Sabtu, 18 Juni 2011

Mitos Kecantikan


Membaca judulnya saja—Perempuan dalam Serangan Kecantikan—kita sudah dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh sang penulis, Naomi Wolf. Mengawali tulisannya, Naomi Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 meraih hak-hak hukum dan reproduksi, disamping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, keberhasilan tersebut tidak diikuti dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya, jujur dengan tubuhnya.
Di sini kaum perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Pada bagian pertama buku ini, Naomi Wolf menjelaskan secara gamblang bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan perempuan. Di sini Wolf juga menjelaskan asal usul mitos kecantikan, yang telah ada sebelum Revolusi Industri yang sama tuanya dengan patriarkhi.

Bagian kedua buku ini berbicara banyak tentang pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification/Kualifikasi Kecantikan Professional), perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka—di luar standar tersebut tidak dikategorikan cantik.
Pada bagian ini Naomi Wolf juga memberikan kritik keras terhadap hukum yang berpihak pada PBQ. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Perlawananpun dilakukan dengan membawa kasus-kasus ini ke meja hijau, tetapi kekalahan selalu menimpa kaum perempuan dengan alasan bahwa perempuanlah yang bersalah karena telah melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Pengadilan telah mengabaikan hak-hak perempuan pekerja atas nama kecantikan tubuh yang ‘sempurna’.

Pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja juga sering memanen kekalahan di meja hijau, karena paradigma hukum yang dipakai selama ini adalah paradigma hukum yang maskulin. Kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan selalu dianggap sebagai provokasi terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan itu sendiri.

Selanjutnya Naomi Wolf bertutur tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan. Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhuk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang perempuan diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan: memiliki pikiran atau memiliki kecantikan. Mitos kecantikan bahkan mulai ditanamkan kepada perempuan sejak masih kecil, misalnya, dongeng-dongeng yang diciptakan sarat dengan maskulinitas atau machoisme.

Mitos kecantikan juga disisipkan lewat religiusitas. Tatanan masyarakat menggunakan religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam dunia publik yang sekular. Di samping itu bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam buku-buku tentang diet dan perempuan.
Agama patriarkal telah berhasil mengontrol seksualitas kaum perempuan dengan berbagai macam mitos-mitos seputar seksualitas perempuan, seperti mengukuhkan pentingnya keperawanan bagi kaum perempuan, menyembunyikan/menghilangkan sumber kenikmatan seksual perempuan, misalnya sunat perempuan, sehingga kaum perempuan tidak bisa menikmati seks dengan sempurna. Seksualitas perempuan didefinisikan dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang negatif; moralitas pun kerap diukur dari tubuh dan seksualitas perempuan.

Mitos Kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat, khususnya kaum perempuan, lewat berbagai macam media: iklan televisi, majalah-majalah kecantikan, tulisan-tulisan mengenai kecantikan perempuan yang diperkuat dengan budaya patriarkhi, menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja berat badan ideal. Begitu kuatnya keinginan tersebut hingga menyebabkan kaum perempuan, khususnya remaja, banyak menderita Bulimia dan Aneroxia.
Dari data yang dipaparkan Naomi Wolf, 95% penderita Bulimia dan Aneroxia adalah perempuan muda, dan Amerika menunjukkan angka tertinggi. Pemujaan terhadap berat badan membuat banyak kaum perempuan menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat hingga membuat mereka fobia terhadap makanan.
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Demi mendapatkan kecantikan itu, perempuan rela menderita lapar dan sakit yang kemudian dianggap sebagai pilihan bebas kaum perempuan. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan.

Pada bagian akhir buku ini Naomi Wolf mengajak untuk menginterpretasi ulang tentang apa itu kecantikan, dan menjauhkannya dari persaingan, hirarki dan jauh dari kekerasan. Mitos kecantikan yang sejak lama membelenggu kaum perempuan menjadikan kaum perempuan tidak menghormati dirinya sendiri. Seksualitas yang seharusnya memberikan kenikmatan bagi perempuan terabaikan begitu saja.

Melampaui mitos kecantikan, tidak lalu mengabaikan kecantikan itu sendiri, tetapi bagaimana agar keluar dari mitos kecantikan yang telah dirancang sedemikian rupa. Itulah yang terpenting. Kaum perempuan didorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan seksualitasnya; untuk mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atas tubuhnya. Naomi Wolf menegaskan, jika berhadapan dengan Mitos Kecantikan pertanyaan yang harus diajukan bukanlah tentang wajah dan tubuh perempuan, melainkan tentang relasi kekuasaan yang ada dalam situasi tersebut.

Kekhawatiran Naomi Wolf sangatlah wajar melihat gencarnya serangan kecantikan yang semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan diyakinkankan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan.

Jika kita mengamati remaja saat ini, sangat sedikit kita mendapati mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang bisa memajukan pikiran mereka. Kita akan dengan mudah mendapatkan mereka di tempat-tempat kecantikan, di mall-mall, dan kecintaan mereka untuk membaca majalah-majalah maskulin dibandingkan membaca buku-buku pengetahuan umum.

Mengutip tulisan Naomi Wolf pada bab terakhir bukunya “Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan”.

Rabu, 01 Juni 2011

“Myterious of Benedict Society”

On Last April, I made an appointment to meet my lovely friend, Tika. Actually the meeting was only to exchange our collections of Korean Pop or Korean Drama, because the two of us really know how to enjoy the Korean entertainment. So, we arranged the time. But all the sudden she gave me a present for my birthday, it was pretty late, coz my birthday was on March, that’s quite a long period but its fine ;P She gave me “Myterious of Benedict Society” by Treeton Lee Stewart. I really enjoy this book.


The story is about Reynie Muldoon. After Reynie Muldoon responds to an advertisement recruiting "gifted children looking for special opportunities," he finds himself in a world of mystery and adventure. The 11-year-old orphan is one of four children to complete a series of challenging and creative tasks, and he, Kate, Constance, and Sticky become the Mysterious Benedict Society. After being trained by Mr. Benedict and his assistants, the four travel to an isolated school where children are being trained by a criminal mastermind to participate in his schemes to take over the world. The young investigators need to use their special talents and abilities in order to discover Mr. Curtain's secrets, and their only chance to defeat him is through working together. Readers will challenge their own abilities as they work with the Society members to solve clues and put together the pieces of Mr. Curtain's plan.



It has been a while since I read this kind of books, lovely adventure and with unpredictable story. Because my study force me to reading political, law, or even sociology books, all of them are making me dizzy. And this present brings back my memory when I was still in junior high school. I was really crazy about Harry Potter Novel Series, which often gave me a day dreaming about how i could go to London, witnessing a King Cross Station. Who knows, that finally I could make myself go there.

P. S. 감사 Tika!

Kamis, 14 April 2011

Top 10 Tips for Overcoming Writer's Block

Top 10 Tips for Overcoming Writer's Block
(From Ginny Wiehardt, former About.com Guide)


Most writers will have trouble with writer's block at some point in their lives. The possible reasons for writer's block are myriad: fear, anxiety, a life change, the end of a project, the beginning of a project . . . almost anything, it seems, can cause that debilitating feeling of fear and frustration. Fortunately there are as many ways to deal with writer's block as there are causes. The items below are only suggestions, but trying something new is the first step toward writing again.



1. Implement a Writing Schedule.

Carve out a time to write and then ignore the writer's block. Show up to write, even if nothing comes right away. When your body shows up to the page at the same time and place every day, eventually your mind — and your muse — will do the same. Graham Greene famously wrote 500 words, and only 500 words, every morning. Five hundred words is only about a page, but with those mere 500 words per day, Greene wrote and published over 30 books.

2. Don't Be Too Hard on Yourself.

In fact, don’t be hard on yourself at all while writing. Anna Quindlin wrote, “People have writer’s block not because they can’t write, but because they despair of writing eloquently.” Turn the critical brain off. There is a time and place for criticism: it’s called editing.

3. Think of Writing as a Regular Job, and Less as an Art.

Stephen King, a famously prolific author, uses the metaphor of a toolbox to talk about writing in On Writing, intentionally linking it to physical work. If we think of ourselves as laborers, as craftsmen, it’s easier to sit down and write. We’re just putting words on the page, after all, one beside another, as a bricklayer puts down bricks. At the end of the day, we’re just creating things — stories, poems, or plays — only we use vocabulary and grammar instead of bricks and mortar.

4. Take Time Off If You've Just Finished a Project.
Writer's block could be a sign that your ideas need time to gestate. Idleness can be a key part of the creative process. Give yourself time to gather new experiences and new ideas, from life, reading, or other forms of art, before you start again.

5. Set Deadlines and Keep Them.

Many writers, understandably, have trouble doing this on their own. You might find a writing partner and agree to hold each other to deadlines in an encouraging, uncritical way. Knowing that someone else is expecting results helps many writers produce material. Writing groups or classes are another good way to jump-start a writing routine.

6. Examine Deep-Seated Issues Behind Your Writer's Block.

Write about your anxieties regarding writing or creativity. Talk to a friend, preferably one who writes. A number of books, such as The Artist’s Way, are designed to help creative people explore the root causes of their blocks. (Studying the lives of other writers can also provide insight into why you're blocked.) If your writer's block continues, you might seek counseling. Many therapists specialize in helping artists and writers reconnect with their creativity.

7. Work on More Than One Project at a Time.
Some writers find it helpful to switch back and forth from one project to another. Whether this minimizes fear or boredom, or both, it seems to prevent writer's block for many people.

8. Try Writing Exercises.
As much as it may remind you of your high school writing class, writing exercises can loosen up the mind and get you to write things you would never write otherwise. If nothing else, they get words on the page, and if you do enough of that, some of it is bound to be good.

9. Re-Consider Your Writing Space.

Are your desk and chair comfortable? Is your space well-lit? Would it help to try writing in a coffee shop for a change? Without being too precious about it — or turning it into another form of procrastination — think about how you can create or find a space you'll look forward to being in.

10. Remember Why You Started to Write in the First Place.

Look at what you’re writing and why. Are you writing what you love, or what you think you should be writing? The writing that feels most like play will end up delighting you the most, and this is the writing your readers will instinctively connect with. At the end of the day, writing is too hard to do it for anything other than love. If you continue to touch base with the joy you first felt in writing, it will sustain you, not only through your current block, but through whatever the future holds.

P.S.
Hope this Tips will work to you, cause writer's block maybe happen to any professional writer :)

Pertemuan



Pertemuan malam ini masih sama seperti malam-malam terdahulu. Kita tak banyak bicara. Entah karena tak ingin atau ada alasan lain? Jika mau, banyak hal yang ingin ku tanyakan padamu, baik itu akan perasaanku yang terdahulu ataupun hubungan kita saat ini. Mungkin kamu telah kecewa dengan keputusanku yang baru saja aku katakan. Namun itu hanyalah angan-anganku. Kamu tak harus menjawab 'ya' untuk sesuatu yang tak kau ingin. Menungguku bukanlah hal yang mnyenangkan dan aku pun paham...

Selasa, 01 Februari 2011

Surat Cinta 3: Sudoku


Aku memandangi kolom baru dari koran Nasional ini. Sebulan yang lalu aku yakin kolom permainan di koran Nasional yang kini aku baca belum ada. Permainan ini mengingatkan aku pada seorang lelaki yang aku kenal delapan bulan yang lalu. Lelaki itu gemar mengerjakan permainan seperti dalam kolom koran ini. Kini aku biarkan kenangan indah itu terus tersimpan dalam memoriku. Aku pun bernostalgia dengan mengisi kotak-kotak kosong itu dengan angka-angka sembarang.


***

Aku begitu senang menatapmu ketika kau mulai serius mengerjakan permainan itu. Awal mulanya kau bosan dengan pemandangan di dalam kereta yang melaju dari Luton menuju St. Pancras, London. Hingga pada akhirnya kau mengambil koran yang sebelumnya aku dapat dari stasiun kereta Luton.

Akulah orang yang pertama mengambil koran yang ada di stasiun Luton. Koran lokal ini dibagikan secara gratis, siapa saja boleh mengambil jika ingin membacanya. Bahkan kadang koran-koran itu tidak sampai habis hingga sore. Akan tetapi sesampai di dalam kereta, aku lebih memilih menikmati pemandangan dari jendela kereta daripada membaca koran gratisan ini. Melihat pemandangan desa-desa di Inggris bagiku bukanlah hal yang membosankan. Berbeda dengan mu, yang memang Negara kelahiranmu. Kala itulah kau merebut koran gratisan itu dari tanganku, beberapa saat kau kemudian bertanya, “Do you have a pen?”. Dia tahu betul latar belakangku adalah seorang mahasiswa yang kemana-mana selalu membawa pulpen. Ku berikan pulpenku padanya dan mulailah dia asyik mengerjakan sesuatu di salah satu kolom koran, sesuatu itu adalah semacam permainan berhadiah bernama Sudoku.



Sudoku adalah permainan isi kolom dengan angka-angka, Sudoku terdiri dari 9x9 kotak yang dibagi dalam 3x3 kota kecil dalam 9 area. Setiap baris horizontal maupun vertikal akan diisi oleh angka dari satu hingga sembilan dan setiap baris tidak ada angka sama. Sudoko dalam koran tersebut terdiri dari tiga level, easy, average and hard. Dia selalu berhasil menyelesaikan dua level yaitu easy dan average dalam beberapa menit. Setelah itu berjanji padaku akan menyelesaikan yang paling sulit jika dia memiliki lebih banyak waktu luang. Tetapi entahlah, aku tak pernah melihat dia bisa menyelesaikan Sudoku bagian terakhir.

Begitulah selanjutnya, setiap kali kami melakukan perjalanan dengan kereta. Aku yang mengambil koran di stasiun dan dia merebut koran itu, yang kemudian asyik mengisi kolom-kolom angka tersebut. Berulang kali aku menikmati pemandangan dari dalam kereta dari Luton menuju St. Pancras hingga pada akhirnya aku bosan sendiri dengan pemandangan yang kulihat dari dalam kereta. Entah mengapa, aku mulai merasa memandangimu yang tengah asyik bermain Sudoku ternyata lebih menyenangkan dibanding dengan memandang kearah luar jendela. Kau begitu asyik mengisi kolom-kolom itu. Terkadang aku berpikir, kau benar-benar tahu rahasia dibalik permainan itu atau hanya menebak-nebak angka, aku tak tahu dengan pasti. Tetapi ketika kau berhasil menyelesaikan permainan itu dengan sempurna hingga tak ada lagi angka yang sama dalam satu baris horizontal maupun vertikal. Kau tersenyum begitu bahagia dan aku pun menikmati senyuman yang muncul dari wajahmu.

Kamu dengan bangganya menunjukkan padaku dan menyuruhku untuk kembali mengecek kalau-kalau dia melakukan kesalahan. Meski aku tak benar-benar memeriksa tapi aku pikir semua jawabannya benar. Membuatnya sedikit bahagia tak ada salahnya. Toh, dia terlihat jauh lebih baik jika tersenyum.

Aku tak tahu apakah ini bisa disebut sebagai surat cinta atau tidak. Aku bahkan tak percaya jika perasaanku padanya sedalam itu hingga bisa dikatakan sebagai cinta. Aku selalu berpikir bahwa hubungan kami tak lebih dari hubungan teman. Tak ada keinginan sedikit pun menjalin kisah asmara dengan lelaki seperti dia.

Hanya saja ketika tatapan mata kami bertemu, aku bisa merasakan bahwa perasaan itu lebih dari yang aku kira sebelumnya. Sayangnya meski pada akhirnya kami tahu akan perasaan itu, kami terlalu pengecut menghadapi kenyataan bahwa perbedaan kami terlalu besar. Keinginannya hanyalah memintaku untuk menghabiskan sisa waktuku di Luton bersamanya. Tak disangka hatiku begitu bahagia mendengar keinginannya. Seandainya dia tahu akan perasaanku. Mungkin kenangan itu tak terlalu menyiksa. Bagaimana pun kamu begitu luar biasa, hingga permainan sederhana seperti ini bisa mengingatkanku pada dirimu.

Kututup koran yang ada dihadapanku. Ku biarkan kenangan itu berlalu perlahan. Tak perlu lagi mengingatmu ataupun sudoku.

Pedih, batinku.

Surat Cinta 2: Menepis Kenangan

Kembali ke tempat ini justru membuatku kembali membuka kenangan lama. Jalanan ini begitu familiar dalam ingatanku. Cahaya lampu jalanan dilengkapi dengan bangunan-bangunan model Belanda. Keindahan yang begitu alami. Aku pun menikmati semua yang ada dihadapanku ini. Suasana inilah yang senantiasa terjadi ketika malam mulai turun. Lampu-lampu menyala. Binar-binar cahaya lampu malam memberikan nuansa romantisme yang begitu dalam.

Lalu lalang orang pulang dari bekerja. Pedagang kaki lima yang sudah mulai bersiap-siap menyambut datangnya malam.

Aku masih menyusuri jalanan ini sambil mengenang beberapa episode kehidupan yang telah aku lalui. Tapi kali ini aku merasa begitu muram. Malam ini terasa lengang meski orang-orang telah sibuk. Suasana hatiku yang tidak begitu baik justru membuatku semakin gelisah. Ingatan ku berangsur-angsur merangkai satu peristiwa yang justru sangat ingin untuk aku lupakan. Ditambah lagi bus yang aku tunggu-tunggu tak datang jua. Hal ini justru akan membuatkku semakin gelisah. Aku sangat takut dengan perasaanku semakin aku merasakannya semakin aku merasakan sakit yang tak kunjung reda.

Aku mulai tak tenang dengan perasaanku sendiri. Udara malam yang semakin dingin menjadikan perasaanku semakin gundah. Aku tak ingin mengingatnya. Tak ingin, sedikit pun.

***

Hari itu, setelah kami melewati jalan panjang, jalan yang sangat terkenal dengan pedagang kaki lima. Kami bermain-main di sebuah bangunan tua bekas kejayaan Belanda pada zaman penjajahan. Saat dimana kami sangat beruntung dengan adanya Festival Tahunan bagi kota yang penuh dengan kebudayaan ini. Kami bisa menikmati hal-hal yang berhubungan dengan seni dan budaya. Beberapa lukisan, karya seni, belum lagi kami juga menikmati tempat ini sebagai museum hasil perjuangan para pahlawan Indonesia.
Dan aku begitu bahagia bisa menikmati semua suasana ini dengan teman-temanku dan orang yang aku cintai. Bahkan hari itu aku begitu yakin, orang yang saat itu ada disampingku adalah orang yang sangat penting dalam hidupku kelak. Mungkin.

Meskipun lelah kami semua sangat bahagia. Keindahan kota Ini memang mutlak bagi para turis lokkal seperti kami maupun turis internasional; Kami juga menikmati keindahan kota ini dari atas bangunan tua, yang mampu menjangkau pemadangan tempat-tempat indah dari kejauhan.



Menyusuri kota indah ini dengan kendaraan tradisional adalah hal istimewa. Menikmati setiap angin yang menyapu wajah kami, meski kami kelelahan setelah perjalanan yang panjang, kami bahagia. Seolah-olah kelelahan kami adalah kebahagian, sebuah kisah yang tak terlupakan. Hingga aku pun berjanji kelingking untuk tetap terus bersamamu merasakan kembali kebahagian kita dan kembali bersama di tempat ini. I love us.

***

Aku mengalihkan semuanya, terlebih bus hijau yang kunanti-nanti itu telah ada dihadapanku.

Malam ini aku mengingatnya dan ingatan-ingatan itu justru semakin membuatku terkapar diatas masa lalu. Semakin membuatku bersalah. Apa yang bisa dilakkukan seorang wanita seperti ku, menghapusnya atau justru mengenangnya.

Tak ada seorang pun yang mampu mengembalikan waktu, saat ini ada hal yang pantas aku jalani, masa lalu tidak untuk dijadikan penyesalan belaka. Ada kehidupan selanjutnya yang harus dihadapi. Meski kehidupanku saat ini tidak sempurna tapi inilah yang aku miliki, kehidupan ini yang membuatku bertahan hingga kini. Masih ada sekelumit harapan di masa yang akan datang. Yang mungkin lebih baik dan yang mungkin lebih indah.

Maafkan aku atas semua kisah itu. Aku tak bermaksud melakukannya. Aku pun tak tahu jalannya akan seperti ini, aku tak mampu menebak masa depan. Maka biarkan aku menepis kenangan ini. Bukan untuk saat ini saja, akan tetapi selamanya.

Aku tak mampu lagi menyimpannya, maaf.

***

Surat Cinta 1: Clover

Sejak mengenalmu lebih jauh, entah bagaimana dialektika tentang cinta itu muncul dalam pikiranku. Kamu adalah sebuah delusi dan aku menjadi orang yang delusif. Cinta menjadikan segala sesuatu begitu sempurna dimataku. Yang aku tahu, aku menjadi berfantasi dan terbang jauh dalam dunia mimpi. Aku seperti merasakan deliveransi dari realitas, terbebas.

Orang-orang bilang, aku menyederhanakan makna cinta yang tak seharusnya aku lakukan. Aku merasa bahwa cinta itu tak harus dua sejoli. Di kala aku merasa nyaman menatapmu, maka saat itu pula aku merasa itu adalah cinta. Aku tak peduli kalau kau harus tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tak merasa kau perlu repot-repot mengetahui bahwa aku begitu mengagumimu.

Mengagumi dirimu, aku seperti menemukan keindahan dalam padang rumput liar yang lebat. Kau adalah daun semanggi berhelai empat diantara rumput liar lainnya. Kau memiliki karakteristik dan pribadi yang berbeda. Bagiku, kau memiliki keempat sisi keindahan itu; cinta, harapan, keyakinan dan keberuntungan. Kau adalah teka-teki yang selalu membuatku terkejut. Kau juga lelaki yang ingin hidup seperti lilin. Memberi cahaya bagi orang lain tetapi membunuh diri sendiri. Seolah-olah aku adalah salah seorang yang merasakan cahaya itu. Cahaya yang memberi isyarat akan kelembutan dan kenyamanan, yang hanya akan dirasakan jika berada didekatmu. “Arrgggh, didekatmu? Apa aku sedang bermimpi?”, kutepuk kedua pipiku. Padahal aku tak pernah berada didekatmu, bagaimana aku bisa merasakan cahaya itu?



Aku memang seperti terhipnotis oleh cahaya itu, yang menjadikan aku selalu berkeluh kesah setiap waktu. Namun aku hanya tersenyum kecut ketika menyadari akan cahaya itu sebenarnya. Cahaya itu adalah sinar yang muncul dari laptopku yang menyala. Sebuah rutinitas absurd yang beberapa kali aku lakukan. Membiarkan kedua bola mataku menatap layar sebesar 11.6 inci dengan cahaya terang dikamarku yang sengaja aku biarkan gelap gulita. Aku merasakan cahaya itu memasuki retina mataku. Cahaya yang memantulkan bayangan tubuhmu. Cahaya yang memantulkan wajah manismu. Aku tak peduli berapa lama laptop ini memutar rekaman kehidupan fiktifmu dalam beberapa episode, tapi bagiku bayangan wajah dan tubuhmu begitu nyata dalam kehidupanku.

Aku bahkan menangisi kehidupanmu. Entah bagaimana dirimu bisa begitu menderita oleh wanita lain dan entah mengapa aku begitu terobsesi dengan semua perasaan ini. Kamu begitu saja disakiti dan aku hanya bisa menatapmu. Aku tak bisa membayangkan jika suatu hari nanti aku dapat menemuimu. Aku bukan tak tahu kalau cinta ini semu atau hal yang tak mungkin bersatu. Tapi wajahmu yang menari-nari dalam imajinasiku terasa begitu ‘nyata’. Aku yang tak pernah lelah menatap wajahmu di layar kaca dan sekali lagi biarkan aku berdoa agar kelak aku bisa menemuimu. Maka biarkanlah aku semakin dekat dengan tujuan hatiku. Atau buatlah aku tersadar akan cinta yang semu ini. Aku seperti diantara mimpi dan realitas.

Aku tak ingin ‘hanya’ menjadi wanita pemuja yang gemar berteriak-teriak ketika menemui. Cintaku padamu adalah sebuah kemewahan. Kamu dilahirkan untuk menjadi impian hidup setiap wanita. Kamu mengabdikan hidupmu pada mimpi orang lain, sedangkan aku senantiasa terpenjara dalam realitas. Semua ini seakan membuatku bertanya, “Cinta macam apa ini?”. Kita tak hanya dipisahkan oleh jarak dan waktu tetapi juga kehidupan.

Maafkan aku jika aku harus menghadapi kenyataan.

Kututup laptopku, kutatap handphoneku. 13 sms dan 25 panggilan tak terjawab. Seandainya engkau tahu, seorang lelaki lain menunggu jawaban cintanya dariku di luar sana. Lelaki yang mungkin tak seindah dirimu. Akan tetapi cintanya sungguh nyata bagiku. Maafkan aku jika aku terpaksa menatap realitas. Aku pun wanita biasa yang juga ingin dicintai. Seandainya engkau tahu, lelaki itu tak lelah menantiku seperti aku menanti episode-episode kehidupan fiktifmu. Sebaiknya inilah akhir dari imajinasiku tentangmu. Meski aku tak rela, kelak kau juga akan menemui wanita yang layak kau cintai. Wanita yang juga datang dari mimpi dengan segala kesempurnaan hatimu.

P.S. Tetaplah menjadi seperti semanggi berdaun empat, agar aku bisa menyebutmu ... a clover.