Rabu, 14 April 2010

Cerpen: Wall of Love



Aku telah menunggu gadis itu lebih dari dua jam namun dia tak kunjung datang. Kami berjanji akan bertemu pukul empat sore, sedangkan saat ini langit sudah mulai gelap dan gerimis. Bagaimana pun aku tetap akan menunggunya. Aku tak tahu sampai kapan aku akan menunggunya, mungkin karena aku sangat yakin dia pasti datang. Ketika hujan benar-benar menjadi deras. Keraguan pun mulai menyelimuti hatiku. Apakah dia masih tetap akan datang? Penampilanku juga sudah tidak sebaik dua jam yang lalu, hanya bunga mawar merah yang terbuat dari plastik ini saja yang masih terlihat segar. Anehnya, tak ada sedikitpun kekecewaan yang aku rasakan meski dia telah membuatku menunggu lebih dari dua jam ini, mungkin karena perasaanku yang mendalam terhadap dirinya.
Tepat pukul tujuh malam, saat dimana aku sudah hampir putus asa. Dia muncul dengan mata sembab. Awalnya aku sama sekali tidak tahu bahwa itu akan menjadi hari terburuk dalam kisah cintaku ini. Kumunculannya malam itu saja sebenarnya telah membuat perasaanku lega dan bahagia. Sampai aku menyadarinya beberapa saat kemudian. Jeda diantara dia muncul dan aku mengetahui raut wajahnya yang sedih serta matanya yang sembab itulah seketika perasaanku mulai berubah menjadi gelisah, apakah dia menangis? Ketika dia sudah ada didepanku, aku pun menjadi linglung. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Tubuhnya yang basah kuyup akibat menerjang hujan deras juga membuatku semakin tak karuan. Aku benar-benar tidak tahu kalimat apa yang harus aku ucapkan bahkan aku melupakan setangkai mawar yang seharusnya aku berikan di awal pertemuan, sebagaimana skenario yang jauh-jauh hari aku persiapkan. Akhirnya dialah yang memulai pembicaraan diantara kami.
“Maaf aku terlambat”
“Tidak apa-apa, kamu juga kehujanan”
“Yah, aku tak apa-apa kok mungkin pertemuan kita ini tidak akan lama”
Aku benar-benar gelisah kali ini.
“Ya, itu juga tidak apa-apa sebaiknya kamu segera pulang dan ganti baju, aku senang kamu mau bertemu denganku hari ini”
“Bukan begitu dit, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan tentang hubungan kita”
“Katakan saja, apapun itu asalkan membuat perasaanmu lebih baik” kataku memberanikan diri.
Dia terpaku dan sedikt ragu-ragu untuk mengatakan perasaannya.
“Aku mencintai laki-laki lain” ucapnya dengan lirih.
Aku terdiam. Kulihat air mata itu mulai mengalir dari matanya yang indah.
“Maafkan aku” ucapnya sambil menyeka air mata yang semakin deras.
Itu merupakan kalimat terakhir yang aku dengar. Kemudian dia berlari menuju hujan, aku hanya mampu melihatnya semakin menjauh dariku hingga hilang ditelan oleh kegelapan. Sedangkan aku terdiam menyaksikan semua itu. Kegelisahanku beralasan, hatiku mungkin akan tahu bahwa saat itu aku akan benar-benar kecewa. Hatiku seperti ditusuk. Aku menatap bunga mawar plastik yang ada digenggamanku. Ingin aku katakan pada bunga mawar itu, “Tahukah engkau wahai bunga mawar, keberadaanmu dalam genggaman tanganku kini sudah tiada artinya, gadis yang seharusnya memilikimu kini meninggalkan aku dan mungkin untuk selamanya”.
Aku pun meninggalkan tempat ini. Perasaanku begitu kacau balau antara kekecewaan dan ketidakpahaman. Mungkinkah selama ini dia tersiksa harus menjalani hubungan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah dia cintai? Aku benar-benar tak mengerti. Mungkin saja dia menangis karena dia tahu akan melukai hati seseorang yang tulus mencintainya. Seperti inikah rasanya patah hati tuhan? Sungguh menyakitkan. Aku berjalan dibawah hujan seperti mati rasa, tidak dingin dan tidak pula panas.Mungkin tempat ini akan menjadi saksi mati betapa aku mencintaimu meski pada akhirnya aku harus mengalah karena ketidakberdayaanku akan cintamu pada lelaki lain.
Aku terus berjalan hingga sampai disebuah persimpangan jalan, dimana disanalah pertama kali aku melihat gadis yang aku cintai itu. Dia berdiri begitu indah menanti angkutan kota melewati jalan ini. Tempat ini adalah jalan yang sehari-hari aku lewati ketika berangkat ke sekolah. Aku melihatnya disana lebih dari tiga kali dalam seminggu. Aku selalu memperhatikan dia. Hingga saat itu, hujan turun begitu deras. Aku tawarkan payung yang aku miliki dan membiarkannya membawanya, sementara aku rela hujan-hujan pulang kerumah. Keesokan harinya terpaksa aku tak mengenakan sepatu dan tas ranselku ke sekolah karena basah kuyub dan paginya belum kering. Aku pun terpaksa mengenakan sepatu kulit milik pamanku yang kebesaran dan kantong plastik hitam untuk menyimpan bukuku. Sesulit apapun hal yang aku alami saat itu, tetap saja indah kurasakan. Mungkin itulah saat dimana aku jatuh cinta. Aku tatap tempat dimana dia biasa berdiri dengan indahnya, kini yang ada hanyalah dinding putih yang sudah mulai kusam. Kosong tak bernyawa. Seperti hatiku saat ini.
Aku tidak tahu aku mendapatkan ide ini dari mana. Tapi aku menuliskan sebuah kalimat di dinding itu agar tak menjadi kosong seperti hatiku. Aku hanya ingin suatu saat dia akan membacanya, saat dimana mungkin dia akan kembali berdiri ditempat ini. “Hari ini aku telah patah hati oleh seorang gadis yang amat kucintai.” Kutuliskan pula inisial namaku disana “R. S.” yaitu Raditya Sastra. Mungkin aku terlalu berharap akan perasaanmu padaku, mungkin pula aku terlalu memaksakan perasaan ini. Seharusnya aku sadari perasaan itu sejak awal, hingga aku tak perlu menyakiti hati ini terlalu dalam. Aku masih tak bergerak menatap tulisan dengan tinta hitam tipis yang ditorehkan ditembok itu. Semoga suatu hari nanti engkau membacanya. Suatu saat engkau harus tahu.
Kutinggalkan bunga mawar plastik itu disana, di depan tembok itu kemudian aku pergi dari tempat itu dengan langkah goyah. Sepanjang jalan menuju ke rumah aku hanya mampu bergumam, “Sungguh menyakitkan patah hati itu”.


Keesokan harinya badanku panas dan betul-betul demam. Aku tidak tahu ini efek psikologis dari aku yang sedang patah hati atau memang karena aku membiarkan tubuhku diguyur hujan semalaman tanpa mengunyah sesuap nasi pun. Semalam ketika aku pulang, ibuku mengomel-ngomel karena sikapku yang tidak peduli dengan diri sendiri dengan memilih hujan-hujanan. Sekata-kata ibuku mengomeliku tetap saja makian itu tak terasa sakit dihati. Karena saat itu hatiku seperti mati rasa akibat patah hati. Begitu pula pagi hari ini ketika badanku demam dan aku terpaksa tidak pergi sekolah. Ibuku kembali memaki-maki dan mengungkit sikapku semalam. Aku tetap tak bergidik. Badanku memang sedang sakit tapi itu tak seberapa ketimbang sakit yang ada dihati. Sungguh memilukan.
Siang harinya sahabat karibku Karina yang juga tetanggaku satu kampung datang menjengukku, karena dia menanyakan kenapa hari ini aku tidak hadir dirapat pertemuan organisasi sekolah yang aku dan dia ikuti. Aku pun telah melupakan hal penting itu. Ibuku mengantarkan Karina ke kamarku namun ketika ibu telah meninggalkan kami untuk bercakap-cakap mengenai tugas-tugas kami disekolah. Karina justru mengatakan hal lain. Bukan tentang organisasi ataupun tentang tugas-tugas sekolah.
“Aku dengar kamu putus dengan Putri, dit?” pertanyaannya sungguh mengagetkanku.
“Dari mana kamu tahu?”
“Karena aku juga dengar kalau Putri hari ini jadian dengan kakak kelas kita, kelas tiga”
“Siapa?” tanyaku penasaran, tak kusangka sudah banyak nyebar gossip disekolahku. Padahal sekolah kami dengan sekolah Putri berbeda meskipun tempatnya sangat berdekatan.
“Kak Yordan” jawab Karina dengan suara rendah.
Aku hanya terdiam. Sungguh sangat miris kenyataan yang diungkapkan Karina. Kini aku tahu alasan Putri meninggalkanku. Yordan kakak kelas kami bukanlah murid yang biasa saja. Selain tampangnya yang mempesona para gadis, dia juga jagoan tim basket sekolah kami. Belum lagi sederet prestasi yang dilainnya. Aku dibandingkan dengan Yordan sungguh sangat ironis. Meninggalkan aku demi Yordan pun bukan hal yang aneh, justru semakin wajar. Kini aku tahu alasan itu yang diinginkan Putri. Kenyataan itu menjadikan titik balik akan perasaanku terhadap Putri, gadis yang semalam membuat aku terlunta-lunta dengan cinta. Apa yang dimiliki Yordan adalah apa yang selama ini dia harapkan dariku.
Pertanyaan Karina membuyarkan lamunanku.
“Itu sebabnya kamu sakit, dit?”
“Mungkin” jawabku sambil memalingkan muka.
“Seharusnya aku memberitahu kamu sejak awal” katanya tiba-tiba.
“Maksudmu?” tanyaku menatapnya.
“Aku tahu Putri menyukai kak Yordan sejak dulu”
“Apa?”
Aku sungguh kaget dengan perkataan Karina.
Dia mengulangi kalimatnya dengan suara lebih rendah,”iya dit, Putri sudah lama menyukai Yordan. Aku tak mengatakannya padamu karena aku hanya ingin menjaga perasaanmu dit” ungkapnya.
“Na, seandainya kamu mengatakan padaku lebih awal mungkin hatiku gak sesakit ini”
“Maaf” ucapnya sambil menitikkan air mata.
“Sebaiknya kamu segera pergi dari tempat ini” kataku dengan perasaan sangat kesal, aku merasa seperti ditipu oleh sahabatku sendiri.
Mendengar perkataanku, dia sangat terkejut. Kemudian dengan cepat dia segera pergi dari kamarku dengan langkah terburu-buru. Aku sadar, memang seharusnya kata-kata itu tidak terlontar dari bibirku. Aku pasti telah menyakiti perasaannya. Aku hanya kalut. Akan tetapi tak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku pada Karina. Dia adalah sahabatku.


Paginya ketika aku datang kesekolah. Ternyata teman-temanku juga telah banyak mendengar berita tentang putusnya hubunganku dengan Putri. Setiap kali aku temui mereka diluar kelas. Pertanyaan yang terlontar adalah tentang Putri dan Putri. Berbagai kalimat iba ataupun semangat untuk kembali bangkit dan mendapatkan cinta yang baru terlontar dari beberapa temanku. “Sabar dit, mungkin emang takdirnya lo harus putus ma dia. Cewek banyak kok!” atau “Sia-sia dong kamu kejar dia, bukan jodohnya kali dit, kamu ama Putri!” Aku hanya bisa meringis mendengar semua itu. Itulah mereka dengan pikiran mereka.
Teman-temanku itu mungkin memang mengatakan perjuangan panjangku untuk mendapatkan cinta dari Putri telah sia-sia. Tapi bagiku tidak, semua kisah itu adalah miliku. Ketika aku jatuh cinta padanya, mungkin memang benar itu sebuah takdir. Namun ketika dia telah memilih untuk meninggalkanku itu bukan lagi menjadi takdir. Itu telah menjadi keputusannya untuk meninggalkanku dan memilih mencintai laki-laki lain. Saat itulah aku sadar mengapa dia menangis ketika meninggalkanku. Mencintainya dan ketika aku tahu dia menerimaku untuk berada disisinya, bagiku semua itu seperti mimpi. Kini aku sadar, ini bukanlah mimpi dan putusnya hubungan kami juga bukan takdir. Itulah yang diinginkan Putri, yang mungkin bisa membuatnya bahagia. Sebagaimana dia telah membuatku bahagia, walaupun dalam sekejap.
Ketika aku pulang dari sekolah. Aku kembali melewati persimpangan jalan yang tak pernah aku lupakan itu. Aku kembali menatap sejenak tembok itu. Kulihat samar-samar, coretan tulisanku ditembok itu telah bertambah atau mungkin Putri telah menyadari aku yang telah menuliskan sebuah kalimat disana sehingga dia pun membalas kata-kata cintaku. Segera aku dekati tembok itu. Perlahan sebuah kalimat telah muncul disana. Sebuah kalimat yang membuatku tersentak. “Hanya seseorang yang telah jatuh cinta yang mengerti; bagaimana indahnya cinta itu dan hanya seseorang yang telah patah hati yang mengerti; bagaimana rasa perih itu”. Kalimat itu tertulis begitu rapi dengan tinta warna merah seperti darah hingga membuatku berpikir bahwa yang menulis ini pastilah seorang gadis. Segera aku keluarkan pulpenku. Kubalas kalimat itu, “Cintalah yang membuatku tersadar akan indahnya kehidupan dan terkadang cinta pula yang membuatku sulit menghadapi kehidupan” Aku tuliskan kalimatku disana tanpa peduli keesokan harinya dia akan membaca tulisan ini atau tidak namun aku berharap dia membacanya.

Keesokan harinya ternyata dia membalas kalimat cintaku. Aku pun juga membalas kalimat-kalimat cinta yang dituliskan disana. Begitulah seterusnya hingga berhari-hari.



Aku terus membalas kalimat-kalimat cinta dengan tinta merah itu hingga tanpa sadar, tulisan-tulisan kami hampir memenuhi tembok putih itu. Aku tidak pernah tahu, siapa wanita disebrang sana. Walaupun sebetulnya rasa penasaran itu selalu ada. Pernah suatu hari aku bersembunyi dibalik kotak-kotak bekas yang bertumpuk di dekat tembok itu, aku hanya ingin menunggu sang penulis denga tinta merah itu. Namun penantianku tak kunjung tiba hingga malam hari, orang itu tak datang.
Sebenarnya tak banyak gadis yang tinggal di daerah ini. Aku juga pernah membuat daftar nama-nama anak perempuan yang mungkin aku kenal. Namun ketika aku bertemu dengan orang-orang itu aku singgung sedikit mengenai tembok itu, tak satupun dari mereka mengerti apa maksudku. Mereka sepertinya bukan penulis itu, tidak mungkin. Beberapa gadis yang mungkin aku kenal di daerah kampung sebelah juga sepertinya tidak tahu menahu, kecuali orang-orang yang tinggal di sebelah jalan raya itu. Namun aku cukup meragukan jika seseorang yang selalu berbagi kalimat cinta denganku itu berasal dari daerah itu. Mereka adalah orang-orang kaya yang tak mungkin mau melewati persimpangan jalan ini, karena tempat ini adalah tempat yang agak kotor dan becek jika turun hujan. Mungkin hanya beberapa orang saja yang mau naik angkutan kota menuju ke pasar yang biasa berada di tempat ini. Bahkan Putri pun tidak pernah lagi datang ketempat ini, mungkin sejak peristiwa itu dia lebih memilih menunggu angkutan kota ditempat pangkalan yang lain agar tidak bertemu denganku.
Saat ini aku juga mengkhawatirkan hubunganku dengan Karina. Sudah hampir lebih dari lima hari aku tidak bertegur sapa dengan Karina. Sekalipun kami bertemu di sekolah. Dia selalu menghindariku. Tentu saja ini sangat mengangguku, aku memutuskan untuk meminta maaf kepadanya. Aku memang menyadari bahwa aku telah memperlakukan Karina dengan tidak adil. Aku telah melampiaskan kemarahanku pada dirinya. Aku seperti akan kehilangan sahabatku.
Banyak juga yang aku ingin tanyakan pada Karina, terutama mengenai seseorang yang selama ini selalu berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku ingin tahu identitas sebenarnya seseorang itu. Sekalipun aku mungkin akan menyesal mengetahuinya, jika seseorang yang menulis ditembok itu tidak sesuai dengan apa yang selama ini aku pikirkan. Besok aku memutuskan untuk menemui Karina. Aku harus meminta maaf padanya.

Hari ini aku tahu dimana seharusnya Karina berada. Setiap hari Selasa dia memiliki jadwal piket menjaga kantor OSIS. Sepulang sekolah aku sengaja mendatangi kantor itu. Tapi disana tidak ada siapapun. Kosong. Aku pun memutuskan menunggunya disini. Tak sampai setengah jam Karina muncul. Aku melihat raut wajahnya yang sedikit kaget ketika melihatku berdiri didepan pintu kantor OSIS. Segera aku mengatakan permintaan maafku padanya.
“Na, maafkan aku. Aku tahu aku salah.”
Dia menatapku sejenak kemudian hanya mengangguk dan berkata, “Aku juga salah dit, harusnya aku kasih tahu kamu dari dulu”
“Gak apa-apa, biarkan aja semua berlalu. Aku memutuskan untuk segera melupakan Putri. Mungkin memang aku tak pantas untuknya”
“Kamu pantas kok” kata Karina pelan. “Hanya saja kalian tidak ditakdirkan untuk saling mencintai” sambungnya.
“Mungkin saja”
Setelah itu, hubungan kami menjadi membaik kembali. Aku juga menceritakan padanya mengenai seseorang yang selama ini berhubungan denganku melalui tembok itu. Aku katakana padanya bahwa seandainya orang yang berbagi kalimat-kalimat cinta denganku itu seorang perempuan, mungkin aku akan mencintainya. Aku menyukai setiap kalimat yang dituliskannya disana. Karina begitu terkejut mendengar pernyataanku.
“APA?”
“Iya, tembok itu ada dipersimpangan jalan menuju kampong kita. Kamu juga bisa baca disana kalau kamu mau, Na. Kamu pasti akan kagum dengan semua kalimat-kalimat tentang cinta itu”.
“Kamu pasti akan kecewa suatu saat nanti mengatakan hal itu”
“Gimana kamu tahu? Bertemu dengan orangnya saja belum pernah”
“Tapi kamu gak perlu buat pernyataan seperti itu kan dit?”
“Na, kalimat-kalimat itu begitu indah disana” kataku meyakinkannya. “Kamu perlu membacanya, nanti sepulang sekolah kamu harus membacanya”.
“Tidak mungkin”
“Kenapa?”
“Hari ini aku akan pergi kerumah nenek di Bandung, kata ayah nenekku sakit dan kami sekeluarga diminta menjenguknya”
“Aku ikut sedih mendengarnya, berapa lama kamu akan pergi?”
“Mungkin tiga sampai empat hari”
“Baiklah kalau begitu, sepertinya aku sudah harus pulang”
“Yah sampai bertemu minggu depan”
Aku pun meninggalkan Karina. Hatiku begitu lega Karina mau memaafkan aku. Sepulang sekolah seperti biasanya aku melewati persimpangan jalan itu. Aku selalu mampir dan memastikan tulisan-tulisan yang baru akan muncul. Begitu pula kali ini. Hari ini dia menuliskan subuah kalimat yang tak pernah aku sangka. “Tak ada lagi kalimat yang lebih indah untuk aku sampaikan padamu selain, AKU MENCINTAIMU Raditya Sastra”
Kalimat itu begitu jelas menyiratkan perasaannya. Dia tahu namaku sementara aku tak pernah tahu siapa dia. Bagaimana mungkin aku juga mencintai orang yang mungkin aku tak pernah tahu. Aku tak mengerti hal sepeerti ini bisa terjadi. Aku tak berniat membalas kalimat-kalimat itu. Aku hanya akan menunggu saja siapa yang akan datang menemuiku, jika memang gadis itu benar-benar mencintaku. Mungkin saja ada orang yang sengaja iseng mengerjaiku dengan semua ini. Benar seperti kata Karina, jika mungkin suatu saat aku akan kecewa dengan kalimat-kalimat cinta di tembok itu.


Sudah berhari-hari tulisan ditembok itu tak lagi bertambah. Aku enggan menuliskan sesuatu ditembok itu, setelah sang penulisnya menyatakan perasaannya padaku. Masalahnya mungkin aku tak pernah tahu, siapakah gerangan sang penulis itu?
Hari ini pula aku dikejutkan oleh berita dari ibuku.
“Diiiiitt!” panggil ibuku.
“Ada apa bu? Kok teriak-teriak?”
“Kamu sudah dengar kabar kalau Karina kecelakaan?”
“Hah?”
“Iya, ibu juga baru dengar!”
“Terus?”
“Keluarga Karina kecelakaan, tapi katanya yang paling parah ya justru Karina”
“Ibu baru dengar dari ibu-ibu arisan hari ini, padahal kecelakaannya sudah dua hari yang lalu”
“Sekarang Karina dirumah sakit mana, bu?” tanyaku khawatir.
“Katanya sudah dirawat dirumahnya”
“Jadi sudah pulang?”
Ibuku mengangguk. “Kalau kamu mau ke rumahnya sampaikan salam ibu pada keluarganya, mungkin besok ibu akan kesana”
“Yah bu” sahutku sambil bersiap pergi kerumahnya.
Bagiku, Karina adalah sahabat terbaikku. Kami berteman sudah sangat lama. Keluarga Karina juga sering membantu keluarga kami jika sedang daalam kesusahan terutama dalam masalah finansial. Bukan hanya kami yang bersahabat tapi juga keluarga kami. Sesegera mungkin aku pergi kerumah Karina, meski kami tinggal disatu kampung tapi rumah kami terpisah beberapa blok oleh rumah-rumah tempat pabrik kerupuk. Berjalan kaki dari rumahku menuju rumah Karina mungkin hanya membutuhkan beberapa menit. Aku berlari secepatnya agar segera sampai di rumah Karina.
Sampai di depan rumah Karina. Ibu Karina yang membukakan pintu untukku, aku melihat juga didahinya yang dibalut oleh perban putih. Aku katakan padanya, jika kedatanganku karena aku ingin menjenguk Karina. Beliau mempersilahkan aku masuk dan mengantarkannya ke kamar Karina.
“Karina mengalami gegar otak” katanya lirih sembari membukakan pintu kamar Karina.
Aku melihat tubuhnya yang kecil terbaring lemah tak berdaya. Selang infuse masih membelit di tangannya. Tapi diruangan itu, ada hal lain yang membuatku tertegun. Aku melihat setangkai mawar merah plastik yang tidak asing lagi bagiku, disebelahnya juga terdapat sebuah spidol berwarna merah. Kulihat pula berbagai tulisan kalimat yang ditulis di kertas warna-warni, kertas-kertas yang telah ditempelkan pada tembok-tembok didepan meja belajar Karina. Kata-kata yang ditulis disana adalah kata-kata cinta yang aku tuliskan setiap hari ditembok itu. Kini aku mengetahui siapa sang penulis kalimat-kalimat cinta yang indah itu.
Kutatap wajah Karina yang pucat pasi. Ku genggam tangannya dengan erat. Saat itu inginku bisikan melalui telinganya, “Karina, maafkan aku yang tak pernah memahami perasaanmu, kelak jika kau terbangun aku akan katakan padamu bahwa aku juga mencintaimu” .






Yogyakarta, 13 April 2010
“Raditya & Karina, tetaplah bahagia dalam mimpi-mimpiku…”

Sabtu, 10 April 2010

Bermain Bersama...^^ (kotak lama)

Sometimes we cannot deny that in middle of our routine of lectures, we still need a refreshing ...A few weeks ago precisely March 16, 2010,
i am playing together with my friends (ana, astri, and hani) in KIDSFUN...enjoy children's games!!!

Awalnya sempet takut masuk karena dikirain bayarnya mahal,wkwkwkw
Ternyata gak mahal-mahal banget kok…25ribu gitu?? Lupa-lupa ingatlah…but not for all games…^^



Berlagak di negri dongeng..uhm...



Maen bom-bom car..wkwkwkwkw




I was really tired with this game ... pfiuuhh,, but its fun .. ^ ^



when I play this game, my boat isn't really good and finally do not move too much, it makes me drift in middle of the pond ...hikz...

Pada akhirnya kita kecapean sendiri...truz makan-makan snack sambil ngeliat anak-anak kecil bermain-main.heu FUN!

Rabu, 07 April 2010

Kekasih dalam Kata-Kata


Sebetulnya aku tidak mencintainya. Setidaknya aku tahu bahwa perasaanku padanya bukanlah perasaan cinta. Aku mencintai semua tulisan-tulisannya tapi tidak penulisnya, begitulah. Aku pun menyadari perasaan ini cukup lama, menerima kenyataan bahwa aku tidak mencintai istriku sendiri. Sejujurnya aku menikahi dia karena apa-apa yang dituangkan dalam kertas-kertas itu berupa puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, dan novel-novelnya. Tapi tidak dirinya dan tidak pribadinya. Aku pun merasa tidak terganggu dengan segala perasaan ini asalkan aku masih membaca semua karya-karyanya. Kenyataan terindah yang aku alami adalah aku selalu menjadi orang pertama yang membaca karya-karyanya. Aku sangat menikmati semua itu. Oleh sebab itu cintaku bukanlah cinta bertepuk sebelah tangan.

Awalnya mungkin aneh. Seperti mencintai hal yang tidak nyata. Absurd. Coba bayangkan, aku hanya mendekati istriku jika dia telah mulai beranjak dari mejanya dan mengerak-gerakan badannya melepas penat sambil tersenyum riang, itu merupakan pertanda bahwa dia telah menyelesaikan karya terbarunya. Kebiasaan istriku yang satu Inilah yang selalu kunanti-nanti.
Kemudian aku mulai mendekatinya sambil bertanya, “Apa yang kau tulis? Novel? Cerpen? Atau Puisi?”
“Cerpen” jawabnya singkat.
“Sudah selesai?”
Dia mengangguk perlahan.
“Boleh aku baca?”
Dia kembali mengangguk.
Seketika perasaanku berubah menjadi berbunga-bunga, bahagia tiada tara. Semakin aku mendekati laptop istriku, hatiku semakin berdetak tak karuan. Luar biasa. Perasaan cintaku ini begitu mendalam. Aku membaca tulisan itu dengan seksama, sekejap perasaanku mulai bergejolak, mataku menyusuri kata demi kata, cerita itu segera mengalir lembut diantara sel-sel otakku membuat hatiku semakin berdegup gencang. Cerpen magis dengan gaya kesusastraan tingkat tinggi. Gaya bahasa yang begitu aku kenal, ide cerita yang brilian, aku begitu mencintainya, aku begitu mencintai karya-karya sastra istriku, sekali lagi hanya karyanya bukan pribadinya.
Setelah membaca karya terbaru istriku, cerita-cerita dalam karya itu selalu terbawa dalam mimpi-mimpiku, yang kemudian membawaku kedalam dunia baru. Dunia yang jauh lebih indah. Yang jauh dari dunia nyataku, yang jauh dari kehidupanku, dan yang jauh dari istriku. Namun kebahagiaan yang ada dalam mimpiku ini hanya terasa sekejap saja. Karena bisikan-bisikan suara wanita itu, tepatnya suara istriku yang membangunkanku untuk kembali berangkat ke kantor. Aku selalu kesal. Kebahagiaan yang hanya dirasakan beberapa saat saja. Hilang begitu saja oleh suara-suara wanita itu. Sialan!
Begitulah aku menjalani kisah cintaku. Unik. Tapi aku pun tak bisa menepis perasaan cintaku yang begitu mendalam ini. Aku membiarkan cintaku ini tetap tumbuh dengan sendirinya. Karena aku pun begitu menikmati setiap episode kehidupan cinta yang aku jalani. Sampai suatu ketika istriku kembali menulis, kali ini dia mengarang sebuah novel yang membuat perasaan cintaku ini semakin gila. Perasaan cintaku dengan karya-karyanya sekali lagi bukan pada penulisnya secara pribadi.

***

Hari itu aku pulang lebih awal dari biasanya, kudapati rumahku sangat sepi. Hening. Kupanggil nama istriku berulang kali namun dia tak menyahut. Aku pun masuk kamar dan berganti pakaian. Kemudian aku mendatangi ruang makan, kubuka tudung saji diatas meja makan, disana telah tersedia nasi putih hangat, lauk pauk dan sayuran. Tentu saja semua itu adalah makan siang yang disediakan untukku oleh istriku. Dia tahu betul hari ini aku akan pulang lebih cepat dari biasanya, batinku. Segera aku mulai menyantap hidangan yang ada dihadapanku, perutku sudah tidak tahan setelah setengah hari ini berkerja dikantor menghadapi setumpuk nota-nota yang harus dibuat menjadi laporan keuangan berlembar-lembar. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai pekerjaanku namun ini adalah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Sayup-sayup aku mendengar bunyi seseorang sedang memencet keyboard dengan cepat. Seseorang sedang mengetik. Wanita itu kembali menulis! Istriku kembali menulis!
Segera aku datangi ruang baca, tempat dimana istriku biasanya menulis semua karya-karyanya. Aku mengintipnya dari balik celah pintu, wanita itu terlihat begitu fokus menatap layar laptop, jari-jarinya yang lentik tak berhenti bergerak terus memencet tuts-tuts keyboard dengan begitu tangkasnya. Matanya melotot menatap huruf-huruf yang mulai bermunculan dilayar dengan rapinya. Sedangkan aku, hatiku justru mulai berdegup, semakin lama semakin kecang. Ini pertanda bagus, wanita itu benar-benar mulai menulis lagi, itu berarti aku akan kembali membaca dan menemui kekasihku! Aku tersenyum bahagia.
Tiba-tiba wanita itu menghentikan aktivitasnya, dia menoleh kearahku. Dia menyadari aku memperhatikannya. Dia menatapku sesaat dan tersenyum. Mungkin keheranan melihatku senyum-senyum sendirian dibalik pintu.
“Sudah pulang?”
Aku mengangguk.
“Maaf aku tidak tahu kamu sudah pulang, aku keasyikan menulis sebuah novel sampai aku tidak sadar ternyata kamu sudah pulang sedari tadi”
Sebuah novel!
“Sudah makan? Aku sudah menyiapkan makan siang di atas meja makan” tambahnya.
Aku hanya menunjukkan piring yang aku pegang diatasnya juga masih tersisa setumpuk nasi dan lauk pauk yang sengaja aku ambil melebihi porsi biasanya.
Tak kuat menahan rasa penasaranku. Aku bertanya, “Kamu sedang menulis novel tentang apa?”
“Seorang wanita” jawabnya singkat. “Dan kau adalah lelaki pertama yang akan membacanya” tambahnya dengan tegas.
Aku bahagia bukan main. Sebentar lagi akan muncul sebuah novel yang menuturkan tentang seorang wanita, akankah wanita dalam novel ini yang akan menjadi cinta sejatiku. Perasaanku semakin tak karuan. Maka sebisa mungkin aku tidak menganggu wanita itu. Biarlah dia terus menyelesaikan novel itu. Biarkan dia terus menulis. Aku tak sabar! Wanita penulis novel itu atau wanita yang biasa disebut-sebut oleh orang-orang sebagai istriku. Mungkin dia memang istriku tapi sekali lagi aku tidak mencintainya, aku hanya mencintai tulisan-tulisannya.

***

Berhari-hari bahkan berminggu-minggu aku tunggu wanita itu atau istriku menyelesaikan novel terbarunya. Aku rela membiarkan dia sesekali tidak memasak makan malam ataupun makan siang. Tak apalah, asalkan cepat selesai novel itu, batinku.
Sampailah dimana istriku jatuh sakit. Ini benar-benar masa yang sulit. Aku menjadi gelisah tidak karuan, aku benar-benar khawatir akan novel itu yang tak terselesaikan. Maka apapun akan aku lakukan demi sembuhnya istriku. Aku benar-benar khawatir pada novel itu. Aku benar-benar ingin segera membacanya. Semenjak aku tahu istriku sakit hingga tidak bisa melanjutkan menulis novel segeralah aku membawanya ke dokter. Sesampai disana, aku ingin perawatan terbaik untuk istriku agar dia lekas sembuh dan kembali melanjutkan menulis novel yang tertunda karena kesehatannya. Beruntung sang dokter mengatakan bahwa istriku hanya kecapean dan perlu istirahat. Aku begitu lega mendengar penuturan sang dokter, setelah menerima resep obat dari dokter kami cepat-cepat membeli obat itu di apotek terdekat dan pulang. Sampai dirumah segera aku memastikan dia meminum obat dan beristirahat. Nampaknya aku harus lebih bersabar untuk menanti novel itu. Setidaknya aku harus lebih berjuang untuk mendapatkan kekasih sejatiku. Sekali lagi bukan istriku, tetapi tulisan-tulisannya.
Malam harinya, istriku mengucapkan terima kasih atas semua perhatianku hari ini. Aku diam saja. Dia mengatakan sangat bahagia terhadap kepedulian dan perhatianku. Aku tetap diam saja. Dia bahkan juga mengatakan kalau dia sangat mencintaiku dan akan segera menyelesaikan novel itu agar aku bisa segera membacanya.
“Aku ingin kamu segera membaca novel terbaruku, aku ingin mendengar pendapatmu” begitulah katanya.
Kali ini aku tidak diam saja. Aku tersenyum ceria sambil mengatakan, “Aku juga ingin segera membaca novel itu, cepatlah lekas sembuh”
Dia pun mengangguk dan tersenyum.
Meski begitu, aku memang bahagia. Tapi aku tak pernah sekalipun mengatakan padanya bahwa aku tak mencintainya dan aku hanya mencintai tulisan-tulisannya. Entahlah, mungkin aku takut kehilangan cintaku, aku takut dia tidak menulis lagi dan aku akan kehilangan cinta sejatiku. Hanya itu saja alasanku. Perasaan yang aneh.
Beberapa hari setelah dia sembuh, dia kembali menulis untuk melanjutkan novel itu. Aku bahagia. Setidaknya aku akan segera membaca novel itu.

***

Siang itu aku pulang dengan kondisi yang sangat melelahkan. Semua ini disebabkan aktivitas di kantor. Naiknya pamor perusahaan tempat aku bekerja menyebabkan aku harus mengikuti meeting dengan beberapa klien perusahaan dalam seharian, yang kemudian hasil meeting itu harus segera aku ubah menjadi rencana anggaran ini dan itu. Akan tetapi suasana hatiku malam itu menjadi berubah ketika wanita itu atau istriku mengatakan bahwa dia telah menyelesaikan novel terbarunya. Dia mengatakannya ketika menyambut kehadiranku diruang tamu.
“Aku telah menyelesaikan novel terbaru”
“Sungguh?” tanyaku tak percaya.
“Yah, kau bisa membacanya malam ini” katanya sambil mengangguk.
Saking bahagianya, aku peluk wanita itu atau istriku dan segera aku pergi ke ruang baca. Kudapati laptop yang tengah menyala itu. Mataku pun segera menyusuri kata demi kata. Novel ini tak kalah dengan cerita-cerita yang lain. Tetap magis dengan gaya kesusastraan tingkat tinggi. Gaya bahasa yang begitu aku kenal, ide cerita yang brilian, aku begitu mencintainya, aku begitu mencintai karya-karya sastra istriku, sekali lagi hanya karyanya bukan pribadinya.
Aku terus membaca novel itu. Sampai aku pun terasa terbawa ke dunia lain, aku terasa hidup mengikuti alur cerita dalam novel itu dan akhirnya aku pun terpikat oleh wanita lain. Seorang wanita yang hambir ribuan kali namanya disebut-sebut dalam novel itu. Wanita yang membuat aku terus membaca novel itu hingga imajinasiku semakin menyala dengan liarnya.
Wanita itu bernama Melisa. Wanita yang diceritakan dalam novel karya istriku itu. Kini mimpi-mimpiku tidak lagi tentang cerita-cerita magis, melainkan tentang wanita bernama Melisa. Semua kini telah berubah, aku justru tergila-gila tentang wanita bernama Melisa. Wanita hasil imajinasi istriku. Entah bagaimana wanita itu mulai memasuki mimpi-mimpiku. Bahkan jauh dari yang pernah aku bayangkan. Kami berdua begitu bahagia dalam dunia kami. Dunia mimpi kami. Dunia yang jauh lebih indah. Yang jauh dari dunia nyataku, yang jauh dari kehidupanku, dan yang jauh dari istriku. Dunia yang hanya milik kami berdua saja, aku dan Melisa. Sedangkan wanita itu atau istriku tetap saja menjadi penganggu kebahagiaan kami. Menganggu mimpi-mimpi kami dengan suara-suara yang membangunkanku untuk segera berangkat ke tempat kerja.
Mimpi-mimpi itu membuat aku menunggu hadirnya malam. Aku tak sabar untuk segera terlelap dan bertemu dengan Melisa. Aku tergila-gila dengan wanita itu. Wanita yang diciptakan dari imajinasi istriku kini benar-benar menjadi wanita impianku. Sungguh sulit dipercaya.

***

Berulangkali aku memastikan sikap istriku yang mulai terlihat tak biasa, mungkin dia mulai menyadari juga kenyataan bahwa aku tidak mencintainya. Gelagatnya selalu menunjukan rasa curiga, seolah-olah memastikan aku tidak berhubungan dengan wanita lain. Sepulang dari kantor, dia selalu memeriksa barang-barangku secara diam-diam meskipun aku tahu tapi aku berpura-pura tidak tahu. Jika aku pulang agak terlambat karena harus menyelesaikan laporan ke kepala bidang pun dia dengan sengaja menelpon ke kantor. Aku tidak tahu persis apa yang ingin diketahuinya, tapi mungkin dia hanya memastikan bahwa aku tidak bersama wanita manapun dikantor. Aku membiarkan semua hal yang dilakukannya meski aku mulai sedikit risih dengan hal-hal yang menunjukkan rasa penuh kecurigaan itu.

Barangkali dia sudah lelah dengan semua sikap dan perilakuku terhadap dirinya. Ketika kutemui dia dikamar, wajahnya begitu muram. Meski aku tak terlalu mengenalnya, tapi aku tahu perilakunya itu tak biasa. Mungkin saja dia sedang marah. Inilah kemarahannya. Sebetulnya aku tidak ingin mengajaknya bicara namun dia sendiri justru yang memulai pembicaraan kami malam itu. Percakapan melelahkan yang membuat aku mengakui perasaanku yang sebenarnya.
Matanya mulai merah dan sembab, aku die telah menangis dan kini dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan air mata itu lagi.
Dengan suara serak, ia berusaha berteriak. “Siapa wanita bernama Lisa itu?”
Aku diam saja.
“Aku mendengar kau sebut-sebut nama itu ratusan kali dalam tidurmu! Katakan siapa wanita itu!”
Aku tetap diam saja.
“Hampir tiap malam kau mengigau menyebut L-I-S-A!” katanya dengan suara nyaring. “Siapa wanita itu? Katakan padaku siapa gadis itu!” tambahnya sambil disertai isak tangis.
“Lisa itu Melisa, wanita dalam imajinasimu, wanita dalam novelmu”
“OMONG KOSONG! Wanita itu tidak nyata!”
“Tapi dia nyata bagiku!” teriakku. “Dia sangat nyata bagiku! Dia hidup! Aku begitu mendambakan wanita itu hidup dalam mimpiku selamanya! Aku begitu memimpikan gadis itu”
“Bohong!”
“Aku tidak bohong! Dan aku tidak pernah berbohong!” kataku sambil menatapnya “Seandainya kau ingin aku jujur. Aku tidak pernah mencintaimu, aku hanya mencintai karya-karyamu, tulisan-tulisanmu, puisi-puisimu, cerpen-cerpenmu, novel-novelmu, juga Melisa atau L-I-S-A!”
Sejenak dia hanya terdiam mendengar kata-kataku.
“Itukah perasaanmu padaku selama ini?”
“Yah” jawabku dengan tegas. “Maafkan aku”
Dia kembali menangis dan pergi ke ruang baca. Disana dia terus menangis. Hingga suara tangisnya yang begitu sendu memecah keheningan malam setelah pertengkaran mulut yang terjadi diantara kami, pertengkaran mengenai Melisa dan perasaanku yang sebenarnya. Dia tidak kembali lagi kekamar sampai tengah malam. Bahkan malam itu, ketika aku bertemu dengan Melisa dalam mimpiku, dia juga terlihat begitu sedih. Seolah-olah dia akan pergi jauh dan tidak kembali. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya tidak sedih. Namun Melisa tetap sedih bahkan dia menangis. Aku pun begitu sedih melihat dia menangis. Aku tak mampu berkata-kata. Aku terus menghiburnya. Hal yang aku inginkan hanya melihatnya tersenyum seperti biasanya, hanya hal itu yang paling aku harapkan dari mimpiku yang singkat ini agar mimpi ini tidak menjadi mimpi terburuk dalam hidupku.
Kali ini yang membangunkanku bukan lagi suara-suara wanita itu atau istriku. Melainkan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku. Aku lihat jam dinding yang ada dikamarku. Sudah pukul sembilan, pikirku. Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Hari ini aku memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Perasaanku terhadap Melisa dalam mimpi begitu mempengaruhiku. Dia terlihat begitu sedih. Sungguh mimpi yang sangat buruk. Namun kali ini aku telah kembali ke dunia nyataku.
Aku mencari-cari wanita itu atau istriku. Mungkinkah dia meninggalkanku setelah kejadian semalam? Aku mencarinya kesetiap ruang rumah kami. Kali ini aku periksa lemarinya. Aku pastikan kali ini, dia benar-benar telah pergi.


Hari ini, aku hanya ingin diam dirumah dan menunggu malam tiba. Aku menunggu saat yang tepat untuk bertemu dengan Melisa. Biarkanlah istriku meninggalkanku asalkan Melisa tetap hadir dalam mimpi-mimpiku. Sesaat malam tiba. Aku tenggelam dalam kasurku. Kini aku tidak lagi membagi kasur ini dengan wanita itu atau istriku. Aku berharap mimpi itu datang, bersama dengan datangnya Melisaku tersayang. Namun sungguh sangat membuatku kecewa. Malam ini Melisa tidak bisa datang dalam mimpiku. Sungguh menyesakkan. Apa yang telah terjadi padamu. Oh, Melisaku tersayang?
Ketidakhadirannya dalam mimpiku membuatku terbangun. Hanya sekilas wajahnya yang terlintas dalam benakku, saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Saat-saat dimana dia terlihat begitu sedih. Aku mencintai Melisa. Kekasihku yang hidup dalam kata-kata. Wanita hasil imajinasi istriku. Wanita yang ada dalam novel hasil karya isteriku. Aku begitu mencintai tulisan-tulisan isteriku. Sekali lagi hanya tulisan-tulisannya bukan pribadinya. Sungguh aneh, tapi memang begitulah.


Berhari-hari sudah aku jalani kehidupan tanpa Melisa dalam mimpi-mimpiku. Dia tidak pernah kembali setelah malam itu, begitu pula wanita itu atau isteriku. Melisa pergi tepat disaat isteriku pergi. Sepulang kerja tidak adalagi masakan diatas meja makan. Ketika malam tiba, tidak ada lagi wajah lugu milik Melisa. Aku pun tak pernah lagi mendengar bunyi gerakan jari-jari yang menghentak-hentak pada tuts-tuts keyboard laptop. Aku juga tak pernah melihat senyum Melisa atau cerita-cerita magis dalam mimpiku seperti dulu. Hatiku begitu sakit merasakan semua itu. Seolah-olah sebuah anak panah ditusukkan tepat mengenai dadaku. Begitu sakitnya sampai membuatku menangis setiap malam. Sampai aku sadari satu hal. Aku tak hanya merindukan Melisa, tetapi juga wanita itu atau istriku. Penyesalan itu datang seiring dengan adanya bisikan-bisikan, ketika engkau mencintai sesuatu maka engkau juga harus mencintai sang penciptanya.
Aku pun menangis. Kali ini aku benar-benar menangis. Aku tak hanya mencintai tulisan-tulisannya, puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, novel-novelnya, ataupun Melisa tetapi aku juga mencintai isteriku. Aku menyesal, menangis, dan patah hati.

01:04
Y. 07. 04. 10

Senin, 05 April 2010

Tidak lagi tentang Rumah Pasir kami


Angin yang menerpaku seolah-olah ingin membisikan bait-bait lagu alam. Deru ombak dan percikan air yang membentur bebatuan. Langit yang luas memayungi kami. Sinar matahari memancar bergulat dengan biru lazuardi sang awan. Keindahan alam yang penuh inspirasi.

Meski tempat ini tak lagi menjadi asing bagi kami. Semua menikmati keindahannya. Kreasi tuhan yang membuat bibirku berdengung mengucapkan “Subhanallah” berulang kali. Aku sangat menikmati keindahan tempat ini (sejak dulu).

Ditempat ini pula biasanya aku membangun rumah pasir kami. Ternyata kali ini aku tak membangun rumah pasir kami. Biasanya aku membuatnya bersama teman-teman yang lain. Membangunnya sedikit demi sedikit. Entah karena apa kali ini aku tak membangunnya, bahkan tak ingin untuk melakukannya. keadaan kami pun telah lama berubah. Tak lagi kanak-kanak yang memandang pasir itu sebagai sebuah lahan bermain. Kami datang kembali kepantai ini tak lagi sebagai seorang anak manusia yang baru saja terlahir, tapi sebagai seorang manusia (yang tumbuh) dan masih ingin menikmati pasir seperti dulu kami menikmati pasir seperti membangun rumah pasir kami.

Sepulang dari pantai aku membereskan pakaianku yang penuh dengan pasir, ibuku berulangkali mengeluhkan bahwa pasir itu mengotori kamar mandi rumah kami. Maka aku merasa bertanggung jawab untuk membersihkan semuanya. Aku menatap butiran pasir yang ada disudut-sudut kamar mandi, baru pagi tadi aku merasakan keindahan jutaan pasir yang beradu dengan air laut. Tapi kali ini aku merasakannya bukan sebagai keindahan tapi sebagai kotoran. Sebuah kontradiksi.

Hingga aku pun menyadarinya keindahan pasir itu hanya mampu terasa karena ada berjuta-juta butir pasir. Terhampar dengan bebas dan menyatu dengan alam.

Karena hanya sebutir pasir saja takkan pernah berarti, menjadi sebutir pasir tak akan mampu memberikan keindahan selayaknya jutaan pasir yang terhampar di pantai. Aku terdiam. Begitulah. Kadang kebersamaan itu menjadi sebuah keindahan tersendiri.^^

Y.XX.11.09