Sabtu, 18 Mei 2013

Membaca Kota Melaka: Napak Tilas Kolonialisme Bangsa Eropa

Dalam setiap perjalanan itu selalu ada cerita dan wawasan baru yang menarik. Tak peduli seberapa singkatnya perjalanan itu. Saya beruntung bisa kembali mendatangi Melaka dan kali ini mempelajari lebih dekat tentang Kota bersejarah ini. Banyak hal menarik yang saya temukan. Tempat ini menyimpan masa lalu bangsa Asia Tenggara; potret kolonialisme bangsa Eropa. Tentang kenyataan adanya penjajahan terhadap bangsa Asia di masa lampau dan bukan hanya sekedar cerita-cerita yang pernah kita baca di buku-buku sejarah. 

Dulu saya sering mendengar nama Kota Melaka lewat buku-buku sejarah ketika di bangku SD atau SMP. Kota Melaka merupakan salah satu pelabuhan terpenting di kawasan Asia Tenggara pada zaman kolonial (sekitar abad ke 15), sebab merupakan tempat dimana kapal-kapal Portugis, Belanda dan Inggris transit sebelum akhirnya menuju pelabuhan-pelabuhan lain di wilayah Asia Tenggara. Selat Malaka sendiri hingga kini merupakan salah satu jalur pelayaran penting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Cina. 


pemandangan di Melaka (courtesy ICRS)
Melaka merupakan salah satu provinsi terkecil ketiga di Malaysia setelah Penang dan Perlis. Pemerintah setempat menjadikannya sebagai kota sejarah bahkan UNESCO telah menetapkannya sebagai salah satu World Heritage Site sejak tanggal 6 Juli tahun 2008. Hal itu karena kota ini memang menyimpan banyak hal-hal penting bersejarah terutama tentang masa Kolonial di kawasan Asia Tenggara. 

*** 

Pesawat kami mendarat sekitar pukul 20.00 waktu Malaysia (satu jam lebih awal dari WIB), 1 jam lebih lambat dari yang kami perkirakan. Rencana semula saya dan teman-teman ICRS ingin menikmati makan malam di Jonker Street, salah satu tempat kuliner di Kota Malaka. Namun rencana tersebut batal karena pesawat yang delay, maka malam itu kami harus puas menikmati menu nasi lemak dan ayam panggang di Bandara LCCT. Perjalanan yang harus kami tempuh dari LCCT ke Melaka sekitar 2 jam lebih. Sepanjang perjalanan toko-toko sudah mulai tutup dan jalanan terlihat sepi. Kami pun akhirnya tiba di kota Melaka sekitar pukul 22.00. 

Keesokan harinya, saya sempat berjalan-jalan menikmati kota Melaka, tempat pertama yang kami kunjungi adalah Stadhuys (dari kata State House atau Kantor Pemerintahan), semua bangunan disini ini sengaja di cat merah, konon hal ini karena kebanyakan etnis yang tinggal di tempat ini adalah orang-orang India, mereka gemar memakan atau mengunyah sirih kemudian membuangnya di sembarang tempat, untuk menutupi kotoran sirih tersebut kemudian orang-orang sekitar mencat seluruh bangunan dengan warna merah. 

Queen Victoria Fountain, Jam Gadang dan Dutch Square

Sedikit kearah barat terdapat Dutch Square, sebuah taman dengan kincir angin buatan nampak berdiri elok, diseberangnya sebuah tugu berukuran besar yang sekilas mirip Jam Gadang di Bukittinggi, Sumatera Barat. Terdapat pula air mancur yang diberi nama Queen Victoria Fountain tegak berdiri indah. Ketika saya tiba disana, Air mancur tersebut baru saja dinyalakan. Tugu air mancur ini sendiri dibangun pada tahun 1901 oleh Inggris ketika berada di Malaysia. tempat ini banyak membangkitkan imajinasi saya tentang zaman-zaman kolonial. Sangat terlihat bahwa Kesultanan Melaka saat itu cukup kooperatif dengan para pendatang. Simbol-simbol budaya Asia dan Eropa juga ditemukan dimana-mana seolah-olah di tempat ini telah bertemu orang-orang dari penjuru dunia seperti Kincir Air Belanda, Kapal Portugis, Gereja gaya Eropa, Pemakaman Cina, Jejak-jejak Laksamana Cheng Ho dan lain sebagainya. 

Disekitaran Malaka

Dari Jl. Merdeka, saya melanjutkan lagi perjalanan ke Portugese Wall, sebuah replika benteng Portugis. Disini saya menemukan kampanye unik anti perdagangan organ ilegal di Cina. Sebuah koran berbahasa Cina sengaja ditinggalkan secara gratis. Tentu saja saya tidak mengambilnya, karena sudah pasti saya tidak bisa membacanya. Isu perdagangan organ di Cina sempat terdengar santer di tahun 2009, tak menyangka bisa menemukan kampanye isu tersebut hingga sekarang. 

Museum Samudra merupakan replika dari ‘Flora de La Mar’, sebuah kapal Portugis.

Pemandangan di dalam the Maritim Museum atau sering disebut juga Musium Samudra

Selanjutnya saya menuju ke kawasan the Maritime Museum.Tempat ini unik karena berbentuk kapal dan merupakan replika dari ‘Flora de La Mar’, sebuah kapal Portugis yang tenggalam di lepas pantai Melaka saat dalam perjalanan ke Portugal dan membawa barang-barang jarahan dari Melaka. Kapal ini berukuran 34 meter, 36 meter panjang dan lebarnya 8 meter. Di dalamnya terdapat benda-benda terkait dengan peralatan kapal seperti senjata, mata uang, diorama momen penting di Malaka, replika cabin kapten kapal dan ada juga replika kapal-kapal yang pernah datang ke Malaka. Disini pula saya dapat memahami perbedaan bentuk dan ciri khas dari setiap kapal Portugis, Inggris, Belanda ataupun India. 

Dataran Sungai Melaka

Di dataran sungai Melaka sebelah barat Kincir Air Melayu, dibangun tempat jalan kaki pinggiran sungai yang terbuat dari kayu. Di sana disediakan bangku-bangku sehingga bisa menikmati pemandangan sepanjang sungai dan pantulan bayangan bangunan hotel Casa del Rio yang cukup indah dan romantis. Suasana ini tidak nampak seperti Asia, terkesan seperti berada di pinggiran Kota Kanal. Melaka sebetulnya mirip dengan Stasiun Kota Tua Jakarta, seandainya pemerintah Jakarta mau lebih serius, mungkin bisa ditata lebih indah dan bersih daripada Kota Melaka.

Melaka River Cruise

Beberapa pemandangan selama menyusuri Sungai Melaka
Saya juga sempat menikmati Melaka River Cruise dengan kapal Memee no. 26, kami menyusuri sungai Melaka. Pemandangan di kanan-kiri cukup menarik. Bangunan rumah-rumah gaya kuno masih tetap dijaga nilai historisnya, selain itu warga setempat juga menghiasinya dengan lukisan dinding (graffiti) yang memiliki nilai seni khas setempat. Sungai Melaka juga dibiarkan natural tetapi dijaga kebersihannya. Beberapa tempat dipinggiran sungai sengaja ditanami Mangrove yang menjadi tempat sarang Biawak. Saya sempat melihat beberapa ekor biawak diantara batang dan akar Mangrove. Sepanjang sungai kami juga melewati berbagai macam jembatan seperti Jambatan Hang Tuah, Jambatan Pasar, Jambatan Kg. Jawa, Jambatan Tan Kim Seng, dan Jambatan Old Bus Station. 

Arsitektur Istana Kesultanan Malaka (Sultanate Palace) berupa Rumah Panggung

Di dalam kompleks Istana Kesultanan Malaka

Di kompleks Istana Kesultanan Malaka (Sultanate Palace) sendiri merupakan replika istana Kesultanan Melayu, bangunan museum ini mirip sekali dengan rumah panggung yang ada di Sumatera. Hal ini semakin membuat saya sadar bahwa Malaysia dan Indonesia benar-benar berasal dari satu rumpun yang sama. Selain itu ada beberapa bangunan peninggalan Portugis yang letaknya mengelilinginya. Yang paling terkenal adalah Benteng A Famosa, nama itu berasal dari kata Fortaleza de Malaca berarti Kubu Malaka atau Benteng Pertanahan Malaka, merupakan benteng pertahanan yang dibuat oleh Portugis setelah menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Mereka menawan masyarakat setempat dan menyuruh secara paksa untuk membangun benteng tersebut. Bahan dasar bangunan tersebut diambil dari runtuhan masjid dan bangunan-bangunan sekitar lainnya. 

A famosa dan Reruntuhan Gereja St. Paul

Selain benteng, di kompleks ini bisa ditemui juga reruntuhan gereja tua yang sudah tak lagi terpakai, Gereja St. Paul. Di sebelah gereja ini ada kompleks pemakaman peninggalan Belanda, sementara kompleks kesultanan dikelilingi oleh gereja, benteng dan kuburan Belanda karena Melaka adalah bekas jajahan Inggris, Belanda dan Portugis. Seolah-olah untuk mengekang kekuasaan pihak Istana Melaka mereka mendirikan semacam fortless border di sekeliling istana, berupa benteng, kuburan dan Gereja. 

Museum-museum lain di Melaka

Sebetulnya di Malaka ada beberapa tempat menarik lainnya yang belum sempat saya kunjungi seperti Dataran Pahlawan, Menara Taming Sari, dan St. Francis Xavier’s Church. Ada banyak juga museum menarik yang berkaitan dengan sejarah Melayu dan Asia seperti Museum Kastam, Museum Rakyat, Museum Setem Malaka (Mallaca Stamp Museum), Museum Melayu Dunia Islam, dan Museum UMNO.

***
Saya banyak mendapatkan pengetahuan dengan mengunjungi tempat ini, termasuk bagaimana pemerintah setempat menata dan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata yang unik dan menarik. Kemajuan Malaysia juga tidak lepas dari bagaimana cara mereka mempelajari sejarah bangsanya. "Study the past if you would define the future", kira-kira begitulah Confucius mendefinisikan betapa pentingnya kita untuk mempelajari sejarah di masa lalu. Bangsa Indonesia juga pernah dijajah selama ratusan tahun dan kita tidak boleh lupa akan hal itu. Masa lalu bagi seorang modern adalah tempat merujuk ke arah perkembangan, sebab hal itu bagian dari proses belajar untuk terus maju dan tumbuh.


M.
Melaka, 10 Mei 2013

2 komentar:

  1. cie zimen foto2nya menarik bgt... ak aj ga sempet motret detil2nya, hehehe. asik.

    BalasHapus
  2. tapi fotoku gak se-ekspresif fotomu, maklum yak amatiran :P

    BalasHapus