“Experiencing
the Sacred Spaces of the others” atau merasakan ruang suci dari (agama) lain
inilah tagline dari program
Interfaith Youth Pilgrimage (IYP), merupakan salah satu alasan diselenggarakan
program ini. Berangkat dari keprihatinan atas
peristiwa-peristiwa konflik yang kerap terjadi dengan mengatasnamakan agama di
Indonesia, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan toleransi antar umat
beragama di kalangan kaum muda, yang kelak akan menjadi penerus kepemimpinan di
Indonesia. Para
peserta IYP telah diajak untuk mempelajari mengenai bagaimana toleransi dan
keberagaman dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam “ruang
suci” masing-masing agama.
Belajar
dari Pengalaman Live in
Program
ini telah berhasil memberikan pengalaman nyata utamanya dalam menghapus stigma
atau prasangka buruk terhadap agama lain, seperti yang dialami oleh Masduri,
peserta dari Madura yang merasa tersentuh dengan dalamnya umat Nasrani dalam
melantunkan doa-doanya. Masduri menambahkan setelah mengikuti program ini
menjadi lebih terbuka kepada siapa saja, tanpa melihat agamanya, karena
kebaikan bisa datang dari siapa saja, termasuk dari umat beragama yang
lain.
Salah
satu peserta bernama Firman, menyatakan perasaannya dengan mengikuti seperti menemukan kembali damai yang telah lama
hilang di Negeri Indonesia ini. Firman yang juga merupakan mahasiswa
Universitas Pattimura datang jauh-jauh dari Ambon Manise, Maluku khusus untuk
mengikuti program ini, “Saya berangkat menuju Yogyakarta dengan meninggalkan
rutinitas kuliah dan aktivitas lain dikampus biruku yaitu Universitas Pattimura
Ambon hanya karena satu hal yakni lewat IYP ini dapat tercipta kembali trust diantara kami anak muda Indonesia
yang berbeda-beda agama dan suku bangsa”. Keluarga Firman merupakan salah satu
korban dari konflik agama yang terjadi di Maluku tahun 1999. “Bagiku semua
momen dalam 10 hari perjalanan bermakna ini sangatlah berharga. Namun, momen
yang tak kulupakan yakni ketika saya (sebagai seorang muslim) live in dirumah jemaat GKJ Sidomukti,
Salatiga. Pada awalnya, saya merasa ada yang berbeda seperti ada semacam
gejolak batin dalam jiwaku. Bagaimana tidak, saya berasal dari daerah konflik
yang mengatasnamakan agama kemudian cara pandang saya telah dibentuk oleh
sejarah atas duka masa lalu, dengan menyatakan, diluar agama saya (Islam)
terutama Kristen adalah musuh (stigma dalam komunitasku). Kini saya diperhadapkan
dengan realitas yang berbeda, tinggal serumah dengan mereka (keluarga jemaat)”.
Namun, Firman justru menjadikan pengalaman berharga tersebut sebagai sebuah
refleksi, dengan memaafkan dan tidak menyimpan dendam dari luka masa lalu. Dia
menyadari bahwa perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk memicu
permusuhan dan konflik. Agama bukanlah sumber kekerasan melainkan sumber
kedamaian bagi sesama dan semesta alam.
Kisah lain datang dari Susanto,
mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Syailendra. Susanto terkesan dengan
pengalamannya live in di Pondok
Pesantren, “Dari pengalaman tinggal di dua tempat
pondok pesantren yang berbeda, disitulah saya mengetahui bahwa tidak semua
pondok pesantren adalah sarang dari teroris atau gerakan kekerasan yang selama
ini saya lihat di beberapa media masa”. Peserta yang lain, Geraldi D. Kongkoli
berasal dari Poso, yang juga pernah live
in di Pondok Pesantren Edi Mancoro Semarang, sangat terkesan dengan upaya
transformatif pesantren tersebut dan mengubah stigma selama ini tentang
pesantren dan tentang buruknya citra Islam.
Mencetuskan Petisi Perdamaian
Setelah
mengikuti 10 hari perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci, berdialog dengan
berbagai komunitas agama dan live in di
masyarakat, 28 peserta IYP merumuskan 7 poin petisi perdamaian sebagai hasil
dari kesadaran mereka. Peserta adalah perwakilan dari berbagai daerah di
provinsi Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali, Kalimantan, NTT, NTB, dan Maluku.
Petisi ini menghimbau kepada generasi muda, masyarakat dan pemerintah Indonesia
untuk lebih menghargai perbedaan nilai-nilai agama, menghapus prasangka,
merawat keragaman, lebih menghayati nilai-nilai agama, menolak kekerasan atas
nama agama dan secara khusus mengajak generasi muda Indonesia untuk menjadi
inspirator dan agen perdamaian.
Program
IYP ini di dukung oleh Kedutaan Besar Amerika Sertikat melalui program Alumni Engagement Innovation Fund (AEIF)
2013, dan dengan dukungan dari berbagai lembaga seperti Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Centre for Religious and Cultural Studies(CRCS) UGM, PSPP Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), PERCIK, Peace Generation Bandung, Pondok Pesantren
Edi Mancoro, Seminari Mertoyudan Magelang dan DIAN-Interfidei. IYP
diselenggarakan dari tanggal 10-20 November 2013 di beberapa kota: Yogyakarta,
Surakarta, Karanganyar, Salatiga, Semarang, Magelang dan Yogyakarta.
Tujuan
IYP ini, seperti yang disampaikan Team Leader IYP, Elis Z. Anis, M.A. dalam
pembukaan IYP (10/10) adalah untuk membangun pemahaman yang mendalam mengenai
akar persoalan konflik agama di Indonesia dan menciptakan strategi yang relevan dalam mengatasi konflik
atau persoalan antar iman. Di akhir program, peserta IYP diharapkan mampu
membangun komitmen dalam memperjuangkan perdamaian diantara umat beragama.
Peserta menandatangani petisi perdamaian dan akan membagi pengalaman mereka
melalui komunitas masing-masing dan melalui media massa.
Mazia Rizqi Izzatika,
Organizing Committee
IYP Indonesia