Senin, 22 Agustus 2011

Kauman (Part 1)

Kampung Kauman memiliki kenangan kuat di masa kecilku. Beberapa ingatan itu tergambar begitu jelas. Lampu-lampu yang berjajar sepanjang jalan berbentuk bola selayaknya globe ditancapkan pada tiang besi yang dihiasi dengan pot dari batubata berwarna hijau dan kuning. Aku juga ingat penjual lotek dipinggir gang menuju rumahku atau penjual jamu yang membuka warung remang-remang setiap sore hingga malam dihalaman rumahnya, warung itu terletak antara pohon jambu. Itu dulu. Kampung Kauman dulu jauh berbeda dengan Kauman yang sekarang. Aku mengingat Kauman sebagai kampung halaman. Walaupun hanya selama delapan tahun aku tinggal disana.

Kenangan paling melekat adalah ketika dibangku Taman Kanak-kanak. Aku bersekolah di TK ABA Kauman. Kala itu, aku selalu berangkat kesekolah sendirian. Hanya pak becak di depan rumah yang membantu menyeberangkan aku di jalan raya Kauman. Setelah itu aku berjalan sendirian ke sekolah yang jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Terkadang aku merasa iri dengan anak-anak TK yang lainnya karena setiap harinya diantar oleh Ibu ataupun pengasuh. Para pengantar itu selalu menunggu di balik pagar besi sekolah berwarna hijau. Mereka begitu sabar menanti putra-putrinya. Terkadang mereka bercerita dan bergosip ria sambil menunggu pukul 11.00 tiba. Ketika sekolah usai, bahkan sang anak merengek-rengek meminta jajan. Sementara aku hanya bisa menatap mereka. Sambil berimajinasi mainan apa yang aku inginkan jika aku menjadi mereka.

Pernah suatu hari, aku menangis merenung dikamar hanya karena ingin seperti anak-anak TK yang lainnya. Diantar ke sekolah dan belikan mainan sepulang sekolah oleh ibu. Namun ketika ditanya kenapa aku menangis? Aku enggan mengungkapkannya. Aku hanya berdalih menangis karena alasan lainnya. Aku menyadari semenjak kecil mengenai peran ibuku di masyarakat terutama di Kauman. Ibuku selalu sibuk dengan kegiatan organisasi. Ibuku mencintai hal-hal semacam itu dan selalu mendorongku untuk melakukan hal yang sama.

Aku tak memiliki banyak teman ketika di taman kanak-kanak. Aku bahkan tak menonjol sama sekali. Aku tak pernah pandai menggambar ataupun berhitung. Maksudku tidak menonjol yaitu, aku tak pernah terpilih menjadi anggota pengibar bendera, aku juga tak pernah terpilih menjadi pembaca pancasila ataupun janji pelajar Muhammadiyah ketika upacara bendera. Aku benar-benar murid yang biasa-biasa saja. Ketika pertunjukan karnival drumband posisiku hanya sebagai pembawa bendera hiasan. Bukan pemegang drum, pianika, ataupun gitapati. Apalagi mayonet, ah mimpi.

Pada saat hari kartini tiba, aku selalu menggunakan pakaian adat yang sama setiap tahunnya, walaupun hanya dua tahun. Yaitu pakaian adat Sulawesi Selatan atau baju bodo. Bahkan ketika hari kelulusan di TK, aku juga menggunakan pakaian yang sama. Ketika aku bertanya, mengapa foto-fotoku TK ketika Hari Kartini selalu menggunakan baju Bodo? Ibu hanya menjawab, “Baju bodo tidak ribet, simple”. Maksudnya tidak perlu dandan menor, kebaya, jarik, sanggul, ataupun kemben selayaknya bakaian adat Jawa. Aku pun menyadari, itulah sebabnya aku tak pandai berdandan seperti wanita-wanita Jawa, semenjak kecil memang aku tak dilatih untuk berlenggak-lenggok dan berdandan. Semuanya harus serba simple.

Memasuki bangku SD, aku bersekolah di SD Muhammadiyah Suronatan. Masih sekolah Muhammadiyah. Saat itu nasibku berangkat sekolah lebih baik. Kadang aku diantar pagi-pagi dengan motor bersama dengan kakakku yang bersekolah di SD Purwodiningratan Dua. Aku dan kakakku berbeda sekolah. Ini adalah prinsip kedua orang tuaku. Mereka memasukkan anak-anaknya disekolah yang berbeda-beda, agar memiliki karakter yang berbeda pula. Dan memang terbukti.
Di bulan Ramadhan, Kauman sangatlah istimewa. Ada tabungan, jaburan dan pasar tiban. Aku tak sereligius yang dibayangkan. Pergi sholat tarawih hanyalah sebatas rutinitas. Tapi aku menyadari, membiasakan anak untuk berangkat tarawih sejak kecil bisa menjadikan sebuah pelatihan bagi anak untuk menimbulkan religiusitas sejak dini, eh. Entahlah. :) Yang aku nanti sebetulnya hanyalah jaburan dan tabungan. Jaburan adalah semacam snack yang dibagi setelah sholat tarawih. Sedangkan tabungan yang aku maksud adalah setiap hari kita diharuskan menabung dan setelah satu bulan penuh tabungan itu dibagikan, jadi kira-kira ketika takbiran tiba aku akan memiliki uang yang cukup untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Karena alasan itulah aku berusaha mendapatkan uang lebih dari limaratus rupiah dari bapak atau ibu setiap harinya.

Alasan lainnya untuk pergi tarawih dibangku SD adalah meminta tanda tangan imam tarawih dan merangkum materi kultum setelah sholat isya’ dalam buku ‘Laporan Kegiatan Bulan Ramadhan’. Konon buku itu sakti, bisa menaikan nilai pelajaran agama atau nilai budi pekerti di raport sekolah. Ada-ada saja.

Cerita mengenai pasar tiban lain lagi. Aku tak pernah ingat aku umur berapa aku bisa berpuasa penuh. Yang jelas tidak ketika di Kauman. Seingatku selama disana, aku hanya menjalankan puasa bedug, yah semacam pelatihan puasa untuk usia dini. Cukup menahan lapar dari sahur hingga dzuhur, kemudian puasa kembali hingga magrib. Tapi bagiku kala itu sangatlah berat, karena jajanan yang ada di pasar tiban setiap sore selalu menggiurkan. Masih ada hingga sekarang jajanan favourite keluarga kami, yaitu bakmi kopyok mbah Tukir. Bakmi Kopyok itu sebenarnya mirip dengan tahu guling, tetapi yang menjadi ciri khas adalah bakmi atau mie telor. Saat ini pasar tiban banyak diisi penjaja makanan yang justru berasal dari luar Kauman. Sehingga kini sulit dikenali lagi para penjual makanan yang memang benar-benar asli dari Kauman.

Aku selalu merindukan suasana Ramadhan itu di Kauman, bahkan hingga aku beranjak dewasa. Terkadang aku juga mendatangi pasar tiban bukan untuk membeli makanan. Tetapi untuk bernostalgia menikmati suasana kampung Kauman. Meski kini aku telah menikmati 12 tahun hidup di Kotagede. Akan tetapi dimataku masih terlihat gadis kecil berambut keriting berjalan menyusuri gang-gang kampung kauman sambil mengenakan seragam TK berwarna kuning dan hijau. Isi kepalanya penuh dengan imajinasi dan mimpi-mimpi magis.

Surat Cinta 4: Layang-layang


Aku selalu merasa seperti layang-layang. Aku melayang bebas diterpa angin dan hujan. Aku tetap tegar. Sementara engkau adalah seorang anak laki-laki yang terus mengerakkan hatiku. Menikmati setiap keindahan gerak-gerikku. Suatu saat kau menarikku agar aku terus ada dalam pandanganmu, tetapi suatu saat kau membiarkan aku jauh diterpa angin, kau terus mengulur tali agar aku menjauh dan semakin jauh. Dalam interval tertentu kau menarik tali layang-layang itu dengan gesit. Menangkap hatiku. Membuatku terpana. Membiarkan perasaanku kalut.

Aku pun membiarkan dirimu memainkan tali itu. Karena aku begitu menikmatinya saat itu. Tapi tidakkah kau takut bahwa suatu saat tali itu akan putus. Sehingga layang-layang itu akan terbang jauh dari pandanganmu dan takkan pernah kembali lagi kepadamu?



Aku mengakui bahwa akulah yang memulai semua ini. Awalnya aku hanya jatuh cinta pada namamu. Aku membaca namamu seolah adalah harapan. Kemudian aku mulai mencari tahu tentang dirimu. Sungguh, kamu begitu menarik. Aku selalu berusaha meyakinkan hatiku bahwa ini adalah rahasia hatiku. Hanya aku saja yang mengamatimu setiap kali berjalan menuju labolatorium dibelakang kelasku. Hanya aku saja menikmati momentum itu berlalu. Tapi kerisauanku segera tercium oleh teman-temanku layaknya aroma terapi yang disulut.

Aku tak mengerti. Sejak semula aku mendeskripsikan dirimu sebagai obsesi hatiku. Semua itu ditunjukkan dengan gejala-gejala obsesi kronis yang aku alami. Aku selalu bahagia menerima pesan singkat darimu. Aku selalu bahagia menghabiskan waktu tengah malam suntuk untuk sekedar berbicara hal-hal yang tak penting denganmu. Selera humormu yang sederhana selalu menghidupkan malam-malamku. Sikapmu yang acuh tak acuh menumbuhkan rasa penasaranku tentang kehidupanmu. Cerita-cerita konyolmu selalu terdengar mengasyikkan ditelingaku. Itulah yang aku tak mengerti. Aku bahagia walaupun hanya menjadi sekedar layang-layang di matamu.

Jadilah aku pecandu dunia seluler. Aku hanya menanti sms darimu. Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pagi dan orang terakhir yang mengucapkan selamat malam kepadamu melalui pesan singkat. Di hari ulang tahunmu yang ke tujuh belas, mungkin, akulah orang pertama yang mengucapnya selamat ulang tahun. Malam itu aku menantang mataku untuk tetap bertahan hingga detik-detik hari kelahiranmu. Hingga momentum itu tiba tepat pada waktunya. Hingga ucapanku benar-benar menjadi special.

Suatu waktu, kita memutuskan untuk bertemu. Tak hanya menghabis pembicaraan kita lewat telepon dan pesan singkat. Maka saat itulah kencan pertama dalam hidupku. Kencan? Mungkin kencan artifisial. Sebetulnya kami hanya membunuh waktu dengan berjalan bersama dan mengobrol. Membicarakan hal apapun tentang kehidupan masing-masing di sebuah cafe. Aku selalu kehabisan kata-kata dihadapanmu. Sementara kamu seolah-olah memiliki ratusan cerita yang menarik. Kamu memiliki pribadi yang menyenangkan. Mungkin karena aku selalu ingin menjadi sempurna dihadapanmu karena aku tahu kau begitu berharga.

Kala itu, aku menganggap bahwa kamu adalah alasan mengapa aku masih sendiri. Aku selalu menunggu. Aku selalu menghargai segala keputusanmu. Aku selalu berusaha paham. Aku selalu mencoba ‘mengangguk’ untuk semua pendapat yang kau utarakan. Meski segala keinginanmu itu terdengar begitu absurd ditelingaku. Tidakkah mungkin bagimu melupakan luka yang telah ditorehkan wanita lain dihatimu.

Aku selalu berusaha mengkalkulasi setiap kemungkinan yang muncul agar aku bisa menjadi kekasihmu. Mempertimbangkan setiap jejak kehidupanku agar aku bisa menjadi pasangan yang serasi bagimu. Selayaknya gadis-gadis lainnya aku mengalami fairytale syndrome tentangmu.

Hingga akhirnya aku terlambat menyadari bahwa aku bukan apa-apa. Hanya aku saja yang menganggap diriku ini layang-layang. Aku tahu, kamu tak pernah meminta apapun dariku. Ini hanya tentang aku dan layang-layang. Aku selalu menganggap kamu adalah matahari tapi ternyata kamu hanyalah pelangi, yang datang dalam sekejap untuk memperlihatkan keindahan bias warnamu. Kamu hanyalah kupu-kupu yang terbang dengan singkat di taman kehidupanku. Kamu adalah mimpi yang datang sejenak dalam tidur lelapku. Kau terlampau indah untuk terus ada dalam realitas hidupku.


Jika suatu hari kita kembali bertemu. Mungkin aku tak lagi menjadi layang-layang. Mungkin aku tak lagi mengenalmu sebaik aku mengenalmu dahulu. Mungkin aku hanya akan menjadi wanita biasa yang pernah kau temui di sebuah halte bus. Mungkin aku akan menjadi wanita yang lupa ingatan. Aku akan membiarkan semuanya tak terjawab meski begitu banyak pertanyaan yang tersekat dalam tenggorokanku. Aku akan membiarkan semua kenangan itu berlalu walau terus merajam dalam ingatanku.

Tetapi meski bukan aku, cobalah sedikit untuk membuka hati. Cobalah untuk kembali mencintai. Cobalah lebih jujur dan menantang kehidupan. Cobalah lebih berani. Cobalah kembali untuk mengenal wanita, karena mereka tak selalu sama.


~~
Yogyakarta, Mei 2011

Noted:
pictures by Andrew @CubaGallery

Minggu, 21 Agustus 2011

Kehidupan Multikultur di Kota Luton, Inggris

Pada Juni tahun 2010 lalu saya berkesempatan mengikuti program Global Xchange yakni pertukaran relawan muda Indonesia dan Inggris yang diadakan oleh British Council melalui kerjasama dengan VSO (Volunteer Service Overseas) dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Program inilah yang telah memberikan saya kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan berkerja sebagai relawan. Pada program kali ini, kota Luton (Inggris) dan Yogyakarta (Indonesia) terpilih menjadi Host Community bagi Global Xchange 2010. Maka kesempatan yang telah diberikan oleh British Council ini tidak saya sia-siakan, setelah menyelesaikan fase pertama program di kota Yogyakarta. Pada akhir Juli saya berangkat ke Inggris untuk melanjutkan fase kedua di kota Luton. Disinilah pengalaman hidup saya merasakan bulan Ramadhan di Negara Ratu Elizabeth ini pun dimulai.



Saya tak pernah membayangkan sebelumnya bisa merasakan ibadah puasa di sebuah kota kecil di bagian selatan Inggris. Kota itu bernama Luton, lama perjalanan yang harus ditempuh dari kota London sekitar dua puluh menit menggunakan kereta api. Daya tarik dari kota Luton yaitu dikenal sebagai kota yang multikultur, karena masyarakat yang tinggal di kota ini tidak hanya terdiri orang-orang keturunan kulit putih yang memiliki keturunan Inggris saja melainkan banyak juga yang berasal dari Afrika-Karibia atau Asia seperti India, Pakistan dan Banglades. Prosentase penduduk Luton yang berkulit putih adalah 68% dan penduduk keturunan Asia atau Asia-Inggris (British Asia) mencapai 19,3% dari total keseluruhan masyarakat kota Luton yaitu 184.371 jiwa, sisanya berasal dari keturunan kulit hitam seperti Afrika Karibia, atau daerah Eropa lainnya dan Cina. Maka sekitar 14,6% masyarakat kota Luton yang beragama Islam dan menjalankan ibadah puasa dibulan Ramadhan ini



Kota Luton dahulu dikenal sebagai kota Industri sehingga banyak berdatangan para imigran dari Afrika dan Asia untuk menjadi tenaga kerja di beberapa pabrik di kota Luton ini. Akan tetapi kebanyakan dari mereka lebih merasa nyaman tinggal dan melanjutkan kehidupannya di Inggris ketimbang harus pulang ke negara asalnya. Berbeda dengan Dunstable, sebuah kota kecil disebelah timur kota Luton. Suasana dikota ini sudah berbeda, tidak lagi banyak ditemui masyarakat keturunan Afrika ataupun Asia layaknya di kota Luton. Sisa-sisa memori Luton sebagai kota Industri juga terlihat disudut-sudut kota Luton. Seperti the Hat Factory, sebuah bangunan bekas pabrik topi yang sekarang digunakan sebagai tempat diadakannya berbagai macam pertunjukan teater. Di ujung jalan Bute St. juga terdapat monumen mesin alat pembuat topi yang pernah digunakan oleh pabrik-pabrik topi, sebagai bentuk kenangan akan adanya pabrik topi di kota Luton. Selain sebagai pabrik topi, kota Luton juga terkenal dengan adanya perusahan mobil Vauxhall Motors.

Kawasan pusat kota adalah disekitaran St. George’s Square, sebuah lapangan ditengah kawasan pertokoan dan fasilitas publik. Disinilah tempat diadakannya acara-acara hiburan bagi masyarakat kota Luton. Salah satunya adalah Luton Summer Festival, konser musik baik internasional ataupun nasional, pertujukan tari, teater dan pertunjukan seni lainnya. Festival ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Luton bahkan mereka juga dapat ikut berpartisipasi mengisi acara di festival ini.
Tak jauh dari St. George’s Square, terlihat sebuah bangunan besar yang nampaknya belum selesai direnovasi. Bangunan itu adalah The Mall yang merupakan pusat belanja di kota Luton. The Mall sendiri menjadi pusat berbelanja dari berbagai kalangan. Tidak seperti mall yang biasanya hanya didatangi kalangan atas saja ataupun sebaliknya, di dalam mall ini terdapat pula Luton Market, semacam kumpulan para pedagang dengan pertokoan kecil yang menjual aneka macam barang mulai dari pakaian, sepatu, alat elektronik sampai makanan-makanan ringan. Di dalam The Mall juga terdapat toko-toko dengan merk ternama seperti Mark & Spencer dan Debenhams.

Bicara mengenai tempat favorit, Bury Park adalah tempat paling sering saya kunjungi untuk berbelanja, berkuliner ria dan menghabiskan waktu selain The Mall. Tempat ini merupakan kawasan perbelajaan yang mayoritas tokonya dimiliki oleh orang-orang Asia. Cukup berjalan sepuluh menit saja dari St. George’s Square kearah timur maka akan segera sampai di Bury Park. Deretan pertokoan di Bury Park menyajikan berbagai macam bahan makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, bahan makanan dari Asia. Di tempat ini juga biasanya orang-orang muslim mencari daging halal. Selain itu terdapat pula toko-toko pakaian Asia, selain menjual pakaian-pakaian tradisional mereka juga menjual berbagai macam pernak-pernik gelang atau kalung.



Di sepanjang kawasan Bury Park ini banyak restoran-restoran yang menjajakan makanan-makanan Asia seperti kebab, kari, ataupun nasi. Restoran-restoran di Bury Park ini juga mencantukan tulisan ‘halal’ sehingga bagi muslim seperti saya tidak ragu lagi untuk menikmati makanan-makanan di tempat ini meskipun makanan-makanan Asia harganya sedikit lebih mahal daripada makanan Inggris pada umumnya yaitu sandwich, burger atau ayam dengan kentang goreng. Misalnya, harga yang dibayar untuk satu porsi kebab sekitar 3 hingga 5 pounds tapi bagi saya itu cukup memuaskan karena porsi yang cukup besar and its very Asian food taste! Sangat cocok bagi pendatang seperti saya yang merindukan masakan tanah air.

Di Bury Park inilah ciri khas masyarakat Multikultural begitu terasa, kita bisa dengan mudah menemui orang-orang dari berbagai kalangan berkumpul bersama seperti orang-orang Afrika, Pakistan, India, Thailand, Cina atau pun orang-orang Inggris sendiri. Misalnya, disudut jalan Bury Park juga terdapat sebuah gereja yang tak kurang dari 100 meter terdapat pula sebuah Masjid. Mereka hidup dengan rukun dan harmoni satu sama lainnya. Bahkan kampanye ‘Luton in Harmony’ sering disuarakan oleh pemerintah kota Luton sebagai bentuk komitmen masyarakat Luton untuk tetap menjaga keharmonisan antar suku dan agama.

Selama lima minggu menetap di Luton, saya tinggal bersama Host Home, mereka adalah keluarga Muslim keturunan Pakistan. Maka tidak terlalu sulit bagi saya untuk bangun menyiapkan sahur pada dini hari, karena kami dapat menyiapkan makanan untuk sahur bersama. Tinggal bersama mereka juga memberikan saya pengalaman baru mengenal budaya Pakistan meskipun tidak secara langsung di Negara Pakistan.
Perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di Inggris adalah rentang waktu puasa yang jauh lebih lama daripada saat berada di Indonesia. Saya harus menahan rasa lapar kurang lebih 18 jam, berbeda dengan di Indonesia yang hanya 14 jam. Itu karena matahari baru mulai tenggelam atau mencapai waktu Magrib sekitar pukul 20.00. Awalnya mungkin terasa berat namun kondisi cuaca musim panas di Inggris yang masih tetap terasa dingin bagi saya, suhunya berkisar antara 12 sampai dengan 18 derajat celcius ternyata tidak membuat saya merasa terlalu kehausan dan kelaparan. Ketika pertama kali datang ke kota Luton sebelum bulan Ramadhan dimulai, kami merasakan hal yang cukup unik yakni kami harus menikmati makan malam sementara langit masih sangat terang. Ini diluar kebiasaan orang-orang Indonesia yang waktu makan malam adalah ketika langit mulai gelap.



Sayangnya masjid yang ada di Luton tidak menyelenggarakan sholat jama’ah (sholat bersama) baik sholat wajib ataupun tarawih bagi perempuan, satu-satunya yang mengizinkan perempuan mengikuti sholat tarawih bersama hanyalah di Islamic Centre, yang letaknya masih dikawasan Bury Park. Maka disinilah saya bisa mengikuti sholat tarawih bersama-sama. Sholat tarawih untuk perempuan dilaksanakan di lantai dua, sedangkan laki-laki dilantai dasar. Para perempuan ketika menunaikan ibadah tarawih tidak menggunakan mukena layaknya di Indonesia, mereka menggunakan baju seperti gamis longar dipadu dengan kerudung lebar.

Menjalani ibadah di Negara yang mayoritas bukan beragama Islam memang terasa berbeda, tetapi justru semakin menguatkan keteguhan hati saya sebagai muslimah. Di Kota ini keindahan perbedaan begitu terasa karena rasa toleransi dan saling menghargai yang tinggi. Begitu pula ketika saya menjalani salah satu kegiatan yaitu Global Citizenship Day (GCD) yang kebetulan terletak di aula Gereja Katolik di High Town, Luton. Pada saat itu tiba waktu dzuhur, maka saya meminta mereka untuk menghentikan kegiatan. Mereka pun mengerti, bahkan menyediakan tempat untuk sholat berjama’ah. Lucunya, saya bersama teman-teman muslim lainnya terpaksa melaksanakan sholat jama’ah di aula gereja tersebut. Mereka yang beragama non-muslim pun tidak tersinggung dan menghargai keyakinan saya. Fenomena itu memberikan pelajaran begitu berharga, ketika kita harus saling membantu dan bertoleransi terhadap keyakinan sesama manusia. However, this journey that enriches me lots of experiences and it matter most, rather than its destination.


noted:
Tulisan ini saya upload kembali setelah sebetulnya dimuat di Majalah Suara Aisyiyah bulan September, 2010. Sekaligus untuk menunjukkan rasa keprihatinan saya terhadap London's Riot.

Minggu, 14 Agustus 2011

Regret.


I don’t just regret wasting my life up until itself in its entirety. I also regret a lot of things involving him. I regret possibly being the reason that things fell apart. I always think back and wonder if I had done this, or if I hadn’t done that, would things be different. Would they be better. Would none of this had happened and would I not be as completely shattered as I am now.

I wonder about small things, like had we gone to see that movie that I wanted to see, would it have made you think something to help? Would it have made us talk? Would things be different had I tried to have that conversation in the first place? If I had asked you if you were really, genuinely, the day I had to leave, would it have been more bearable? Had I gone back when I saw you weren’t there anymore, could I have helped you feel better before leaving? Were there words that you expected me to say that I never did :/

The truth is, You don’t really understand that, you probably think you do, but you don’t. Every single day I go through the process of blame and regret over that week. There is no thought or reasoning that ever makes it hurt less, it’s the same every day. I just think ‘what if’ and it breaks my heart every single time.

You might read this at some point. To you, I just wanted to say I’m sorry that things turned out as miserably as they did. I wished for anything better. I will always carry this regret with me, you know that. I don’t regret going and finding you though. That first hug was amazing… I do like you, I hope you know that.

Yogyakarta, August 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

Cerpen: Café

“Hari ini kenapa terlambat?” tanya kak Nanda
“Maaf kak, tadi kecelakaan kecil, uhm.. jatuh dari sepeda” jawabku dengan lirih.
Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi muram, “Kamu terluka?”
“Sedikit, lecet-lecet di tumit” jawabku sambil tersenyum kecut.
“Lain kali hati-hati”
Aku hanya mengangguk.
“Jatuh itu sakit apalagi jatuh cinta”
Aku tertawa mendengar dia berkata seperti itu dan seketika luka di tumit itu menjadi tidak perih lagi.
“Kok bisa sakit? Bukannya justru bahagia?
“Kata siapa bahagia?”
“Kata orang-orang” jawabku sekenanya.
“Mungkin bahagia tapi sesaat saja”
“Wah...wah...kakak tahu betul soal jatuh cinta?”
“Entahlah” jawabnya sambil meringis dan berlalu.

Hanya itu saja percakapanku dengannya sore ini. Aku berkerja partime sebagai waitress dengan kak Nanda di sebuah cafe dekat kampus. Aku berkerja mulai pukul empat sore sampai pukul sembilan malam. Memang cukup melelahkan tapi demi uang mau bagaimana lagi. Setiap harinya di cafe ini selalu ada berbagai macam kisah anak muda, mulai dari yang menyendiri bermain laptop hingga yang asyik berpacaran. Awalnya aku melakukan pekerjaan ini karena terpaksa. Dorongan ekonomi. Tapi setelah bertemu dengan Kak Nanda. Aku menyukai café ini bahkan lebih dari Mall atau tempat apapun. Aku tak pernah lelah mengamati kak Nanda. Bagimana aku harus melukiskan kak Nanda? Dia memiliki tatapan yang tajam, hidung mancung, bibir tipis, wajahnya berbentuk oval, kurus walaupun tak benar-benar kurus kerempeng dan kulit berwarna sawo matang. Tingginya mungkin sekitar 175 cm. Aku tak yakin dia keturunan Jawa tulen. Tapi dia paham betul tingkah laku perempuan jawa. Dia berulang kali bercerita mengidam-idamkan gadis jawa. Dan itu membuat hatiku berdebar-debar setiap kali mendengarnya. Ah...

***

Aku melihat kak Nanda yang hanya terdiam. Sesekali mengecek HP-nya meski tidak ada nada ataupun getaran. Aku tahu dia gelisah, tapi aku tak pernah tahu apa penyebabnya. Dilanjutkannya kembali mengelap meja dan membereskan gelas-gelas kemudian membawanya ke dapur. Entah mengapa aku begitu ingin memperhatikan setiap gerak-geriknya. Kak Nanda memiliki kepribadian yang menyenangkan. Ramah kepada teman dan pelanggan. Sesekali juga humoris. Supel. Lelaki yang sangat hangat. Aku menduga Kak Nanda sedang ada masalah yang cukup serius, karena tak biasanya kak Nanda merenung dan terdiam seperti itu. Aku mungkin terlalu peduli dengannya, tapi bagiku sikap kak Nanda kali ini begitu berbeda.

Bukan hanya itu saja yang membuatku heran. Kebetulan hari ini kami kedatangan pelanggaan yang cukup menyebalkan. Gerombolan anak-anak SMA yang saling bercanda bahkan sampai menggangu pelangan yang lain. Kak Nanda dengan emosional menegur mereka dengan nada suara ynag cukup tinggi. Bukan hanya aku bahkan pelayan yang lain pun kaget dengan sikap Kak Nanda yang tak biasa.

Keesokan harinya aku tak melihat kak Nanda berkerja. Aku pikir hanya hari tu saja aku tak menemuinya. Kira-kira lebih dua minggu kak Nanda tak bekerja. Tak ada yang tahu penyebabnya, hanya manajer cafe saja yang konon mengetahuinya. Alasan yang aku dengar juga simpang siur. Ada yang mengatakan ketidakmunculan kak Nanda disebabkan oleh peristiwa gerombolan anak SMA tempo lalu. Namun ada yang mengatakan ada masalah keluarga dan lain sebagainya. Aku begitu menyayangkan absensi kak Nanda di tempat kerja.

***


Cahaya café yang temaram. Suasana ini membawaku kepada lautan memori. Aku ingat ketika kak Nanda berjalan diantara kursi-kursi café, kemudian duduk diantara kursi-kursi pelanggan memandang ke arah jendela menanti pukul empat sore. Dia selalu datang dua jam lebih awal, untuk memastikan café bersih dan nyaman bagi pelanggan. Terkadang aku pun juga sengaja untuk datang lebih awal, dan menghabiskan menit-menit berdua dengan kak Nanda sampai pelayan yang lainnya berdatangan. Ketika aku mendengar kak Nanda terpaksa kembali karena ibunya wafat. Aku tak bisa berprasangka apapun. Aku hanya menyadari bahwa aku tak mengerti apapun tentang kak Nanda.

Kini kulihat diruangan ini, cahaya temaram yang menambah suasana semakin dingin dan suram, meskipun biasanya cahaya café ini sengaja untuk dibuat temaram tapi entah mengapa kali aku merasa tempat ini begitu kelam. Konsep café ini sebetulnya dibuat romantis dengan gaya minimalis. Tak heran jika café kecil ini sering dijadikan tempat berkencan bagi para remaja.

Kali ini aku datang ketempat ini bukan lagi sebagai seorang waitress, melainkan sebagai pelanggan biasa. Usahaku kecil-kecilan berbisnis pernak-pernik souvenir berjalan lancar. Aku pun memutuskan untuk berhenti menjadi waitress yang menurutku cukup melelahkan. Walaupun alasanku sebenarnya, aku tak lagi merasa nyaman ketika Kak Nanda telah meninggalkan café ini.

Aku terdiam menatap para pelayan café, tak satu pun dari mereka aku kenal. Mungkin memang sudah lama sejak aku bekerja. Masa yang cukup lama. Waktu berjalan tanpa kita sadari Tetapi kenangan itu masih tetap ada. aku sengaja duduk membelakangi pintu dan lampu utama. Aku hanya menghindari lalu lalang orang masuk. Aku menghindari keramaian. Dalam keremangan itu, aku melihat bayangan tubuh lelaki mendatangiku. Bayangan itu begitu familiar. Mengenakan seragam waitress dan membawa nampan berisi cangkir-cangkir. Aku membiarkan waitress itu meletakan minuman yang telah aku pesan. Cappuccino. Aku pun tak menoleh hanya untuk sekedar menegok wajahnya. Bukan dengan maksdu apapun. Sampai sang pelayan itu meletakkan tangannya di pundakku dan memanggil namaku dengan suara yang begitu khas, “Diandra”.

Seketika kutatap wajahnya. Aku tersenyum. Ada kelegaan yang muncul dalam dada seperti hendak membuncah. Aku tak pernah tahu aku akan menemuinya kembali di café ini. Aku hanya berfirasat mungkin saja dia akan kembali ke café kecil ini.

Yogyakarta, Mei 2011



Selasa, 02 Agustus 2011

First sunrise in Ramadhan


Sobering up, got no sleep, decided to climbed onto the roof of the house for the view and watch the sunrise :)
this is sunrise in first Ramadan, in case you missed it. ~cheers

Senin, 01 Agustus 2011

Ramadhan!




“Selamat Menjalankan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan”

May this beautiful and holy month purify our hearts and bring us happiness. Amin. :)