Selasa, 01 Februari 2011

Surat Cinta 3: Sudoku


Aku memandangi kolom baru dari koran Nasional ini. Sebulan yang lalu aku yakin kolom permainan di koran Nasional yang kini aku baca belum ada. Permainan ini mengingatkan aku pada seorang lelaki yang aku kenal delapan bulan yang lalu. Lelaki itu gemar mengerjakan permainan seperti dalam kolom koran ini. Kini aku biarkan kenangan indah itu terus tersimpan dalam memoriku. Aku pun bernostalgia dengan mengisi kotak-kotak kosong itu dengan angka-angka sembarang.


***

Aku begitu senang menatapmu ketika kau mulai serius mengerjakan permainan itu. Awal mulanya kau bosan dengan pemandangan di dalam kereta yang melaju dari Luton menuju St. Pancras, London. Hingga pada akhirnya kau mengambil koran yang sebelumnya aku dapat dari stasiun kereta Luton.

Akulah orang yang pertama mengambil koran yang ada di stasiun Luton. Koran lokal ini dibagikan secara gratis, siapa saja boleh mengambil jika ingin membacanya. Bahkan kadang koran-koran itu tidak sampai habis hingga sore. Akan tetapi sesampai di dalam kereta, aku lebih memilih menikmati pemandangan dari jendela kereta daripada membaca koran gratisan ini. Melihat pemandangan desa-desa di Inggris bagiku bukanlah hal yang membosankan. Berbeda dengan mu, yang memang Negara kelahiranmu. Kala itulah kau merebut koran gratisan itu dari tanganku, beberapa saat kau kemudian bertanya, “Do you have a pen?”. Dia tahu betul latar belakangku adalah seorang mahasiswa yang kemana-mana selalu membawa pulpen. Ku berikan pulpenku padanya dan mulailah dia asyik mengerjakan sesuatu di salah satu kolom koran, sesuatu itu adalah semacam permainan berhadiah bernama Sudoku.



Sudoku adalah permainan isi kolom dengan angka-angka, Sudoku terdiri dari 9x9 kotak yang dibagi dalam 3x3 kota kecil dalam 9 area. Setiap baris horizontal maupun vertikal akan diisi oleh angka dari satu hingga sembilan dan setiap baris tidak ada angka sama. Sudoko dalam koran tersebut terdiri dari tiga level, easy, average and hard. Dia selalu berhasil menyelesaikan dua level yaitu easy dan average dalam beberapa menit. Setelah itu berjanji padaku akan menyelesaikan yang paling sulit jika dia memiliki lebih banyak waktu luang. Tetapi entahlah, aku tak pernah melihat dia bisa menyelesaikan Sudoku bagian terakhir.

Begitulah selanjutnya, setiap kali kami melakukan perjalanan dengan kereta. Aku yang mengambil koran di stasiun dan dia merebut koran itu, yang kemudian asyik mengisi kolom-kolom angka tersebut. Berulang kali aku menikmati pemandangan dari dalam kereta dari Luton menuju St. Pancras hingga pada akhirnya aku bosan sendiri dengan pemandangan yang kulihat dari dalam kereta. Entah mengapa, aku mulai merasa memandangimu yang tengah asyik bermain Sudoku ternyata lebih menyenangkan dibanding dengan memandang kearah luar jendela. Kau begitu asyik mengisi kolom-kolom itu. Terkadang aku berpikir, kau benar-benar tahu rahasia dibalik permainan itu atau hanya menebak-nebak angka, aku tak tahu dengan pasti. Tetapi ketika kau berhasil menyelesaikan permainan itu dengan sempurna hingga tak ada lagi angka yang sama dalam satu baris horizontal maupun vertikal. Kau tersenyum begitu bahagia dan aku pun menikmati senyuman yang muncul dari wajahmu.

Kamu dengan bangganya menunjukkan padaku dan menyuruhku untuk kembali mengecek kalau-kalau dia melakukan kesalahan. Meski aku tak benar-benar memeriksa tapi aku pikir semua jawabannya benar. Membuatnya sedikit bahagia tak ada salahnya. Toh, dia terlihat jauh lebih baik jika tersenyum.

Aku tak tahu apakah ini bisa disebut sebagai surat cinta atau tidak. Aku bahkan tak percaya jika perasaanku padanya sedalam itu hingga bisa dikatakan sebagai cinta. Aku selalu berpikir bahwa hubungan kami tak lebih dari hubungan teman. Tak ada keinginan sedikit pun menjalin kisah asmara dengan lelaki seperti dia.

Hanya saja ketika tatapan mata kami bertemu, aku bisa merasakan bahwa perasaan itu lebih dari yang aku kira sebelumnya. Sayangnya meski pada akhirnya kami tahu akan perasaan itu, kami terlalu pengecut menghadapi kenyataan bahwa perbedaan kami terlalu besar. Keinginannya hanyalah memintaku untuk menghabiskan sisa waktuku di Luton bersamanya. Tak disangka hatiku begitu bahagia mendengar keinginannya. Seandainya dia tahu akan perasaanku. Mungkin kenangan itu tak terlalu menyiksa. Bagaimana pun kamu begitu luar biasa, hingga permainan sederhana seperti ini bisa mengingatkanku pada dirimu.

Kututup koran yang ada dihadapanku. Ku biarkan kenangan itu berlalu perlahan. Tak perlu lagi mengingatmu ataupun sudoku.

Pedih, batinku.

1 komentar: