"Lubuk hati manusia itu dalamnya tiada terduga-duga.
Kita sangka sudah tiba pada dasarnya, akan tetapi masih lebih dalam lagi."
Barangkali tidak salah jika Mochtar Lubis mendeskripsikan perasaan perempuan
seperti itu dalam cerpennya yang berjudul "Perempuan". Mungkin
begini, kebanyakan perempuan memilih untuk memaafkan laki-laki yang
sangat dia cintai meskipun sudah berkali-kali disakiti tapi tidak laki-laki.
Bisa saja seorang perempuan menunggu sang Kekasih sampai puluhan tahun tanpa ada
laki-laki lain disisinya, tetapi sulit bagi seorang laki-laki jika hanya hidup
dengan menanti satu perempuan saja sepanjang hidupnya. Saya katakan sulit,
bukan berarti tidak mungkin. Saya baru paham hal semacam ini setelah akan
menikah, karena seringnya laki-laki itu kelimpungan setengah mati jika harus
menghadapi hasrat seksualnya yang tinggi, yang mana sebetulnya merupakan
anugerah tiada tara yang pernah diberikan Tuhan kepada manusia-para lelaki, hal
yang patut mereka syukuri.
Bulan Desember ini, kota Yogyakarta menjadi semakin sulit dikenali. Terkadang
hujan deras, namun hawa tetap panas. Terkadang langit terang, namun hujan
datang tiba-tiba. Terkadang langit begitu mendung, namun rintikan hujan tak
kunjung datang. Saat itu pula, entah mengapa jalan hidup ini juga semakin sulit
dikenali. Kita tentu harus pandai mengenali diri sendiri sama seperti kita
mengenali kehidupan kita. Namun ternyata membaca kehidupan itu lebih sulit dari
yang pernah aku duga. Hujan deras telah berlalu, kini yang bersisa hanya
rintikannya saja. Jika bukan karena hujan, mungkin aku tak akan punya waktu
untuk berbicara dengan perempuan cerdas yang ada dihadapanku ini, Pembicaraan
kami bermula karena menunggu hujan reda, sehingga kami dapat pulang ke rumah
tanpa perlu berbasah-basah.
Awalnya aku menceritakan kepada perempuan itu bahwa mungkin aku
akan segera menikah. Dia sama sekali tidak kaget bahkan tidak terlalu antusias.
Seolah-olah dia membaca keraguanku akan keputusan untuk segera menikah.
Perempuan itu sudah berkepala tiga dan masih belum menunjukkan tanda-tanda
keinginan untuk menikah. Ada sekelumit penasaran dalam kepalaku tentang
keputusannya itu. Dia cantik dan menarik, aku bisa melihat dari kepribadiannya
ketika pertama kali bertemu, tidak akan terlalu sulit untuk mencari laki-laki
yang mau dengannya.
Kemudian dia melayangkan imajinasinya tentang pernikahan dan
apapun yang dia benci tentang laki-laki yang selalu menjadikan pernikahan
sebagai hal menyelamatkan mereka dari kebutuhan seksual. Hanya saja memang dia
perempuan aktivis sekaligus aktivis perempuan. Dosenku pernah menjelaskan
secara detail tentang apa perbedaan 'perempuan aktivis' dan 'aktivis
perempuan'; perempuan bisa sekaligus menjadi keduanya jika mereka
memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita, tetapi laki-laki bisa menjadi
aktivis perempuan jika mereka mau. Lagi-lagi gender.
Kami pun membicarakan tentang kasus seorang penulis
sekaligus sastrawan yang terlibat skandal dengan mahasiswinya yang sedang
menulis tugas akhir di kuliah yang kebetulan tentang karya sastranya. Kemudian
sastrawan itu justru memanfaatkan mahasiswi itu. Begitulah yang ditulis di
koran-koran online dan majalah bulanan. "Kenapa mahasiswi itu mau ya?
Bukankah dia sudah tahu bahwa sastrawan itu sudah beristri apalagi beranak pinak?"
tandasku menanggapi obrolan kami.
"Sastrawan itu pasti mempesona bagi dunia mahasiswi
yang masih terlampau hijau itu" jawabnya dingin.
"tapi tetap saja, melibatkan hubungan seksual hanya
demi pengalaman penting dalam hidup tanpa ada komitmen yang jelas? aku tak
pernah mau mengorbankan diri sejauh itu?" Lebih jauh lagi, agama
melarang itu dengan jelas. batinku.
"Begitu ya? Masa' sih?"
Aku hanya diam saja melihat mukanya yang masam.
"Aku pernah mengalami hal yang sama seperti mahasiswi
itu. tapi pengalamanku tak berakhir seburuk itu. tetap saja itu buruk dalam
perjalanan hidupku".
Perempuan adalah makhluk yang mengandalkan emosinya. Jelas
sekali bahwa dia tidak akan melakukan hal-hal tertentu yang membahayakan
kehidupannya jika dia tidak mengalami hal yang menyeret emosinya lebih dalam.
Sedalam apa? itulah yang masih menjadi pertanyaan bagi saya, yang mana seorang
perempuan dan juga Mochtar Lubis yang seorang laki-laki yang sangat ingin
mengerti tentang perempuan.
Saya sebetulnya tidak heran mendengarnya berkata demikian.
Pengambarannya sudah sangat jelas, dia seorang perempuan yang berasal dari
keluarga yang memiliki budaya patriaki tinggi. Menjadi resisten, feminist dan
frontal sedemikian rupa pasti merupakan wujud sikapnya acuh tak acuh terhadap masyarakat
yang menekan dan melibatkan emosinya begitu dalam.
"Barangkali Direktur sendiri akan kaget jika mengetahui
aku pernah menjadi perempuan simpanan" sambungnya dengan penuh kemenangan.
"akan lebih baik jika tidak ada yang mengetahui tentang itu di
kantor".
Bagaimana bisa? batinku sedikit penasaran.
"Laki-laki itu terlampau mempesona dengan segala yang
dimilikinya" lanjutnya. "Sehingga perempuan seperti aku, yang kala
itu masih polos dan lugu menjadi buta dan sangat rapuh--fragile."
Perempuan menyangkut pengalaman buruknya terkadang bisa
menjadi permisif jika melibatkan emosi yang mendalam.
"Sekarang kita analogikan dengan mahasiswi itu, kita
sama-sama setuju kan dia adalah 'korban'?"
"Ya, ya" jawabku yang berarti setuju bahwa dia juga
merupakan 'korban' dari laki-laki entah siapa.
"Begini, untuk mahasiswi yang baru akan lulus itu,
bayangkan saja jika sastrawan itu, si predator itu, membawanya ke sebuah acara
khusus untuk para penulis-penulis terkenal seperti Goenawan Muhammad, Ayu
Utami, bertemu dengan orang-orang seperti itu--dia seperti berada diatas angin,
sambil bergumam 'betapa hebatnya laki-laki ini berkumpul dengan penulis-penulis
hebat; atau mengagumi dirinya sendiri sehingga mampu mendapat laki-laki hebat
dalam pelukannya kira-kira seperti itu"
"Ya aku mengerti"
"Dan perasaan seperti itu membuatnya lupa akan realitas
buruk yang dia akan alami"
"Dia tidak memikirkan resikonya?"
"Buta!"
"Ya seperti itu" kataku membenarkan analoginya.
"Aku dulu juga seperti itu, dibawa bertemu
kurator-kurator terkenal, datang ke pameran-pameran khusus dengan undangan VIP,
rasanya seperti diatas angin" Katanya dengan sedikit nada menyesal.
"Untungnya aku cepat sadar apa yang sebenarnya dia inginkan sebelum hal
buruk terjadi".
Aku hanya tertegun.
"Dia juga punya istri dan anak lho" tambahnya
"Hanya aku tidak tahu awalnya".
"Kok jadi tahu?"
"Aku telpon dia, dan istrinya mengatakan bahwa suaminya
sedang ada dikamar mandi" jelasnya "betapa kagetnya aku mendengar
perempuan itu menyebutnya dengan kata 'suamiku' kan?".
"Setelah itu kalian putus?" tanyaku.
"Enggak" jawabnya sambil meringis "dan itulah
kesalahanku sekaligus kebodohan, bermain-main dengan api".
Aku masih ingin tahu kelanjutannya, batinku.
"Kala itu dia begitu mempesona, dan sekarang begitu
menjijikan" katanya penuh kebencian.
Kata "menjijikan" itu menyiratkan akan makna lebih
dari sekedar kebencian. Dilukai, dikhianti dan terlebih lagi masih terus
menerus disakiti dan dipermainkan. Jika merunut apa yang diungkapkan Mochtar Lubis tadi. Sampai tahap apa sebetulnya emosinya telah disentuh
laki-laki itu, mengapa begitu traumatis?
Lamunannya melayang jauh. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu tentang pernikahanku.
"Aku bahagia jika akhirnya kamu memutuskan untuk
menikah dengan laki-laki baik itu. Sebetulnya begini, seorang laki-laki datang
menyatakan diri untuk mengajakmu menikah itu sudah cukup baik"
"Maksudnya?"
"Sebab setiap diri laki-laki itu ada sifat predator
terhadap perempuan seperti sastrawan itu. Ketika laki-laki itu menikah, berarti
dia sudah mengakhiri pemburuannya ketimbang laki-laki yang terus menerus
menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan yang mereka sukai tanpa ada ikatan
yang pasti, terus mengincar perempuan-perempuan. Itu sebabnya lelaki yang
memutuskan menikah itu adalah lelaki yang memiliki niat baik dan ingin
bertanggungjawab, he's good enough" katanya mengakhiri
pembicaraan diantara kami.
And good enough is good enough, pikirku.
M.
Yogyakarta, Desember 2013