Selasa, 01 Februari 2011

Surat Cinta 1: Clover

Sejak mengenalmu lebih jauh, entah bagaimana dialektika tentang cinta itu muncul dalam pikiranku. Kamu adalah sebuah delusi dan aku menjadi orang yang delusif. Cinta menjadikan segala sesuatu begitu sempurna dimataku. Yang aku tahu, aku menjadi berfantasi dan terbang jauh dalam dunia mimpi. Aku seperti merasakan deliveransi dari realitas, terbebas.

Orang-orang bilang, aku menyederhanakan makna cinta yang tak seharusnya aku lakukan. Aku merasa bahwa cinta itu tak harus dua sejoli. Di kala aku merasa nyaman menatapmu, maka saat itu pula aku merasa itu adalah cinta. Aku tak peduli kalau kau harus tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tak merasa kau perlu repot-repot mengetahui bahwa aku begitu mengagumimu.

Mengagumi dirimu, aku seperti menemukan keindahan dalam padang rumput liar yang lebat. Kau adalah daun semanggi berhelai empat diantara rumput liar lainnya. Kau memiliki karakteristik dan pribadi yang berbeda. Bagiku, kau memiliki keempat sisi keindahan itu; cinta, harapan, keyakinan dan keberuntungan. Kau adalah teka-teki yang selalu membuatku terkejut. Kau juga lelaki yang ingin hidup seperti lilin. Memberi cahaya bagi orang lain tetapi membunuh diri sendiri. Seolah-olah aku adalah salah seorang yang merasakan cahaya itu. Cahaya yang memberi isyarat akan kelembutan dan kenyamanan, yang hanya akan dirasakan jika berada didekatmu. “Arrgggh, didekatmu? Apa aku sedang bermimpi?”, kutepuk kedua pipiku. Padahal aku tak pernah berada didekatmu, bagaimana aku bisa merasakan cahaya itu?



Aku memang seperti terhipnotis oleh cahaya itu, yang menjadikan aku selalu berkeluh kesah setiap waktu. Namun aku hanya tersenyum kecut ketika menyadari akan cahaya itu sebenarnya. Cahaya itu adalah sinar yang muncul dari laptopku yang menyala. Sebuah rutinitas absurd yang beberapa kali aku lakukan. Membiarkan kedua bola mataku menatap layar sebesar 11.6 inci dengan cahaya terang dikamarku yang sengaja aku biarkan gelap gulita. Aku merasakan cahaya itu memasuki retina mataku. Cahaya yang memantulkan bayangan tubuhmu. Cahaya yang memantulkan wajah manismu. Aku tak peduli berapa lama laptop ini memutar rekaman kehidupan fiktifmu dalam beberapa episode, tapi bagiku bayangan wajah dan tubuhmu begitu nyata dalam kehidupanku.

Aku bahkan menangisi kehidupanmu. Entah bagaimana dirimu bisa begitu menderita oleh wanita lain dan entah mengapa aku begitu terobsesi dengan semua perasaan ini. Kamu begitu saja disakiti dan aku hanya bisa menatapmu. Aku tak bisa membayangkan jika suatu hari nanti aku dapat menemuimu. Aku bukan tak tahu kalau cinta ini semu atau hal yang tak mungkin bersatu. Tapi wajahmu yang menari-nari dalam imajinasiku terasa begitu ‘nyata’. Aku yang tak pernah lelah menatap wajahmu di layar kaca dan sekali lagi biarkan aku berdoa agar kelak aku bisa menemuimu. Maka biarkanlah aku semakin dekat dengan tujuan hatiku. Atau buatlah aku tersadar akan cinta yang semu ini. Aku seperti diantara mimpi dan realitas.

Aku tak ingin ‘hanya’ menjadi wanita pemuja yang gemar berteriak-teriak ketika menemui. Cintaku padamu adalah sebuah kemewahan. Kamu dilahirkan untuk menjadi impian hidup setiap wanita. Kamu mengabdikan hidupmu pada mimpi orang lain, sedangkan aku senantiasa terpenjara dalam realitas. Semua ini seakan membuatku bertanya, “Cinta macam apa ini?”. Kita tak hanya dipisahkan oleh jarak dan waktu tetapi juga kehidupan.

Maafkan aku jika aku harus menghadapi kenyataan.

Kututup laptopku, kutatap handphoneku. 13 sms dan 25 panggilan tak terjawab. Seandainya engkau tahu, seorang lelaki lain menunggu jawaban cintanya dariku di luar sana. Lelaki yang mungkin tak seindah dirimu. Akan tetapi cintanya sungguh nyata bagiku. Maafkan aku jika aku terpaksa menatap realitas. Aku pun wanita biasa yang juga ingin dicintai. Seandainya engkau tahu, lelaki itu tak lelah menantiku seperti aku menanti episode-episode kehidupan fiktifmu. Sebaiknya inilah akhir dari imajinasiku tentangmu. Meski aku tak rela, kelak kau juga akan menemui wanita yang layak kau cintai. Wanita yang juga datang dari mimpi dengan segala kesempurnaan hatimu.

P.S. Tetaplah menjadi seperti semanggi berdaun empat, agar aku bisa menyebutmu ... a clover.

1 komentar: