Kamis, 19 Desember 2013

Membaca ‘Arab’ Lewat Biennale Jogja XII Equator #2

Biennale Jogja XII Equator #2 yang bertema Indonesia Encounters Arab Region dengan tagline “Not A Dead End”. Sebetulnya penuh tanda tanya. Namun bukan seni namanya jika mudah dimengerti. Arab Region dikenal sebagai tempat yang memiliki kesan eksklusif karena dibumbui oleh aturan syariat-syariat agama, terutama Islam. Bagaimanakah budaya Arab mengekspresikan dirinya dihadapan sebuah sistem penegakan syariah yang begitu ketat? Membaca pameran ini sepertinya akan menemukan banyak hal yang menjadi jeritan dari seniman-seniman Arab Region di negara asalnya. Meskipun ada beberapa karya dari seniman-seniman Indonesia yang sangat menarik untuk dinikmati. 

courtesy photos by @narastika

Benar saja, sesampai di Jogja National Museum, ada banyak karya seni yang menurut saya merupakan sebuah kritik terhadap kekuatan Arab. Bagian Arab banyak menjadi tempat-tempat suci sehingga menjadi simbol kesyakralan agama. Melanjutkan tanda Tanya, mengapa ‘Arab Region’ bukan ‘Middle East’?  padahal jika ingin menilai dari letak geografis, istilah-istilah semacam Middle East tentu terdengar jauh lebih geografis. Maka saya menduga disini ada kekuatan Arab sebagai magnet tertentu. 


Karya dengan judul "Taman Berbulan Kembar (Garden with Twin Moon)"  oleh Eko Nugroho yang berkolaborasi dengan Daging Tumbuh.

Karya Eko Nugroho yang berwujud; patung dengan menggunakan mukena (semacam alat sholat bagi perempuan) diletakkan dihadapan dinding bertuliskan Hypocrite dengan samar di tembok, sebuah kritik akan suatu sistem yang seolah religius namun secara sembunyi-sembunyi menjilat sistem itu sendiri. Maka yang terlihat oleh mata adalah keindahan dari simbol religious, sementara yang samar-samar ya 'Hypocrite'.

Kita harus bersikap bijak dalam menghadapi realitas yang kerap muncul dari hubungan mispersepsi ajaran dan problematika yang muncul di masyarakat. Tentu kerap mendengar istilah yang Arabisasi, beberapa intelektual semacam sejarawan Phillip K. Hitti atau ulama Gus Mus sering menyitir, “Islam itu bukan Arab”. Meski Islam lahir dan tumbuh di tanah daerah Arab, tidak lantas semua budaya Arab merupakan serta merta ajaran Islam, begitulah kira-kira.

 M.
Yogyakarta, Desember 2013.

Sabtu, 14 Desember 2013

Membaca Mobilitas Manusia dalam “Biennale Jogja XII Equator #2”


photos courtesy of @narastika

Ketika saya memasuki Terminal BJXII Equator #2 di Taman Budaya Yogya (TBY) satu dari lima venue Biennale Jogja, seperti biasa karya seni selalu menunjukan daya tarik tersendiri, saya melihat Tim Artistik dari perhelatan pameran seni rupa ini sengaja mendesain ruangan galeri seperti sebuah Bandara. Saat itulah saya menyadari mengapa disebut Terminal dan arti kata “Welcome to Airport” di salah satu graffiti beranda sebelum memasuki Galeri TBY. Selayaknya memasuki sebuah airport tempat dimana orang datang, pergi dan bersinggah sejenak dari sebuah perjalanan panjang, airport mungkin juga mencerminkan mobilitas dari manusia itu sendiri. Maka, saya pun menerka-nerka; kearah Gate nomor berapa saya harus menuju?



Yang paling saya suka dari mengujungi pameran seni rupa adalah selalu ada makna yang dari setiap karya seni yang dibuat oleh para seniman. Sembari menebak-nebak imajinasi sang seniman, saya hanyut dalam pesan yang muncul dari karya seni tersebut. Saya termasuk orang yang cukup awam dengan dunia seni rupa, tetapi bisa dibilang menyukai dunia tersebut. Sebut saja, penikmat seni rupa. Outliners

Karya yang cukup menarik yaitu Berjudul “Deru” karya Ugo Untoro, Kaki-kaki kuda yang sengaja di pasang di langit-langit Galeri TBY. Sedari awal saya sudah menduga kaki-kaki Kuda itu merupakan kaki asli, karena bentuknya begitu mirip. Namun teman saya mengatakan itu hanya kayu yang dibentuk kaki kuda, sampai saya menemukan sebuah artikel yang menyatakan bahwa puluhan kaki kuda itu betul-betul asli. Memang sangat mengecoh, untuk apa sang seniman harus mengumpulkan kaki-kaki itu? Kuda adalah hewan tunggangan kuat yang berpengaruh bagi mobilitas manusia di masa lalu.  Melihat kaki-kaki di langit-langit itu seperti melihat kuda-kuda kuat berlarian dalam pikiran saya. Menderu; Gedebak...gedebuk...gedebak...gedebuk. Karya seni itu cukup meninggalkan kesan yang mendalam akan keberadaan kuda dalam realitasnya. 

Karya instalasi berjudul "Deru" oleh seniman Ugo Untoro

Karya lain cukup menyita perhatian adalah adanya loker, loker, dan lagi-lagi loker dibeberapa tempat pameran Biennale Jogja XII Equator #2. Sama. Pertanyaan menarik adalah apa maksudnya? Loker-loker tersebut sebuah karya seni dengan judul “100 Moving Numbers” karya Syagini Ratna Wulan yang menunjukkan bahwa satu tempat berkesinambungan dengan yang lain. Di dalam loker tersebut juga terdapat benda-benda sederhana yang kadang muncul dalam kehidupan kita sehari-hari. Sembari ada kartu pos di dalam setiap loker yang berisi nomor dan memberikan narasi tertentu. Sekali lagi, ini semacam menumbuhkan imajinasi bagi para penikmat seni seperti saya. 


Karya seni dengan judul “100 Moving Numbers” karya Syagini Ratna Wulan


Acara ini diselenggarakan pada 16 November 2013 sampai 6 Januari 2014, bagi belum sempat mengunjungi, tidak ada salahnya jika ingin meluangkan waktunya sejenak untuk menikmati karya seni. Beberapa diantara Karya seni yang ditampilkan telah memberikan impuls; membuka mata, hati dan pikiran bagi setiap pengunjung yang menikmatinya. 

M.
Yogyakarta dan Hujan di Akhir tahun 2013.

Senin, 25 November 2013

Interfaith Youth Pilgrimage: 10 Hari Perjalanan Ziarah Penuh Makna

“Experiencing the Sacred Spaces of the others” atau merasakan ruang suci dari (agama) lain inilah tagline dari program Interfaith Youth Pilgrimage (IYP), merupakan salah satu alasan diselenggarakan program ini. Berangkat dari keprihatinan atas peristiwa-peristiwa konflik yang kerap terjadi dengan mengatasnamakan agama di Indonesia, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan toleransi antar umat beragama di kalangan kaum muda, yang kelak akan menjadi penerus kepemimpinan di Indonesia. Para peserta IYP telah diajak untuk mempelajari mengenai bagaimana toleransi dan keberagaman dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam “ruang suci” masing-masing agama.


Belajar dari Pengalaman Live in
Program ini telah berhasil memberikan pengalaman nyata utamanya dalam menghapus stigma atau prasangka buruk terhadap agama lain, seperti yang dialami oleh Masduri, peserta dari Madura yang merasa tersentuh dengan dalamnya umat Nasrani dalam melantunkan doa-doanya. Masduri menambahkan setelah mengikuti program ini menjadi lebih terbuka kepada siapa saja, tanpa melihat agamanya, karena kebaikan bisa datang dari siapa saja, termasuk dari umat beragama yang lain. 
Salah satu peserta bernama Firman, menyatakan perasaannya dengan mengikuti seperti menemukan kembali damai yang telah lama hilang di Negeri Indonesia ini. Firman yang juga merupakan mahasiswa Universitas Pattimura datang jauh-jauh dari Ambon Manise, Maluku khusus untuk mengikuti program ini, “Saya berangkat menuju Yogyakarta dengan meninggalkan rutinitas kuliah dan aktivitas lain dikampus biruku yaitu Universitas Pattimura Ambon hanya karena satu hal yakni lewat IYP ini dapat tercipta kembali trust diantara kami anak muda Indonesia yang berbeda-beda agama dan suku bangsa”. Keluarga Firman merupakan salah satu korban dari konflik agama yang terjadi di Maluku tahun 1999. “Bagiku semua momen dalam 10 hari perjalanan bermakna ini sangatlah berharga. Namun, momen yang tak kulupakan yakni ketika saya (sebagai seorang muslim) live in dirumah jemaat GKJ Sidomukti, Salatiga. Pada awalnya, saya merasa ada yang berbeda seperti ada semacam gejolak batin dalam jiwaku. Bagaimana tidak, saya berasal dari daerah konflik yang mengatasnamakan agama kemudian cara pandang saya telah dibentuk oleh sejarah atas duka masa lalu, dengan menyatakan, diluar agama saya (Islam) terutama Kristen adalah musuh (stigma dalam komunitasku). Kini saya diperhadapkan dengan realitas yang berbeda, tinggal serumah dengan mereka (keluarga jemaat)”. Namun, Firman justru menjadikan pengalaman berharga tersebut sebagai sebuah refleksi, dengan memaafkan dan tidak menyimpan dendam dari luka masa lalu. Dia menyadari bahwa perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk memicu permusuhan dan konflik. Agama bukanlah sumber kekerasan melainkan sumber kedamaian bagi sesama dan semesta alam.
Kisah lain datang dari Susanto, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Syailendra. Susanto terkesan dengan pengalamannya live in di Pondok Pesantren, “Dari pengalaman tinggal di dua tempat pondok pesantren yang berbeda, disitulah saya mengetahui bahwa tidak semua pondok pesantren adalah sarang dari teroris atau gerakan kekerasan yang selama ini saya lihat di beberapa media masa”. Peserta yang lain, Geraldi D. Kongkoli berasal dari Poso, yang juga pernah live in di Pondok Pesantren Edi Mancoro Semarang, sangat terkesan dengan upaya transformatif pesantren tersebut dan mengubah stigma selama ini tentang pesantren dan tentang buruknya citra Islam.

Mencetuskan Petisi Perdamaian
Setelah mengikuti 10 hari perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci, berdialog dengan berbagai komunitas agama dan live in di masyarakat, 28 peserta IYP merumuskan 7 poin petisi perdamaian sebagai hasil dari kesadaran mereka. Peserta adalah perwakilan dari berbagai daerah di provinsi Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali, Kalimantan, NTT, NTB, dan Maluku. Petisi ini menghimbau kepada generasi muda, masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk lebih menghargai perbedaan nilai-nilai agama, menghapus prasangka, merawat keragaman, lebih menghayati nilai-nilai agama, menolak kekerasan atas nama agama dan secara khusus mengajak generasi muda Indonesia untuk menjadi inspirator dan agen perdamaian.


Program IYP ini di dukung oleh Kedutaan Besar Amerika Sertikat melalui program Alumni Engagement Innovation Fund (AEIF) 2013, dan dengan dukungan dari berbagai lembaga seperti Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Centre for Religious and Cultural Studies(CRCS) UGM, PSPP Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), PERCIK, Peace Generation Bandung, Pondok Pesantren Edi Mancoro, Seminari Mertoyudan Magelang dan DIAN-Interfidei. IYP diselenggarakan dari tanggal 10-20 November 2013 di beberapa kota: Yogyakarta, Surakarta, Karanganyar, Salatiga, Semarang, Magelang dan Yogyakarta.
Tujuan IYP ini, seperti yang disampaikan Team Leader IYP, Elis Z. Anis, M.A. dalam pembukaan IYP (10/10) adalah untuk membangun pemahaman yang mendalam mengenai akar persoalan konflik agama di Indonesia dan menciptakan  strategi yang relevan dalam mengatasi konflik atau persoalan antar iman. Di akhir program, peserta IYP diharapkan mampu membangun komitmen dalam memperjuangkan perdamaian diantara umat beragama. Peserta menandatangani petisi perdamaian dan akan membagi pengalaman mereka melalui komunitas masing-masing dan melalui media massa.


Mazia Rizqi Izzatika,
Organizing Committee IYP Indonesia

Jumat, 22 November 2013

Menggoda


Aku tak tahu mana yang lebih benar. Laki-laki yang gemar menggoda perempuan atau perempuan yang menikmati ketika ada laki-laki yang menggoda. Entah mengapa selalu saja ada laki-laki yang iseng menggoda; Menatap malu-malu. Menyanjung dengan kata-kata romantis. Mengirimkan sajak-sajak puitis. Memutarkan lagu-lagu nostalgia. 

Sejak jumpa kita pertama kulangsung jatuh cinta.
Walau kutahu kau ada pemiliknya.
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani.
Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini.
Maka ijinkanlah aku mencintaimu Atau bolehkan aku sekedar sayang padamu. 
Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta.
Apalagi aku juga ada pemiliknya.
Tapi kutak mampu membohongi hati nurani.
Kutak mampu menghindari gejolak cinta ini.
Maka maafkan jikaku mencintaimu.
Atau biarkan kumengharap kau sayang padaku.
(Kala Cinta Menggoda oleh Chrisye)

Terkadang risih. Terkadang geli.

M.
Magelang menuju Yogyakarta, November 2013.

Jumat, 23 Agustus 2013

Penyuluhan Sampah Plastik di Padukuhan Dukuh, Desa Margoagung, Seyegan

Barangkali kita memang terlampau egois jika tak mau peduli dengan sampah. Kita adalah manusia penghasil sampah. Setiap harinya saja entah itu shampoo, bungkus makanan, kertas, barang elektronik, plastik pembalut ataupun rokok, benda-benda sederhana yang begitu dekat dengan kita justru menghasilkan sampah. Namun ketika kita bersanding dengan sampah, tidak sedikit dari kita justru enggan, jijik dan 'angkat tangan', seolah-olah kita adalah manusia yang tak pernah menghasilkan sampah. 

Permasalahan sampah yang terjadi didepan mata itulah yang menggerakan saya dan teman-teman untuk mengadakan penyuluhan tentang pengelolaan sampah, baik itu sampah organik ataupun non-organik. Keinginan saya untuk mengadakan program ini sebetulnya hanya sederhana yaitu lebih kepada pengembangan ibu-ibu dasawisma. Para ibu rumah tangga di Desa ini banyak memiliki waktu luang sehingga sangat baik jika waktu yang mereka miliki digunakan untuk melakukan kerajinan, akan lebih baik lagi jika kerajinan tersebut berkaitan dengan pengelolaan sampah. Meskipun ada juga alasan lain yaitu keprihatinan saya dengan kondisi pengelolaan sampah yang ada di Desa ini. Selama ini, sampah hanya dibuang begitu saja di sungai belakang rumah, tanpa ada seorang pun yang peduli akibat dari pembuangan sampah apabila terus menerus dilakukan. Mungkin bisa banjir. Mungkin bisa longsor. Mungkin bisa menjadi sarang penyakit. Padahal di padukuhan ini sendiri sudah ada warga yang terkena virus air kencing tikus, atau leptospirosis, mungkin adanya penyakit berbahaya ini cara lain Tuhan untuk mengingatkan kita agar lebih menjaga lingkungan. 

Mengerjakan program ini tentu saya tidak bisa sendirian, selain jauh dari keahlian studi saya, dalam beberapa hal saya masih harus mempelajari tentang pengelolaan sampah terutama sampah plastik, oleh karena itu saya melaksanakannya bersama dua teman saya dari klauster sainstek yaitu Umi (MIPA) dan Daniel (Teknik). Beberapa dari kami (mahasiswa KKN) memang sangat minim akan pengetahuan soal pengelolaan sampah, namun hal itu tidak mengecilkan semangat kami untuk berhenti begitu saja, kami berusaha mempelajari mengenai pengelolaan sampah, bahkan kami mendatangi beberapa tempat yang kira-kira bisa menjadi referensi untuk mendapat pengetahuan tentang pengelolaan sampah. Salah satunya, kami sempat mengunjungi Desa Wisata Lingkungan Sukunan, merupakan Desa di daerah Gamping, Yogyakarta yang terkenal sebagai tempat percontohan pengelolaan sampah, mulai dari sampah organik dan non-organik. 

Setelah mencari tahu informasi kesana-kemari akhirnya kami mendapatkan kontak pak Iswanto, yang kemudian kami tahu bahwa beliau adalah Dosen Poltekkes yang telah menggerakkan masyarakat di Desa Sukunan untuk melakukan pengelolaan sampah secara serius. Setelah mencoba untuk menghubungi Pak Iswanto, beliau justru meminta kami untuk menghubungi mbak Harti. Pada hari Jum'at, kami memutuskan untuk berangkat langsung ke Desa Sukunan untuk menemui mbak Harti tersebut. Diluar perkiraan saya ternyata Desa Sukunan tidak serapi dan sebersih yang saya kira, namun jika dibandingkan dengan desa lain yang ada di Yogyakarta, lingkungan Desa Sukunan memang terlihat terawat dan terjaga. Di Desa Sukunan juga telah disediakan peta bagi setiap pengunjung sehingga kami bisa mengetahui tempat-tempat yang dibuat khusus untuk pengelolaan sampah. Pada awal kunjungan, tempat pertama yang kami coba kunjungi adalah Lumbung Sampah, tempat ini pada dasarnya TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yaitu tempat pengumpulan sampah dari sampah-sampah rumah tangga. Setiap rumah di Sukunan diharuskan memisahkan sampah organik rumah tangga mereka dan memasukkannya dalam bak pengomposan. Kemudian masyarakat akan mengolah sendiri pengomposan tersebut dengan komposter sebagai alat pembuatan kompos. 

Gambar 1. Klasifikasi sampah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sukunan. 

 
Gambar 2. Lumbung sampah Kampung Sukunan beserta penggolongan sampah didalamnya.

Karena kami ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Sukunan, maka kami pun pergi mencari rumah mbak Harti. Ketika kami sampai dirumah, semua mata kami langsung tertuju pada taplak meja yang terbuat dari bungkus indomie. Ternyat ambak Harti juga merupakan salah satu penyuluh tentang pengelolaan sampah terutama terkait dengan kerajinan dari sampah plastik. Maka kami pun mencoba melakukan wawancara singkat dengan mbak Harti, kami menanyakan berbagai macam masalah seputar pengelolaan sampah, serta tentang bagaimana mengubah mindset masyarakat Sukunan yang bisa bergerak bersama-sama untuk melakukan pengelolaan sampah. 

Mbak Harti menyatakan bahwa pelopornya yaitu Pak Iswanto, yang mengajak masyarakat untuk peduli melakukan pengelolaan sampah. "Awalnya sulit mengajak orang lain dan banyak yang mencibir, tapi makin lama ya yang mencibir malu sendiri, yang lain mau memilah sampah kok sendirinya tidak". Mbak Harti juga menyatakan bahwa pengelolaan sampah memang harus dimulai dari diri kita sendiri dan hal yang terkecil, sampah rumah rumah tangga, tidak bisa jika kita hanya memulainya dengan yang besar saja. Sebab sampah itu dihasilkan dari individu-individu. 

Masyarakat desa Sukunan membagi sampah menjadi 3 kategori, yaitu sampah plastik, sampah kertas, dan sampah logam. Warga memisahkan dengan cara menyediakan 3 macam karung berbeda di setiap rumah. Karung-karung tersebut dibedakan berdasarkan jenis sampahnya. Setelah karung-karung sampah yang berada di setiap rumah penuh, warga bisa mengumpulkannya ke dalam 3 drum besar yang telah disediakan di beberapa sudut desa. Dalam waktu yang telah ditentukan, drum-drum disetor ke TPS yang sudah dibangun di desa Sukunan. Jika jumlah sampah kira-kira sudah mencapai 1 truk, sampah dijual ke pengepul. Akan tetapi ternyata ada jenis sampah yang kurang diminati oleh pengepul. Sampah plastik yang berwarna dan dilapisi aluminium foil tidak mempunyai harga jual kembali yang tinggi, sehingga pengepul enggan mengambilnya. Sampah jenis ini biasanya berakhir dengan dibakar atau dikubur. Warga menyadari tindakan tersebut sangat tidak ramah lingkungan. Warga Sukunan mencoba menyikapi hal tersebut dengan mengolah sampah plastik menjadi barang yang lebih bernilai. Kemudian muncul ide-ide kreatif membuat tas, dompet, tempat ponsel, hingga tempat koran dari sampah plastik. Pada awalnya diadakan pelatihan rutin oleh ibu-ibu PKK untuk membuat kerajinan tersebut. Pada perjalanannya, hampir semua ibu-ibu Sukunan bisa melaksanakan produksi sendiri di rumah masing-masing. 

Nah ide-ide itulah yang ingin kami tularkan di Desa Margoagung, memulai pelatihan tentang pengolahan sampah plastik, penggunaannya serta pengolahannya. Awal mulanya kami mencoba mengadakan pelatihan pemilahaan sampah, sebab perilaku pemilahaan sampah memang sudah harus diterapkan sejak awal agar dapat membantu pengelohan sampah. Kami membuatkan semacam percontohan tempat pemilahan sampah, untuk rumahan melalui penyuluhan kepada ibu-ibu dasawisma di RT 01/02 di Desa Margoagung. Melalui percontohan ini kami harapkan masyarakat untuk dapat meneruskan pemilahan sampah. Pada percontohan pemisahan sampah dibagi menjadi tiga, yaitu sampah plastik, sampah organik dan sampah kertas. Hal ini sesuai dengan pemilahan sampah berbasis pemanfaatan. 

Gambar 3. Contoh pembuatan pemilahan sampah rumah tangga yang dibuat oleh Mahasiswa KKN 

Gambar 4. Penyuluhan sampah plastik dan gaya hidup go green. 

Sampah plastik dapat digunakan untuk kerajinan, sementara sampah organik dapat digunakan untuk pupuk kompos ataupun pupuk cair , kemudian saya bertanggung jawab untuk Penyuluhan tentang plastik, menggunakan model terkait dengan jenis-jenis plastik yang biasa digunakan untuk tempat makan atau konsumsi alternatif dan tidak sekali pakai. Pelatihan pengelolaan sampah ini dilaksanakan untuk memberikan ketrampilan lebih kepada ibu-ibu dasawisma agar bisa memanfaatkan sampah, khususnya sampah plastik, karena sampah plastik merupakan sampah yang sulit terurai. Selanjutnya untuk pemanfaatan limbah sampah organik, Daniel telah membuatkan dan memperkenalkan komposter, sebagai alat pengurai sampah organik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos atau pupuk cair. Ide pembuatan komposter ini dipelajari dari KP4 (Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) UGM , yang juga merupakan Mitra dari KKN SLM 21. Dimana KP4 UGM juga melakukan penelitian serupa terkait starter atau zat yang dapat membantu mengembangbiakan bakteri pengurai sampah (mikroba) agar dapat menjadi pupuk, dengan demikian kami sebagai mahasiswa KKN dapat secara langsung mengaplikasikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KP4 UGM. Komposter yang diperkenalkan Daniel dan teman-teman KKN lainnya cukup sederhana yaitu berupa tong plastik yang diberi penyekat sampah semacam saringan, agar nantinya cairan dari sampah yang telah terurai menjadi pupuk cair atau pupuk kompos. 

Sementara Umi mengadakan pelatihan kreasi kerajinan tangan dari sampah plastik seperti bunga dari kantong plastik (kresek) atau botol plastik. Pelatihan yang diajarkan oleh Umi ini juga didapat dari workshop pengelolaan sampah yang berkerjasama antara KKN-PPM UGM Unit SLM 20 dan KP4 UGM di Berbah. 

M.
Yogyakarta, July 2013

Kamis, 22 Agustus 2013

Pelatihan Kaligrafi with Anak-anak Dukuh

Akhirnya program terakhir TPA, untuk belajar bareng nulis Kaligrafi terlaksana :) 
dan ini beberapa dari karya terbaik mereka:



Kamis, 08 Agustus 2013

Eid Mubarak!


Dear readers, taqobbalallahu minna wa-minkum, syiyamana wa-siyamakum, minal 'aidin wal-faizin, May Allah accept our fasting, prayers, our ruku’ and sujood, devotions and obedience. And that He increase our Iman, Syukr and guide us to become the Mutaiins. Aamiin.


Happy Eid al-Fitr!

M.
Yogyakarta, August 2013