Sabtu, 18 Juni 2011

Mitos Kecantikan


Membaca judulnya saja—Perempuan dalam Serangan Kecantikan—kita sudah dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh sang penulis, Naomi Wolf. Mengawali tulisannya, Naomi Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 meraih hak-hak hukum dan reproduksi, disamping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, keberhasilan tersebut tidak diikuti dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya, jujur dengan tubuhnya.
Di sini kaum perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Pada bagian pertama buku ini, Naomi Wolf menjelaskan secara gamblang bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan perempuan. Di sini Wolf juga menjelaskan asal usul mitos kecantikan, yang telah ada sebelum Revolusi Industri yang sama tuanya dengan patriarkhi.

Bagian kedua buku ini berbicara banyak tentang pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification/Kualifikasi Kecantikan Professional), perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka—di luar standar tersebut tidak dikategorikan cantik.
Pada bagian ini Naomi Wolf juga memberikan kritik keras terhadap hukum yang berpihak pada PBQ. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Perlawananpun dilakukan dengan membawa kasus-kasus ini ke meja hijau, tetapi kekalahan selalu menimpa kaum perempuan dengan alasan bahwa perempuanlah yang bersalah karena telah melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Pengadilan telah mengabaikan hak-hak perempuan pekerja atas nama kecantikan tubuh yang ‘sempurna’.

Pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja juga sering memanen kekalahan di meja hijau, karena paradigma hukum yang dipakai selama ini adalah paradigma hukum yang maskulin. Kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan selalu dianggap sebagai provokasi terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan itu sendiri.

Selanjutnya Naomi Wolf bertutur tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan. Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhuk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang perempuan diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan: memiliki pikiran atau memiliki kecantikan. Mitos kecantikan bahkan mulai ditanamkan kepada perempuan sejak masih kecil, misalnya, dongeng-dongeng yang diciptakan sarat dengan maskulinitas atau machoisme.

Mitos kecantikan juga disisipkan lewat religiusitas. Tatanan masyarakat menggunakan religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam dunia publik yang sekular. Di samping itu bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam buku-buku tentang diet dan perempuan.
Agama patriarkal telah berhasil mengontrol seksualitas kaum perempuan dengan berbagai macam mitos-mitos seputar seksualitas perempuan, seperti mengukuhkan pentingnya keperawanan bagi kaum perempuan, menyembunyikan/menghilangkan sumber kenikmatan seksual perempuan, misalnya sunat perempuan, sehingga kaum perempuan tidak bisa menikmati seks dengan sempurna. Seksualitas perempuan didefinisikan dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang negatif; moralitas pun kerap diukur dari tubuh dan seksualitas perempuan.

Mitos Kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat, khususnya kaum perempuan, lewat berbagai macam media: iklan televisi, majalah-majalah kecantikan, tulisan-tulisan mengenai kecantikan perempuan yang diperkuat dengan budaya patriarkhi, menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja berat badan ideal. Begitu kuatnya keinginan tersebut hingga menyebabkan kaum perempuan, khususnya remaja, banyak menderita Bulimia dan Aneroxia.
Dari data yang dipaparkan Naomi Wolf, 95% penderita Bulimia dan Aneroxia adalah perempuan muda, dan Amerika menunjukkan angka tertinggi. Pemujaan terhadap berat badan membuat banyak kaum perempuan menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat hingga membuat mereka fobia terhadap makanan.
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Demi mendapatkan kecantikan itu, perempuan rela menderita lapar dan sakit yang kemudian dianggap sebagai pilihan bebas kaum perempuan. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan.

Pada bagian akhir buku ini Naomi Wolf mengajak untuk menginterpretasi ulang tentang apa itu kecantikan, dan menjauhkannya dari persaingan, hirarki dan jauh dari kekerasan. Mitos kecantikan yang sejak lama membelenggu kaum perempuan menjadikan kaum perempuan tidak menghormati dirinya sendiri. Seksualitas yang seharusnya memberikan kenikmatan bagi perempuan terabaikan begitu saja.

Melampaui mitos kecantikan, tidak lalu mengabaikan kecantikan itu sendiri, tetapi bagaimana agar keluar dari mitos kecantikan yang telah dirancang sedemikian rupa. Itulah yang terpenting. Kaum perempuan didorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan seksualitasnya; untuk mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atas tubuhnya. Naomi Wolf menegaskan, jika berhadapan dengan Mitos Kecantikan pertanyaan yang harus diajukan bukanlah tentang wajah dan tubuh perempuan, melainkan tentang relasi kekuasaan yang ada dalam situasi tersebut.

Kekhawatiran Naomi Wolf sangatlah wajar melihat gencarnya serangan kecantikan yang semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan diyakinkankan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan.

Jika kita mengamati remaja saat ini, sangat sedikit kita mendapati mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang bisa memajukan pikiran mereka. Kita akan dengan mudah mendapatkan mereka di tempat-tempat kecantikan, di mall-mall, dan kecintaan mereka untuk membaca majalah-majalah maskulin dibandingkan membaca buku-buku pengetahuan umum.

Mengutip tulisan Naomi Wolf pada bab terakhir bukunya “Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan”.

1 komentar:

  1. setema dengan tulisan saya juga...
    monggo mampir juga kalo berkenan :P

    salam kenal

    BalasHapus