Kamis, 22 November 2012

Membaca Adora Svitak: An Inspiring Girl

Adora Svitak adalah seseorang yang akhir-akhir ini memberi saya inspirasi, sering juga dipanggil dengan sebutan "a tiny literary giant". Dia adalah seorang anak muda Amerika yang baru berumur 15 tahun dan telah menulis begitu banyak karya mulai dari tulisan feature, puisi, atau esai baik di blog pribadinya (http://adorasv.blogspot.com/ dan http://www.adorasvitak.com/) atau pun di media massa, tulisannya mulai di publish dalam bentuk buku sejak dia berumur 7 tahun berjudul Flying Fingers (kumpulan cerita pendek yang berisi tips dan petunjuk untuk penulis) dan Dancing Fingers (buku koleksi puisi yang ini dibantu oleh saudari perempuannya bernama Andrianna). Sedangkan dia mulai mengenal dunia menulis sejak umur 4 tahun! 



Apa yang sebetulnya yang dilakukan Adora? 

Adora adalah tipe anak yang memiliki kemampuan cepat dalam menulis, dia bisa menulis antara 80-112 kata per menit, membaca 2-3 buku per hari, dan menulis sekitar 330.000 kata per tahun. Adora begitu percaya diri dengan melihat dirinya sebagai "pendidik, penyair dan kemanusiaan," tetapi bagi orang-orang di seluruh dunia dia hanyalah seorang anak dengan otak orang dewasa dan jadwal harian yang melelahkan bahkan sering tidak berakhir sampai 11 malam. Dia betul-betul tidak ingin membatas dirinya sendiri untuk terus berkarya. 

Pertama kali saya mengetahui tentang Adora ketika kebetulan menyaksikan video TED dia menjadi pembicara dengan judul “What Adult can Learn from Kids?”. Kala itu dia baru saja berumur 10 tahun, tetapi sudah bisa tampil dengan sangat percaya diri di acara seprestisius TED dihadapan beribu orang-orang yang notabene intelektual dan berpengalaman. Bahkan saat ini dia juga sudah memiliki kolom pribadi di media massa sekaliber Huffington Post Teen dan banyak menuliskan bermacam-macam esai (adora-svitak di huffington). 



Tentu saja ini membuatku semakin iri. Kemana saja saya saat sedang berumur 4 tahun? 10 tahun? Atau bahkan 15 tahun? 

Dulu ketika kita masih muda, banyak hal yang ingin kita lakukan namun kita justru menunda dengan dalih “Ah, nanti saja kalo sudah besar atau dewasa”, sementara begitu kita tumbuh besar dan dewasa cita-cita itu sedikit demi sedikit menjadi luntur dan terlupakan. Selama ini, kita memang selalu menyembunyikan diri dibalik topeng “anak-anak” karena orang dewasa selalu menghambat anak-anak untuk tidak terlalu banyak bertingkah, beraktivitas, berekplorasi atau berpetualang, sehingga anak-anak merasa minder dan begitu mudah tergantung dengan orang yang lebih tua. Adora membuka mata saya bahwa dunia anak-anak itu tidak seharusnya dibatasi tetapi dibimbing, mereka juga harus diberikan kebebasan untuk berekplorasi atau bahkan berkarya. Adora meyebutkan dengan istilah “the oppression of attention”, kekhawatiran dan pembatasan perhatian yang terlalu berlebihan dari orang tua terhadap anak-anak yang dikritik oleh Adora, “So how do people grow up in ways that minimize conflicting feelings of independence desired versus dependence missed? Perhaps as the children start to fly from the quintessential "nest," parents can find some new "children" of sorts to lavish attention on”. Karena larangan-larangan yang berlebihan dari orang tua yang posesif terhadap pehatian sang anak terkadang justru menimbulkan konflik batin bagi sang anak yang menyebabkan anak tersebut justru menjadi pasif atau pemberontak. 


Tetapi tentu saja, apa yang di raih oleh Adora tidaklah terlepas dari jasa kedua orang tuanya terutama ibunya yang mendorong Adora untuk bisa berprestasi sedemikian hebatnya. Adora Svitak bersekolah dasar dengan ibunya. Hasil pendidikan ibunya tersebut memang luar biasa, pada umur 11 tahun Adora bukanlah lagi seorang murid dia bahkan menjadi guru. Dia mengaku orang tuanya memang tidak tanggung-tanggung dalam memberikan bahan buku bacaan bagi Adora. Dia pun melahap berbagai macam jenis buku, seolah-olah buku itu adalah perman atau coklat bagi anak-anak pada umumnya. Sejak mengetahui kesukaan dan bakat Adora dalam hal menulis dan kritis berpendapat, ibarat gayung bersambut, kedua orang tuanya segera saja memberikannya laptop pribadi untuk menyalurkan bakat yang ada dalam diri Adora. 

Memang selalu ada pertanyaan seperti: apakah akan ada masalah ketika dia menjadi tumbuh dewasa? Dimana dia harus mulai berbaur dengan masyarakat normal dan mulai menjalani masa remaja selayaknya. Setiap orang tentu mempunyai masalah masing-masing. Tetapi apa yang dia lakukan di masa muda memberikan banyak inspirasi bagi saya, bahkan kini dia aktif dalam berbagai kegiatan social-activism dan menjadi pembicara untuk anak muda diberbagai tempat di dunia dan mempromosikan kebiasaan membaca dan mencintai literatur (interview with adora). So, nobody can stops you to be creative or productive person, not even age or others people

Semoga tulisan ini juga memberi inspirasi. Selamat Berkarya! ;) 

M. 


Yogyakarta, November 2012.

Rabu, 21 November 2012

Reading: The Harsh Realities of Life

You may ask, can we face reality? can we do the right thing? All of those questions always make us worry, even learn to face reality can spend more time doing something constructive about things that you have control over.


Akhir-akhir ini aku sering datang ke pengadilan negri dan entah mengapa suasana di pengadilan selalu membuatku semakin dekat dengan pahitnya realitas. Orang-orang berlalu lalang, sibuk kesana kemari dengan wajah yang penuh kegelisahan. Sikap itu ditunjukkan dengan beberapa orang yang sibuk mengecek hp, membolak-balik berkas-berkas penting, kulihat juga seorang lelaki disudut ruang tunggu tak henti-hentinya merokok demi menghilangkan kecemasannya yang tak kunjung reda. Belum lagi beberapa polisi yang berjaga-jaga dengan membawa senjata berdiri dengan wajah serius di depan pintu masuk pengadilan. Suasana seperti ini memang selalu penuh dengan tekanan. 

Hari ini aku juga harus mengikuti monitoring persidangan di salah satu pengadilan negri di provinsi DIY. Paling tidak sedikitnya aku harus mengikuti lima kali persidangan dan meminta tanda tangan pak Hakim sebagai bukti bahwa aku telah mengikuti jalannya persidangan. Ini membuatkan sering berada di Pengadilan menunggu untuk beberapa jadwal sidang yang kadang juga tak pasti dan bolak-balik untuk mengurus berkas. 

Aku sendiri sudah hampir satu jam menunggu dimulai persidangan perkara perdata yang pertama, persidangan perkara perdata harus selalu menunggu ruang sidang kosong sampai persidangan perkara pidana selesai, bagaimanapun aspek publik harus lebih penting daripada aspek privat. Hasilku bertanya informasi sana-sini, sidang selanjutnya mengenai perbuatan melawan hukum tentang perkara waris dan sengketa tanah. Perkara perebutan harta warisan memang selalu banyak melibatkan penggugat ataupun tergugat. Hari itu yang berperkara adalah kakak yang menggugat adiknya mengenai objek waris yang belum dibagikan akan tetapi si adik sudah menjadikan jaminan agungan kredit di suatu bank. Hal itu terjadi atas inisiatif dari pengurus bank terkait. Persidangan berlangsung cukup menarik karena masing-masing pihak menghadirkan saksi yang memberatkan. 

Hari yang sama, aku mengikuti persidangan perdata terakhir di PN berupa pemohonan. Dua orang perempuan sama-sama datang ke PN memohon atas perwalian anak mereka untuk mengurus harta warisan peninggalan sang suami. Awalnya aku tak paham mengapa kedua perempuan itu memberikan saksi yang sama untuk dikabulkannya permohonan tersebut. Bahkan pak Hakim pun juga heran, ternyata mereka adalah istri pertama dan kedua yang sama-sama tinggal di desa yang sama meskipun rumahnya berbeda. Dengan sedikit guyonan sambil melirik ke arahku yang memang sedikit terkejut kalau mereka memang perempuan-perempuan yang telah dipoligami, pak Hakim berkata, “Ini pasti almarhum suaminya ganteng ya? Sampai bisa punya dua istri dan tinggal di kampung yang sama dengan rukun, bahkan mbaknya mahasiswa sampai terheran-heran”. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi apa kata pak Hakim. Aku bahkan memastikan bahwa kedua perempuan tersebut merupakan istri yang sah atau bukan hasil nikah siri dan memang mereka dinikahi dengan sah, ada bukti surat pernikahan yang ditinggalkan. Bagiku, pemandangan yang jarang melihat dua perempuan rukun hasil dimadu, terkadang ada sinisme dalam hatiku, jangan-jangan mereka rukun hanya saat pembagian harta warisan saja tidak di kehidupan sebelumnya. 

Beberapa hari sebelumnya aku pun sempat mengikuti persidangan gugatan perdata mengenai perkara perceraian. Begitu banyak orang menginginkan pernikahan tapi disisi lain banyak pula yang justru berakhir dengan perceraian. Meski persidangan berakhir dengan adanya upaya damai dari pihak penggugat (suami) namun tetap saja mengirimkan surat gugatan perceraian juga sudah ada niat untuk bercerai. Akhir-akhir ini aku juga banyak berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang berkaitan dengan berkas-berkas perceraian di Hukum Acara. Beberapa hal memang memberiku banyak pelajaran bahwa pernikahan itu bukan hanya berdasarkan perasaan. Cinta saja tidak akan pernah cukup untuk membangun sebuah keluarga. Sifat manusia yang begitu mudah berubah, lupa, dan terlena dengan apa yang mereka miliki menjadikan komitmen begitu penting untuk menjaga keutuhan sebuah hubungan. 


Inilah yang aku katakan dengan pahitnya realitas, hanya demi harta antara kakak-adik saling bersengketa. Padahal mereka berasal dari rahim yang sama, seolah-olah tak ada lagi hubungan darah itu. Atau mengenai perkara perceraian dan poligami, yang memang terasa pahit dan begitu enggan kita membicarakan hal-hal semacam itu meskipun kita juga tahu bahwa hal semua itu bukan hanya cerita bualan, semua itu adalah hal yang mungkin terjadi di kehidupan kita. Meski yang aku ceritakan itu bukan merupakan realita yang harus aku hadapi. Sebetulnya ada banyak hal lain yang harus aku hadapi dan memaksaku untuk berubah. Nobody likes to admit that it is time to change behaviours and attitudes. Yet the time comes where wisdom demands that we acknowledge that what we are doing is not generating the results we want. This is especially true when we know what works because we were doing it long enough to see it work. Yet, out of laziness and foolishness, we stop doing what works and the results we worked so hard to achieve gradually melt away. Semakin kita dewasa semakin kita tahu bahwa hidup tidak akan pernah bisa datar-datar saja. Masalah akan selalu ada. Kita tak akan pernah menyangkal bahwa terkadang pahitnya realita itu adalah bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. This is the reason why I’m still nervous to face reality. Reality does sucks. But here's the things is looking at reality does not mean giving up hope. It's where you find hope in what you can change...and not trying to change others.

M.
Yogyakarta, November 2012.

Jumat, 02 November 2012

Be strong!


When life seems grey~
Give a little colour,
imagine your dreams then
keep going and don't give up :)

M.
Yogyakarta, November 2012.


Kamis, 01 November 2012

Welcome November Rain

Di akhir bulan ini hampir setiap hari hujan turun. Kini sudah mulai memasuki November. Dan bulan ini memang selalu identik dengan hujan. Kadang hujan itu menyenangkan, kala udara dingin senyap yang diam-diam memelukku. Irama air menetes dan aroma tanah yang begitu segar menerobos kerongga-rongga hidungku. Langit kelabu membawa suasana seolah-olah sendu namun begitu menenangkan hanya bunyi rintikan air yang terus saja berirama. Seolah-olah irama rintikan itu terus memanggilku. Tik..tik..tik... 

Hujan mengingatkanku pada satu momen tertentu dalam hidupku. Dimana saat itu aku masih amat sangat muda. Kelas 1 SD, sekitar umur 6 tahun, aku selalu memperkenalkan diri dengan nama T-I-K-A. Karena nama itu teman-temanku gemar sekali menggodaku dengan sebuah nyanyian anak-anak. Tik, tik, tik bunyi hujan diatas genting... Begitulah kira-kira salah satu liriknya. Maka teman-temanku yang usil, mereka seolah-olah hendak menegurku, “Tik! Tik!”. Kemudian ketika aku memalingkan muka kearah mereka tiba-tiba mereka kembali menyanyikan lagu itu, tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua. Argh! Tentu saja aku kesal. Namun semua itu nampak lucu sekarang. Menggelikan. Mengesankan. 

Kini hanya orang-orang dekat saja yang memanggilku dengan nama Tika. Tidak banyak tapi justru itu membuktikan kedekatanku dengan mereka. Kebanyakan dari mereka yang memanggilku dengan nama itu, tentu tahu tentang nama kecilku. Nama kesayangan pemberian orang tua. Nama itulah yang terkadang aku rindukan. Oleh sebab itu aku selalu merasa hujan itu terus memanggilku. Seolah-olah kami begitu dekat. In this very moment, I choose to focus on the good feelings of rain. It provides a warm sense of security. Because rain is water and water is life. While there are mishaps caused by rain, rain as a metaphor is invariably life enriching. There is torrential downpour which destroys, but mostly rain is revered because it is a necessary component of growth.

Dulu hujan selalu membuatku menari-nari. Begitu menyenangkan bermain-main kesana-kemari tanpa memikirkan apapun. Tanpa mengkhawatirkan apapun. Tanpa ekspektasi. Kini enam belas tahun kemudian, bulan November menjadi bulan yang semakin penuh misteri. Dan nasibku pun akan ditentukan oleh bulan ini. Aku diam-diam selalu memohon. Berdoa dalam hati kecil. November, jadikanlah semua momen di bulan ini menjadi lebih baik. Less worries. Less impulsive. Less pressure. Hujan di bulan November antarkan aku pada impian-impian itu...

Di telingaku, hujan terus memanggilku dengan nada lagu itu, tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua... 


M. 
Yogyakarta, hujan di awal bulan November 2012.

Senin, 29 Oktober 2012

Tentang Sekaleng Susu yang Selalu Membawa Ingatanku Padamu

Sudah sejak kecil ibuku memberikan sekaleng susu ini setiap kali aku merasa tak enak badan. Namun kenangan tentang ibuku kini telah berubah menjadi kenangan tentangmu. Suatu malam, suhu badanku naik drastis. Tubuhku padu dengan kasurku yang selalu terasa empuk. Aku balut badanku dengan selimut-selimut tebal. Dalam keadaan seperti ini Ibu selalu datang memberiku sekaleng susu. Melihat susu kaleng itu ingatanku melayang padamu. Demamku yang semakin tinggi membuat bayanganmu muncul begitu saja dikepalaku. Senyum itu. Tak pelak aku pun mulai meracau tentangmu.

Kala itu kita berada di sebuah Mall. Wajahmu yang kemerahan menahan demam yang semakin tinggi. Namun tetap saja kau masih bersamaku malam itu. Dan sekaleng susu itu, entah bagaimana bisa berada di dalam tasku. Ku berikan sekaleng susu itu kepadamu. Aku pun memintamu untuk meminumnya. Mungkin saja badanmu akan terasa lebih baik. Kau menatapnya lekat-lekat sebelum kemudian mengenggam erat susu kaleng itu. Tersenyum dan "Cut!" Sampai disana, aku begitu menikmati senyum itu. 

Pada akhirnya memang kau meminum susu kaleng itu dengan sedikit terpaksa. Episode itu ingin selalu kuingat. Hanya saja. Kenangan itu kini mulai samar-samar. Waktu yang telah mengikis ingatanku. Tak apalah, ini tentang sekaleng susu yang selalu membawa ingatanku padamu. 


M. 
Yogyakarta, Oktober 2012.

Minggu, 28 Oktober 2012

Reading : Contemplation

Kemana sajakah kau beberapa bulan terakhir ini? 
Sudah terbangunkah dari tidur-mu yang panjang itu? 

Aku membaca koran-koran itu setiap hari. Berbagai peristiwa dan fenomena terus berubah seperti pementasan wayang non-stop 24 jam. Aku tidak tidur dan tidak pula benar-benar sadar akan apa yang terjadi. Aku hanya merasa seperti zombie yang terus bergerak sama. Tapi pikiranku tidak benar-benar mati. Layaknya menyaksikan pertunjukkan tanpa sedikitpun ingin menjadi bagian dari pertunjukkan itu. Aku membiarkan diri melayang sejenak namun berusaha untuk tetap berpikir: lalu munculah kata 'kontemplasi' itu. Semua orang butuh berkontemplasi, menenangkan diri barang semenit kemudian beranjak. 


Apa yang sebetulnya terjadi diluar sana? 

Para sosiologis sibuk membicarakan zaman macam apa yang sedang kita hadapi. Para sastrawan sibuk merangkai kata-kata yang mampu melukiskan fenomena demi fenomena yang ada di masa ini. Para ilmuwan sibuk mengutak-atik rumus-rumus untuk memecahkan misteri-misteri kehidupan yang tak kunjung terpecahkan. Para ahli hukum sibuk mendefinisikan keadilan macam apa lagi yang harus ditegakkan di dunia ini. Para dokter sibuk menemukan obat-obat ajaib untuk memusnahkan penyakit-penyakit yang semakin misterius. Para agamawan sibuk berdakwah perihal surga dan neraka yang semakin sulit dipahami oleh orang-orang di zaman yang semakin sekuler ini. Para politisi semakin sibuk meracau karena makin banyak orang ingin saling membongkar di zaman ini. 

Semua sibuk. Namun dimanakah aku diantara orang-orang yang sibuk itu? 

Padahal aku juga merasa sibuk. Aku merasa tak pernah berhenti bergerak tapi entah mengapa diriku dimataku seolah-olah serupa. Aku terus merenungi diri memandangi tabiat-tabiatku dimasa lalu. Melintasi setiap untaian ruang dan waktu yang telah terlewati. Apakah yang sudah terlewati itu? Melihat sekelilingku dan mendapati begitu banyak perubahan. Betapa waktu itu telah mengikis kehidupan. Sementara aku hanya berjalan ditempat yang sama dengan kondisi yang sama pula. Ataukah aku yang berjalan terlalu lambat? Hingga dunia ini terasa begitu cepat menggerakan waktu. Missing the achievements. Less productivity. Mungkin itulah yang menjadi jawabannya. 

Sudah saat untuk menggertak sebetulnya. Membangkit soul dalam diri yang sudah lama mati. 
Heh, BANGUN!

M.
Yogyakarta, minggu malam di akhir Oktober 2012.