Senin, 29 Oktober 2012

Tentang Sekaleng Susu yang Selalu Membawa Ingatanku Padamu

Sudah sejak kecil ibuku memberikan sekaleng susu ini setiap kali aku merasa tak enak badan. Namun kenangan tentang ibuku kini telah berubah menjadi kenangan tentangmu. Suatu malam, suhu badanku naik drastis. Tubuhku padu dengan kasurku yang selalu terasa empuk. Aku balut badanku dengan selimut-selimut tebal. Dalam keadaan seperti ini Ibu selalu datang memberiku sekaleng susu. Melihat susu kaleng itu ingatanku melayang padamu. Demamku yang semakin tinggi membuat bayanganmu muncul begitu saja dikepalaku. Senyum itu. Tak pelak aku pun mulai meracau tentangmu.

Kala itu kita berada di sebuah Mall. Wajahmu yang kemerahan menahan demam yang semakin tinggi. Namun tetap saja kau masih bersamaku malam itu. Dan sekaleng susu itu, entah bagaimana bisa berada di dalam tasku. Ku berikan sekaleng susu itu kepadamu. Aku pun memintamu untuk meminumnya. Mungkin saja badanmu akan terasa lebih baik. Kau menatapnya lekat-lekat sebelum kemudian mengenggam erat susu kaleng itu. Tersenyum dan "Cut!" Sampai disana, aku begitu menikmati senyum itu. 

Pada akhirnya memang kau meminum susu kaleng itu dengan sedikit terpaksa. Episode itu ingin selalu kuingat. Hanya saja. Kenangan itu kini mulai samar-samar. Waktu yang telah mengikis ingatanku. Tak apalah, ini tentang sekaleng susu yang selalu membawa ingatanku padamu. 


M. 
Yogyakarta, Oktober 2012.

Minggu, 28 Oktober 2012

Reading : Contemplation

Kemana sajakah kau beberapa bulan terakhir ini? 
Sudah terbangunkah dari tidur-mu yang panjang itu? 

Aku membaca koran-koran itu setiap hari. Berbagai peristiwa dan fenomena terus berubah seperti pementasan wayang non-stop 24 jam. Aku tidak tidur dan tidak pula benar-benar sadar akan apa yang terjadi. Aku hanya merasa seperti zombie yang terus bergerak sama. Tapi pikiranku tidak benar-benar mati. Layaknya menyaksikan pertunjukkan tanpa sedikitpun ingin menjadi bagian dari pertunjukkan itu. Aku membiarkan diri melayang sejenak namun berusaha untuk tetap berpikir: lalu munculah kata 'kontemplasi' itu. Semua orang butuh berkontemplasi, menenangkan diri barang semenit kemudian beranjak. 


Apa yang sebetulnya terjadi diluar sana? 

Para sosiologis sibuk membicarakan zaman macam apa yang sedang kita hadapi. Para sastrawan sibuk merangkai kata-kata yang mampu melukiskan fenomena demi fenomena yang ada di masa ini. Para ilmuwan sibuk mengutak-atik rumus-rumus untuk memecahkan misteri-misteri kehidupan yang tak kunjung terpecahkan. Para ahli hukum sibuk mendefinisikan keadilan macam apa lagi yang harus ditegakkan di dunia ini. Para dokter sibuk menemukan obat-obat ajaib untuk memusnahkan penyakit-penyakit yang semakin misterius. Para agamawan sibuk berdakwah perihal surga dan neraka yang semakin sulit dipahami oleh orang-orang di zaman yang semakin sekuler ini. Para politisi semakin sibuk meracau karena makin banyak orang ingin saling membongkar di zaman ini. 

Semua sibuk. Namun dimanakah aku diantara orang-orang yang sibuk itu? 

Padahal aku juga merasa sibuk. Aku merasa tak pernah berhenti bergerak tapi entah mengapa diriku dimataku seolah-olah serupa. Aku terus merenungi diri memandangi tabiat-tabiatku dimasa lalu. Melintasi setiap untaian ruang dan waktu yang telah terlewati. Apakah yang sudah terlewati itu? Melihat sekelilingku dan mendapati begitu banyak perubahan. Betapa waktu itu telah mengikis kehidupan. Sementara aku hanya berjalan ditempat yang sama dengan kondisi yang sama pula. Ataukah aku yang berjalan terlalu lambat? Hingga dunia ini terasa begitu cepat menggerakan waktu. Missing the achievements. Less productivity. Mungkin itulah yang menjadi jawabannya. 

Sudah saat untuk menggertak sebetulnya. Membangkit soul dalam diri yang sudah lama mati. 
Heh, BANGUN!

M.
Yogyakarta, minggu malam di akhir Oktober 2012.