Saat itu pula, entah mengapa jalan hidup ini juga semakin sulit
dikenali. Kita tentu harus pandai mengenali diri sendiri sama seperti kita
mengenali kehidupan kita. Namun ternyata membaca kehidupan itu lebih sulit dari
yang pernah aku duga. Hujan deras telah berlalu, kini yang bersisa hanya
rintikannya saja. Jika bukan karena hujan, mungkin aku tak akan punya waktu
untuk berbicara dengan perempuan cerdas yang ada dihadapanku ini, Pembicaraan
kami bermula karena menunggu hujan reda, sehingga kami dapat pulang ke rumah
tanpa perlu berbasah-basah.
Awalnya aku menceritakan kepada perempuan itu bahwa mungkin aku
akan segera menikah. Dia sama sekali tidak kaget bahkan tidak terlalu antusias.
Seolah-olah dia membaca keraguanku akan keputusan untuk segera menikah.
Perempuan itu sudah berkepala tiga dan masih belum menunjukkan tanda-tanda
keinginan untuk menikah. Ada sekelumit penasaran dalam kepalaku tentang
keputusannya itu. Dia cantik dan menarik, aku bisa melihat dari kepribadiannya
ketika pertama kali bertemu, tidak akan terlalu sulit untuk mencari laki-laki
yang mau dengannya.
Kemudian dia melayangkan imajinasinya tentang pernikahan dan
apapun yang dia benci tentang laki-laki yang selalu menjadikan pernikahan
sebagai hal menyelamatkan mereka dari kebutuhan seksual. Hanya saja memang dia
perempuan aktivis sekaligus aktivis perempuan. Dosenku pernah menjelaskan
secara detail tentang apa perbedaan 'perempuan aktivis' dan 'aktivis
perempuan'; perempuan bisa sekaligus menjadi keduanya jika mereka
memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita, tetapi laki-laki bisa menjadi
aktivis perempuan jika mereka mau. Lagi-lagi gender.
Kami pun membicarakan tentang kasus seorang penulis
sekaligus sastrawan yang terlibat skandal dengan mahasiswinya yang sedang
menulis tugas akhir di kuliah yang kebetulan tentang karya sastranya. Kemudian
sastrawan itu justru memanfaatkan mahasiswi itu. Begitulah yang ditulis di
koran-koran online dan majalah bulanan. "Kenapa mahasiswi itu mau ya?
Bukankah dia sudah tahu bahwa sastrawan itu sudah beristri apalagi beranak pinak?"
tandasku menanggapi obrolan kami.
"Sastrawan itu pasti mempesona bagi dunia mahasiswi
yang masih terlampau hijau itu" jawabnya dingin.
"tapi tetap saja, melibatkan hubungan seksual hanya
demi pengalaman penting dalam hidup tanpa ada komitmen yang jelas? aku tak
pernah mau mengorbankan diri sejauh itu?" Lebih jauh lagi, agama
melarang itu dengan jelas. batinku.
"Begitu ya? Masa' sih?"
Aku hanya diam saja melihat mukanya yang masam.
"Aku pernah mengalami hal yang sama seperti mahasiswi
itu. tapi pengalamanku tak berakhir seburuk itu. tetap saja itu buruk dalam
perjalanan hidupku".
Perempuan adalah makhluk yang mengandalkan emosinya. Jelas
sekali bahwa dia tidak akan melakukan hal-hal tertentu yang membahayakan
kehidupannya jika dia tidak mengalami hal yang menyeret emosinya lebih dalam.
Sedalam apa? itulah yang masih menjadi pertanyaan bagi saya, yang mana seorang
perempuan dan juga Mochtar Lubis yang seorang laki-laki yang sangat ingin
mengerti tentang perempuan.
Saya sebetulnya tidak heran mendengarnya berkata demikian.
Pengambarannya sudah sangat jelas, dia seorang perempuan yang berasal dari
keluarga yang memiliki budaya patriaki tinggi. Menjadi resisten, feminist dan
frontal sedemikian rupa pasti merupakan wujud sikapnya acuh tak acuh terhadap masyarakat
yang menekan dan melibatkan emosinya begitu dalam.
"Barangkali Direktur sendiri akan kaget jika mengetahui
aku pernah menjadi perempuan simpanan" sambungnya dengan penuh kemenangan.
"akan lebih baik jika tidak ada yang mengetahui tentang itu di
kantor".
Bagaimana bisa? batinku sedikit penasaran.
"Laki-laki itu terlampau mempesona dengan segala yang
dimilikinya" lanjutnya. "Sehingga perempuan seperti aku, yang kala
itu masih polos dan lugu menjadi buta dan sangat rapuh--fragile."
Perempuan menyangkut pengalaman buruknya terkadang bisa
menjadi permisif jika melibatkan emosi yang mendalam.
"Sekarang kita analogikan dengan mahasiswi itu, kita
sama-sama setuju kan dia adalah 'korban'?"
"Ya, ya" jawabku yang berarti setuju bahwa dia juga
merupakan 'korban' dari laki-laki entah siapa.
"Begini, untuk mahasiswi yang baru akan lulus itu,
bayangkan saja jika sastrawan itu, si predator itu, membawanya ke sebuah acara
khusus untuk para penulis-penulis terkenal seperti Goenawan Muhammad, Ayu
Utami, bertemu dengan orang-orang seperti itu--dia seperti berada diatas angin,
sambil bergumam 'betapa hebatnya laki-laki ini berkumpul dengan penulis-penulis
hebat; atau mengagumi dirinya sendiri sehingga mampu mendapat laki-laki hebat
dalam pelukannya kira-kira seperti itu"
"Ya aku mengerti"
"Dan perasaan seperti itu membuatnya lupa akan realitas
buruk yang dia akan alami"
"Dia tidak memikirkan resikonya?"
"Buta!"
"Ya seperti itu" kataku membenarkan analoginya.
"Aku dulu juga seperti itu, dibawa bertemu
kurator-kurator terkenal, datang ke pameran-pameran khusus dengan undangan VIP,
rasanya seperti diatas angin" Katanya dengan sedikit nada menyesal.
"Untungnya aku cepat sadar apa yang sebenarnya dia inginkan sebelum hal
buruk terjadi".
Aku hanya tertegun.
"Dia juga punya istri dan anak lho" tambahnya
"Hanya aku tidak tahu awalnya".
"Kok jadi tahu?"
"Aku telpon dia, dan istrinya mengatakan bahwa suaminya
sedang ada dikamar mandi" jelasnya "betapa kagetnya aku mendengar
perempuan itu menyebutnya dengan kata 'suamiku' kan?".
"Setelah itu kalian putus?" tanyaku.
"Enggak" jawabnya sambil meringis "dan itulah
kesalahanku sekaligus kebodohan, bermain-main dengan api".
Aku masih ingin tahu kelanjutannya, batinku.
"Kala itu dia begitu mempesona, dan sekarang begitu
menjijikan" katanya penuh kebencian.
Kata "menjijikan" itu menyiratkan akan makna lebih
dari sekedar kebencian. Dilukai, dikhianti dan terlebih lagi masih terus
menerus disakiti dan dipermainkan. Jika merunut apa yang diungkapkan Mochtar Lubis tadi. Sampai tahap apa sebetulnya emosinya telah disentuh
laki-laki itu, mengapa begitu traumatis?
Lamunannya melayang jauh. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu tentang pernikahanku.
Lamunannya melayang jauh. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu tentang pernikahanku.
"Aku bahagia jika akhirnya kamu memutuskan untuk
menikah dengan laki-laki baik itu. Sebetulnya begini, seorang laki-laki datang
menyatakan diri untuk mengajakmu menikah itu sudah cukup baik"
"Maksudnya?"
"Sebab setiap diri laki-laki itu ada sifat predator
terhadap perempuan seperti sastrawan itu. Ketika laki-laki itu menikah, berarti
dia sudah mengakhiri pemburuannya ketimbang laki-laki yang terus menerus
menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan yang mereka sukai tanpa ada ikatan
yang pasti, terus mengincar perempuan-perempuan. Itu sebabnya lelaki yang
memutuskan menikah itu adalah lelaki yang memiliki niat baik dan ingin
bertanggungjawab, he's good enough" katanya mengakhiri
pembicaraan diantara kami.
And good enough is good enough, pikirku.
M.
Yogyakarta, Desember 2013
Label:
december,
perempuan lain,
sastra
Kamis, 19 Desember 2013
Membaca ‘Arab’ Lewat Biennale Jogja XII Equator #2
Biennale Jogja XII Equator #2 yang bertema Indonesia Encounters Arab Region dengan
tagline “Not A Dead End”. Sebetulnya
penuh tanda tanya. Namun bukan seni namanya jika mudah dimengerti. Arab Region dikenal sebagai tempat yang
memiliki kesan eksklusif karena dibumbui oleh aturan syariat-syariat agama,
terutama Islam. Bagaimanakah budaya Arab mengekspresikan dirinya dihadapan
sebuah sistem penegakan syariah yang begitu ketat? Membaca pameran ini
sepertinya akan menemukan banyak hal yang menjadi jeritan dari seniman-seniman
Arab Region di negara asalnya. Meskipun ada beberapa karya dari seniman-seniman
Indonesia yang sangat menarik untuk dinikmati.
courtesy photos by @narastika
Benar saja,
sesampai di Jogja National Museum, ada banyak karya seni yang menurut saya
merupakan sebuah kritik terhadap kekuatan ‘Arab’. Bagian Arab banyak menjadi tempat-tempat suci
sehingga menjadi simbol kesyakralan agama. Melanjutkan tanda Tanya, mengapa
‘Arab Region’ bukan ‘Middle East’?
padahal jika ingin menilai dari letak geografis, istilah-istilah semacam
Middle East tentu terdengar jauh lebih geografis. Maka saya menduga disini ada
kekuatan Arab sebagai magnet tertentu.
Karya dengan judul "Taman Berbulan Kembar (Garden with Twin Moon)" oleh Eko Nugroho yang berkolaborasi dengan Daging Tumbuh.
Karya Eko Nugroho yang berwujud; patung dengan menggunakan mukena (semacam alat sholat bagi perempuan) diletakkan dihadapan dinding bertuliskan Hypocrite dengan samar di tembok, sebuah kritik akan suatu sistem yang seolah religius namun secara sembunyi-sembunyi menjilat sistem itu sendiri. Maka yang terlihat oleh mata adalah keindahan dari simbol religious, sementara yang samar-samar ya 'Hypocrite'.
Kita harus bersikap bijak dalam menghadapi realitas yang kerap muncul dari hubungan mispersepsi ajaran dan problematika yang muncul di masyarakat. Tentu kerap
mendengar istilah yang Arabisasi, beberapa intelektual semacam sejarawan Phillip K. Hitti atau ulama Gus Mus sering menyitir,
“Islam itu bukan Arab”. Meski Islam lahir dan tumbuh di tanah daerah Arab, tidak
lantas semua budaya Arab merupakan serta merta ajaran Islam, begitulah
kira-kira.
M.
Yogyakarta, Desember 2013.
Label:
#BJBlogHop,
2013,
Biennale Jogja,
december
Sabtu, 14 Desember 2013
Membaca Mobilitas Manusia dalam “Biennale Jogja XII Equator #2”
photos courtesy of @narastika
Ketika saya memasuki Terminal BJXII Equator #2 di Taman Budaya Yogya (TBY) satu dari lima venue Biennale Jogja, seperti biasa karya seni selalu menunjukan
daya tarik tersendiri, saya melihat Tim Artistik dari perhelatan pameran seni
rupa ini sengaja mendesain ruangan galeri seperti sebuah Bandara. Saat itulah
saya menyadari mengapa disebut Terminal dan arti kata “Welcome to Airport” di salah satu graffiti beranda sebelum memasuki
Galeri TBY. Selayaknya memasuki sebuah airport
tempat dimana orang datang, pergi dan bersinggah sejenak dari sebuah perjalanan
panjang, airport mungkin juga
mencerminkan mobilitas dari manusia itu sendiri. Maka, saya pun menerka-nerka;
kearah Gate nomor berapa saya harus
menuju?
Yang paling saya suka dari mengujungi pameran seni rupa
adalah selalu ada makna yang dari setiap karya seni yang dibuat oleh para
seniman. Sembari menebak-nebak imajinasi sang seniman, saya hanyut dalam pesan
yang muncul dari karya seni tersebut. Saya termasuk orang yang cukup awam
dengan dunia seni rupa, tetapi bisa dibilang menyukai dunia tersebut. Sebut
saja, penikmat seni rupa. Outliners.
Karya yang cukup menarik yaitu Berjudul “Deru”
karya Ugo Untoro,
Kaki-kaki kuda yang sengaja di pasang di langit-langit Galeri TBY. Sedari awal
saya sudah menduga kaki-kaki Kuda itu merupakan kaki asli, karena bentuknya
begitu mirip. Namun teman saya mengatakan itu hanya kayu yang dibentuk kaki
kuda, sampai saya menemukan sebuah artikel yang menyatakan bahwa puluhan kaki kuda itu betul-betul asli. Memang sangat mengecoh, untuk apa sang seniman harus
mengumpulkan kaki-kaki itu? Kuda adalah hewan tunggangan kuat
yang berpengaruh bagi mobilitas manusia di masa lalu. Melihat kaki-kaki di langit-langit itu seperti melihat
kuda-kuda kuat berlarian dalam pikiran saya. Menderu; Gedebak...gedebuk...gedebak...gedebuk. Karya seni itu cukup meninggalkan
kesan yang mendalam akan keberadaan kuda dalam realitasnya.
Karya instalasi berjudul "Deru" oleh seniman Ugo Untoro
Karya lain
cukup menyita perhatian adalah adanya loker, loker, dan lagi-lagi loker
dibeberapa tempat pameran Biennale Jogja XII Equator #2. Sama. Pertanyaan menarik
adalah apa maksudnya? Loker-loker tersebut sebuah karya seni dengan judul “100
Moving Numbers” karya Syagini Ratna Wulan yang menunjukkan bahwa satu tempat
berkesinambungan dengan yang lain. Di dalam loker tersebut juga terdapat
benda-benda sederhana yang kadang muncul dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sembari ada kartu pos di dalam setiap loker yang berisi nomor dan memberikan
narasi tertentu. Sekali lagi, ini semacam menumbuhkan imajinasi bagi para
penikmat seni seperti saya.
Acara ini diselenggarakan pada 16 November 2013 sampai 6
Januari 2014, bagi belum sempat mengunjungi, tidak ada salahnya jika ingin
meluangkan waktunya sejenak untuk menikmati karya seni. Beberapa
diantara Karya seni yang ditampilkan telah memberikan impuls; membuka mata, hati
dan pikiran bagi setiap pengunjung yang menikmatinya.
M.
Yogyakarta dan Hujan di Akhir tahun 2013.
Label:
#BJBlogHop,
2013,
Biennale Jogja,
december,
Yogyakarta
Senin, 25 November 2013
Interfaith Youth Pilgrimage: 10 Hari Perjalanan Ziarah Penuh Makna
“Experiencing
the Sacred Spaces of the others” atau merasakan ruang suci dari (agama) lain
inilah tagline dari program
Interfaith Youth Pilgrimage (IYP), merupakan salah satu alasan diselenggarakan
program ini. Berangkat dari keprihatinan atas
peristiwa-peristiwa konflik yang kerap terjadi dengan mengatasnamakan agama di
Indonesia, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan toleransi antar umat
beragama di kalangan kaum muda, yang kelak akan menjadi penerus kepemimpinan di
Indonesia. Para
peserta IYP telah diajak untuk mempelajari mengenai bagaimana toleransi dan
keberagaman dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam “ruang
suci” masing-masing agama.
Belajar
dari Pengalaman Live in
Program
ini telah berhasil memberikan pengalaman nyata utamanya dalam menghapus stigma
atau prasangka buruk terhadap agama lain, seperti yang dialami oleh Masduri,
peserta dari Madura yang merasa tersentuh dengan dalamnya umat Nasrani dalam
melantunkan doa-doanya. Masduri menambahkan setelah mengikuti program ini
menjadi lebih terbuka kepada siapa saja, tanpa melihat agamanya, karena
kebaikan bisa datang dari siapa saja, termasuk dari umat beragama yang
lain.
Salah
satu peserta bernama Firman, menyatakan perasaannya dengan mengikuti seperti menemukan kembali damai yang telah lama
hilang di Negeri Indonesia ini. Firman yang juga merupakan mahasiswa
Universitas Pattimura datang jauh-jauh dari Ambon Manise, Maluku khusus untuk
mengikuti program ini, “Saya berangkat menuju Yogyakarta dengan meninggalkan
rutinitas kuliah dan aktivitas lain dikampus biruku yaitu Universitas Pattimura
Ambon hanya karena satu hal yakni lewat IYP ini dapat tercipta kembali trust diantara kami anak muda Indonesia
yang berbeda-beda agama dan suku bangsa”. Keluarga Firman merupakan salah satu
korban dari konflik agama yang terjadi di Maluku tahun 1999. “Bagiku semua
momen dalam 10 hari perjalanan bermakna ini sangatlah berharga. Namun, momen
yang tak kulupakan yakni ketika saya (sebagai seorang muslim) live in dirumah jemaat GKJ Sidomukti,
Salatiga. Pada awalnya, saya merasa ada yang berbeda seperti ada semacam
gejolak batin dalam jiwaku. Bagaimana tidak, saya berasal dari daerah konflik
yang mengatasnamakan agama kemudian cara pandang saya telah dibentuk oleh
sejarah atas duka masa lalu, dengan menyatakan, diluar agama saya (Islam)
terutama Kristen adalah musuh (stigma dalam komunitasku). Kini saya diperhadapkan
dengan realitas yang berbeda, tinggal serumah dengan mereka (keluarga jemaat)”.
Namun, Firman justru menjadikan pengalaman berharga tersebut sebagai sebuah
refleksi, dengan memaafkan dan tidak menyimpan dendam dari luka masa lalu. Dia
menyadari bahwa perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk memicu
permusuhan dan konflik. Agama bukanlah sumber kekerasan melainkan sumber
kedamaian bagi sesama dan semesta alam.
Kisah lain datang dari Susanto,
mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Syailendra. Susanto terkesan dengan
pengalamannya live in di Pondok
Pesantren, “Dari pengalaman tinggal di dua tempat
pondok pesantren yang berbeda, disitulah saya mengetahui bahwa tidak semua
pondok pesantren adalah sarang dari teroris atau gerakan kekerasan yang selama
ini saya lihat di beberapa media masa”. Peserta yang lain, Geraldi D. Kongkoli
berasal dari Poso, yang juga pernah live
in di Pondok Pesantren Edi Mancoro Semarang, sangat terkesan dengan upaya
transformatif pesantren tersebut dan mengubah stigma selama ini tentang
pesantren dan tentang buruknya citra Islam.
Mencetuskan Petisi Perdamaian
Setelah
mengikuti 10 hari perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci, berdialog dengan
berbagai komunitas agama dan live in di
masyarakat, 28 peserta IYP merumuskan 7 poin petisi perdamaian sebagai hasil
dari kesadaran mereka. Peserta adalah perwakilan dari berbagai daerah di
provinsi Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali, Kalimantan, NTT, NTB, dan Maluku.
Petisi ini menghimbau kepada generasi muda, masyarakat dan pemerintah Indonesia
untuk lebih menghargai perbedaan nilai-nilai agama, menghapus prasangka,
merawat keragaman, lebih menghayati nilai-nilai agama, menolak kekerasan atas
nama agama dan secara khusus mengajak generasi muda Indonesia untuk menjadi
inspirator dan agen perdamaian.
Program
IYP ini di dukung oleh Kedutaan Besar Amerika Sertikat melalui program Alumni Engagement Innovation Fund (AEIF)
2013, dan dengan dukungan dari berbagai lembaga seperti Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Centre for Religious and Cultural Studies(CRCS) UGM, PSPP Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), PERCIK, Peace Generation Bandung, Pondok Pesantren
Edi Mancoro, Seminari Mertoyudan Magelang dan DIAN-Interfidei. IYP
diselenggarakan dari tanggal 10-20 November 2013 di beberapa kota: Yogyakarta,
Surakarta, Karanganyar, Salatiga, Semarang, Magelang dan Yogyakarta.
Tujuan
IYP ini, seperti yang disampaikan Team Leader IYP, Elis Z. Anis, M.A. dalam
pembukaan IYP (10/10) adalah untuk membangun pemahaman yang mendalam mengenai
akar persoalan konflik agama di Indonesia dan menciptakan strategi yang relevan dalam mengatasi konflik
atau persoalan antar iman. Di akhir program, peserta IYP diharapkan mampu
membangun komitmen dalam memperjuangkan perdamaian diantara umat beragama.
Peserta menandatangani petisi perdamaian dan akan membagi pengalaman mereka
melalui komunitas masing-masing dan melalui media massa.
Mazia Rizqi Izzatika,
Organizing Committee
IYP Indonesia
Label:
2013,
Interfaith Youth Pilgrimage,
IYP,
Yogyakarta
Jumat, 22 November 2013
Menggoda
Aku tak tahu mana yang lebih benar. Laki-laki yang gemar menggoda perempuan atau perempuan yang menikmati ketika ada laki-laki yang menggoda. Entah mengapa selalu saja ada laki-laki yang iseng menggoda; Menatap malu-malu. Menyanjung dengan kata-kata romantis. Mengirimkan sajak-sajak puitis. Memutarkan lagu-lagu nostalgia.
Sejak jumpa kita pertama kulangsung jatuh cinta.
Walau kutahu kau ada pemiliknya.
Walau kutahu kau ada pemiliknya.
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani.
Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini.
Maka ijinkanlah aku mencintaimu Atau bolehkan aku sekedar sayang padamu.
Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta.
Apalagi aku juga ada pemiliknya.
Tapi kutak mampu membohongi hati nurani.
Kutak mampu menghindari gejolak cinta ini.
Maka maafkan jikaku mencintaimu.
Atau biarkan kumengharap kau sayang padaku.
(Kala Cinta Menggoda oleh Chrisye)
Terkadang risih. Terkadang geli.
M.
Magelang menuju Yogyakarta, November 2013.
Jumat, 23 Agustus 2013
Penyuluhan Sampah Plastik di Padukuhan Dukuh, Desa Margoagung, Seyegan
Barangkali kita memang terlampau egois jika tak mau peduli dengan sampah. Kita adalah manusia penghasil sampah. Setiap harinya saja entah itu shampoo, bungkus makanan, kertas, barang elektronik, plastik pembalut ataupun rokok, benda-benda sederhana yang begitu dekat dengan kita justru menghasilkan sampah. Namun ketika kita bersanding dengan sampah, tidak sedikit dari kita justru enggan, jijik dan 'angkat tangan', seolah-olah kita adalah manusia yang tak pernah menghasilkan sampah.
Permasalahan sampah yang terjadi didepan mata itulah yang menggerakan saya dan teman-teman untuk mengadakan penyuluhan tentang pengelolaan sampah, baik itu sampah organik ataupun non-organik. Keinginan saya untuk mengadakan program ini sebetulnya hanya sederhana yaitu lebih kepada pengembangan ibu-ibu dasawisma. Para ibu rumah tangga di Desa ini banyak memiliki waktu luang sehingga sangat baik jika waktu yang mereka miliki digunakan untuk melakukan kerajinan, akan lebih baik lagi jika kerajinan tersebut berkaitan dengan pengelolaan sampah. Meskipun ada juga alasan lain yaitu keprihatinan saya dengan kondisi pengelolaan sampah yang ada di Desa ini. Selama ini, sampah hanya dibuang begitu saja di sungai belakang rumah, tanpa ada seorang pun yang peduli akibat dari pembuangan sampah apabila terus menerus dilakukan. Mungkin bisa banjir. Mungkin bisa longsor. Mungkin bisa menjadi sarang penyakit. Padahal di padukuhan ini sendiri sudah ada warga yang terkena virus air kencing tikus, atau leptospirosis, mungkin adanya penyakit berbahaya ini cara lain Tuhan untuk mengingatkan kita agar lebih menjaga lingkungan.
Mengerjakan program ini tentu saya tidak bisa sendirian, selain jauh dari keahlian studi saya, dalam beberapa hal saya masih harus mempelajari tentang pengelolaan sampah terutama sampah plastik, oleh karena itu saya melaksanakannya bersama dua teman saya dari klauster sainstek yaitu Umi (MIPA) dan Daniel (Teknik). Beberapa dari kami (mahasiswa KKN) memang sangat minim akan pengetahuan soal pengelolaan sampah, namun hal itu tidak mengecilkan semangat kami untuk berhenti begitu saja, kami berusaha mempelajari mengenai pengelolaan sampah, bahkan kami mendatangi beberapa tempat yang kira-kira bisa menjadi referensi untuk mendapat pengetahuan tentang pengelolaan sampah. Salah satunya, kami sempat mengunjungi Desa Wisata Lingkungan Sukunan, merupakan Desa di daerah Gamping, Yogyakarta yang terkenal sebagai tempat percontohan pengelolaan sampah, mulai dari sampah organik dan non-organik.
Setelah mencari tahu informasi kesana-kemari akhirnya kami mendapatkan kontak pak Iswanto, yang kemudian kami tahu bahwa beliau adalah Dosen Poltekkes yang telah menggerakkan masyarakat di Desa Sukunan untuk melakukan pengelolaan sampah secara serius. Setelah mencoba untuk menghubungi Pak Iswanto, beliau justru meminta kami untuk menghubungi mbak Harti. Pada hari Jum'at, kami memutuskan untuk berangkat langsung ke Desa Sukunan untuk menemui mbak Harti tersebut. Diluar perkiraan saya ternyata Desa Sukunan tidak serapi dan sebersih yang saya kira, namun jika dibandingkan dengan desa lain yang ada di Yogyakarta, lingkungan Desa Sukunan memang terlihat terawat dan terjaga. Di Desa Sukunan juga telah disediakan peta bagi setiap pengunjung sehingga kami bisa mengetahui tempat-tempat yang dibuat khusus untuk pengelolaan sampah. Pada awal kunjungan, tempat pertama yang kami coba kunjungi adalah Lumbung Sampah, tempat ini pada dasarnya TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yaitu tempat pengumpulan sampah dari sampah-sampah rumah tangga. Setiap rumah di Sukunan diharuskan memisahkan sampah organik rumah tangga mereka dan memasukkannya dalam bak pengomposan. Kemudian masyarakat akan mengolah sendiri pengomposan tersebut dengan komposter sebagai alat pembuatan kompos.
Gambar 1. Klasifikasi sampah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sukunan.
Gambar 2. Lumbung sampah Kampung Sukunan beserta penggolongan sampah didalamnya.
Karena kami ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Sukunan, maka kami pun pergi mencari rumah mbak Harti. Ketika kami sampai dirumah, semua mata kami langsung tertuju pada taplak meja yang terbuat dari bungkus indomie. Ternyat ambak Harti juga merupakan salah satu penyuluh tentang pengelolaan sampah terutama terkait dengan kerajinan dari sampah plastik. Maka kami pun mencoba melakukan wawancara singkat dengan mbak Harti, kami menanyakan berbagai macam masalah seputar pengelolaan sampah, serta tentang bagaimana mengubah mindset masyarakat Sukunan yang bisa bergerak bersama-sama untuk melakukan pengelolaan sampah.
Mbak Harti menyatakan bahwa pelopornya yaitu Pak Iswanto, yang mengajak masyarakat untuk peduli melakukan pengelolaan sampah. "Awalnya sulit mengajak orang lain dan banyak yang mencibir, tapi makin lama ya yang mencibir malu sendiri, yang lain mau memilah sampah kok sendirinya tidak". Mbak Harti juga menyatakan bahwa pengelolaan sampah memang harus dimulai dari diri kita sendiri dan hal yang terkecil, sampah rumah rumah tangga, tidak bisa jika kita hanya memulainya dengan yang besar saja. Sebab sampah itu dihasilkan dari individu-individu.
Masyarakat desa Sukunan membagi sampah menjadi 3 kategori, yaitu sampah plastik, sampah kertas, dan sampah logam. Warga memisahkan dengan cara menyediakan 3 macam karung berbeda di setiap rumah. Karung-karung tersebut dibedakan berdasarkan jenis sampahnya. Setelah karung-karung sampah yang berada di setiap rumah penuh, warga bisa mengumpulkannya ke dalam 3 drum besar yang telah disediakan di beberapa sudut desa. Dalam waktu yang telah ditentukan, drum-drum disetor ke TPS yang sudah dibangun di desa Sukunan. Jika jumlah sampah kira-kira sudah mencapai 1 truk, sampah dijual ke pengepul. Akan tetapi ternyata ada jenis sampah yang kurang diminati oleh pengepul. Sampah plastik yang berwarna dan dilapisi aluminium foil tidak mempunyai harga jual kembali yang tinggi, sehingga pengepul enggan mengambilnya. Sampah jenis ini biasanya berakhir dengan dibakar atau dikubur. Warga menyadari tindakan tersebut sangat tidak ramah lingkungan. Warga Sukunan mencoba menyikapi hal tersebut dengan mengolah sampah plastik menjadi barang yang lebih bernilai. Kemudian muncul ide-ide kreatif membuat tas, dompet, tempat ponsel, hingga tempat koran dari sampah plastik. Pada awalnya diadakan pelatihan rutin oleh ibu-ibu PKK untuk membuat kerajinan tersebut. Pada perjalanannya, hampir semua ibu-ibu Sukunan bisa melaksanakan produksi sendiri di rumah masing-masing.
Nah ide-ide itulah yang ingin kami tularkan di Desa Margoagung, memulai pelatihan tentang pengolahan sampah plastik, penggunaannya serta pengolahannya. Awal mulanya kami mencoba mengadakan pelatihan pemilahaan sampah, sebab perilaku pemilahaan sampah memang sudah harus diterapkan sejak awal agar dapat membantu pengelohan sampah. Kami membuatkan semacam percontohan tempat pemilahan sampah, untuk rumahan melalui penyuluhan kepada ibu-ibu dasawisma di RT 01/02 di Desa Margoagung. Melalui percontohan ini kami harapkan masyarakat untuk dapat meneruskan pemilahan sampah. Pada percontohan pemisahan sampah dibagi menjadi tiga, yaitu sampah plastik, sampah organik dan sampah kertas. Hal ini sesuai dengan pemilahan sampah berbasis pemanfaatan.
Gambar 3. Contoh pembuatan pemilahan sampah rumah tangga yang dibuat oleh Mahasiswa KKN
Gambar 4. Penyuluhan sampah plastik dan gaya hidup go green.
Sampah plastik dapat digunakan untuk kerajinan, sementara sampah organik dapat digunakan untuk pupuk kompos ataupun pupuk cair , kemudian saya bertanggung jawab untuk Penyuluhan tentang plastik, menggunakan model terkait dengan jenis-jenis plastik yang biasa digunakan untuk tempat makan atau konsumsi alternatif dan tidak sekali pakai. Pelatihan pengelolaan sampah ini dilaksanakan untuk memberikan ketrampilan lebih kepada ibu-ibu dasawisma agar bisa memanfaatkan sampah, khususnya sampah plastik, karena sampah plastik merupakan sampah yang sulit terurai. Selanjutnya untuk pemanfaatan limbah sampah organik, Daniel telah membuatkan dan memperkenalkan komposter, sebagai alat pengurai sampah organik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos atau pupuk cair. Ide pembuatan komposter ini dipelajari dari KP4 (Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) UGM , yang juga merupakan Mitra dari KKN SLM 21. Dimana KP4 UGM juga melakukan penelitian serupa terkait starter atau zat yang dapat membantu mengembangbiakan bakteri pengurai sampah (mikroba) agar dapat menjadi pupuk, dengan demikian kami sebagai mahasiswa KKN dapat secara langsung mengaplikasikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KP4 UGM. Komposter yang diperkenalkan Daniel dan teman-teman KKN lainnya cukup sederhana yaitu berupa tong plastik yang diberi penyekat sampah semacam saringan, agar nantinya cairan dari sampah yang telah terurai menjadi pupuk cair atau pupuk kompos.
Sementara Umi mengadakan pelatihan kreasi kerajinan tangan dari sampah plastik seperti bunga dari kantong plastik (kresek) atau botol plastik. Pelatihan yang diajarkan oleh Umi ini juga didapat dari workshop pengelolaan sampah yang berkerjasama antara KKN-PPM UGM Unit SLM 20 dan KP4 UGM di Berbah.
M.
Yogyakarta, July 2013
Langganan:
Postingan (Atom)