Kamis, 18 Maret 2010

Secangkir Cinta dan tentang Kota Wina, di Austria


Kamu ingat, sebuah negeri di sebelah barat negara Swiss. Negeri itu bernama Austria. Sebuah negeri yang kecil memang. Namun begitu menawan, penuh dengan keindahan nuansa seni yang begitu tinggi. Yang paling aku ingat tentang negeri ini adalah kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart pada tanggal 27 Januari 1756 di Salzburg, tentang lahirnya Adolf Hitler sang diktator, juga tentang kelahiran Johann Strauss pencipta musik-musik Walza. Hm, Austria memang memiliki sejarah yang panjang.
Kamu adalah orang yang membuatku sangat terkesan dengan Austria. Gara-gara kamu, aku selalu memimpikan tentang Autria. Aku bergaya di depan monument Carlzu Schwarzeberg, kemudian aku berjalan diantara jalanan Rennwerg menuju Ringstrasee, Wina. Atau mungkin bernostalgia merasakan ‘indahnya’ musik Strauss sambil menyusuri sungai Donau, sebuah sungai terpanjang kedua di Eropa.
Kenapa aku begitu bahagia membayangkan indahnya Austria, walaupun sebenarnya semua itu tak seberapa indahnya. Aku sendiri pun, waktu itu belum mengerti betul tentang Austria, aku tahu betapa indahnya Austria, semua itu gara-gara kamu.
Konon katanya, Austria telah berpenghuni sejak awal zaman Palaolithic dan nama kota Wina berasal dari Vedunia yang sejak tahun 2000 SM sudah didiami suku Kelten, bahkan pada abad XV SM, daerah sekitar sungai Donau dikuasai bangsa Romawi dibawah Kaisar Agustus. Sejauh itukah kamu dan aku tahu tentang Austria. Aku sudah tak ingat lagi yang lain, yang aku ingat hanyalah tiga hal terindah; Aku, kamu dan Austria.
Mungkin orang-orang boleh bicara tentang cinta. Indahnya cinta, perihnya cinta, sakitnya cinta, dan segala-galanya tentang cinta. Tapi bagiku cinta adalah aku, kamu dan Austria. Entah mengapa aku begitu terpesona padamu. Begitu butanya aku tentang mu.
Awalnya, aku sendiri tak peduli tentang cinta. Tapi itulah kamu, yang selalu membuka ruang baru dalam duniaku dan mengenalkan aku tentang Austria juga tentang cinta. Mungkin saat ini aku terlalu meninggikanmu, dengan semua omong kosongku tentang cinta tapi ini semua memang omong kosong. Kita sedang bersandiwara dalam mengungkapkan isi hati, penuh dengan kepalsuan. Jangan pernah memungkiri hal itu. Cinta itu hanya sebuah perasaan, sedangkan kamu adalah alasan mengapa cinta itu ada, bersama semua kenangan manis tentang kota Wina di negeri Austria.
Ketika aku mencoba mengingat kembali tentang sebuah jalan yang dikenal dengan nama Ringstraſse. Sebuah jalan sepanjang 6,5 km dan itu merupakan jalan melingkar, mengelilingi kota Wina. Katanya sih, ini merupakan sebuah pagar benteng bagi kota Wina. Akupun kembali teringat cerita cinta yang kau beri judul secangkir cinta. Kamu ibaratkan cinta itu dengan jalan melingkar itu. Ah, semuanya benar-benar tentang Austria. Bagaimana bisa kau tahu sebanyak itu tentang Austria?
Kamu juga bercerita kalau Franz Ferdinand, putera mahkota kerajaan besar Austria yang diculik dan menjadi salah satu penyebab meletusnya perang Dunia ke I. Pada tahun 1300 M, ia datang ke Indonesia dan membeli keris pangeran Diponegoro. Waktu itu aku tertawa, tak percaya dan menganggap semua itu hanya sebagai lelucon. Namun kamu marah dan berkata kalau cerita itu benar, bahkan keris itu masih tersimpan dengan rapi di museum FÜr Vörkerkunde (museum Etnologi) di Wina. Akhirnya aku percaya. Aku berhenti tertawa dan aku meminta maaf kepadamu. Seandainya saja kamu tahu, aku selalu percaya padamu sebelum kamu menyuruhku untuk percaya padamu, aku telah jauh mempercayaimu…melebihi dari yang kamu sadari.
Namun segalanya berubah.
Kadang segala sesuatu yang kita mimpikan tak seindah dengan yang terjadi pada kenyataan. Aku masih betul-betul ingat kejadian yang membuatku begitu merasa bersalah padamu.
Ketika itu bulan Desember, dimana hujan turun dengan sangat deras. Tiba-tiba kamu menelponku dan mengajakku untuk menonton film musikal, The Sound of Musik. Sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan keluarga Kapten Von Trapp. Setting film ini di Salzburg, sebuah kota yang sangat indah di Austria, yang juga terkenal dengan lukisan-lukisan dan arsitektur indah yang ada di beberapa katedral di Salzburg. Awalnya aku enggak tertarik, karena waktu itu hujan sangat deras dan jujur aja, aku enggak begitu suka dengan film-film seperti itu, tapi kamu memaksa dan akhirnya aku mau, dengan syarat kamu mau menjemputku. Kamu setuju dan akan menjemputku sepuluh menit lagi, tentu saja dengan vespa kuningmu itu.
Kalau menggingat vespa kuningmu itu, aku jadi pengen ketawa. Kebayang nggak sih, gara-gara vespa kuningmu itu. Setiap kali kamu ngeboncengin aku, semua orang yang ada dijalanan tuh pada ngeliatin kita dengan wajah yang, duuuh…so what banget deh! Tapi kamu nggak peduli dan tetep aja bangga dengan vespa kuningmu, yah itulah sifat yang paling aku suka dari kamu. PD banget, polos dan sama sekali nggak peduli dengan apa kata orang, selama kamu enggak ngebuat kesalahan yang fatal, kenapa mesti diomongin? Kenapa mesti dimasalahin? Kenapa mesti diributin? dan menurutku itu bener banget.
Saat itu, aku sudah menunggumu lebih dari lima belas menit. Aku pikir kamu telat karena ada trouble dengan vespa kuningmu itu, jadi yah…aku mencoba tetap sabar aja. Tapi lama kelamaan, jam tanganku ini udah nunjukkin lebih dari dua jam aku nunggu kamu dan kamu belum datang-datang juga. Jelas aja aku kesel banget. Jarak antara rumah kamu dan aku tuh cuma sepuluh menit kalau ditempuh pake vespa. Tapi ini, sudah dua jam lebih belum nyampe juga, jujur aja, waktu itu aku bener-bener ‘kesel’ banget dan aku pun coba buat nelpon ke rumah mu tapi hasilnya, nihil. Sama sekali enggak ada yang ngangkat. Ya sudah! Aku batalin acara ini, aku naik ke kamar dan tidur. Maklum, buat aku tidur adalah solusi yang paling tepat untuk menanggulangi rasa kekesalanku ini, karena kalau udah bangun ‘kan jadi lupa ama segala macam masalah. Dan akhirnya aku pun tertidur, pulas banget.
Tiba-tiba dua jam kemudian, aku terbangun dengan bunyi telepon. Aku angkat telepon itu, dan ternyata dari temenku. Kamu tahu nggak apa yang dia katakan? Dia mengatakan kalau kamu tabrakan. Kamu tabrakan dengan mobil di tikungan jalan Pandanaran, dan jalan itu cuma dua puluh meter dari rumahku. Oh my God! Betapa bodohnya aku! Kenapa bisa aku sama sekali enggak ngedenger bunyi ambulans atau feeling sesuatu pun tentang kamu. Malahan aku ngomel-ngomel enggak jelas dan kesel ama kamu, karena kamu sama sekali nggak datang ke rumahku. Trus aku malah tidur dengan pulas sementara kamu… aku bener-bener stupid!
Aku langsung cabut pergi rumah sakit tempat kamu dirawat. Tapi, sayangnya aku udah telat. Kamu sakit terlalu parah. Kepalamu terbentur trotoar dan kamu lupa, kalau kamu sama sekali enggak pake helm. Kamu hanya pake jas hujan. Celakanya lagi, ambulans terlambat datang karena memang waktu itu hujan turun deras banget. Aku menangis. Kenapa akhirnya malah kamu yang pergi begitu saja?
Semua ini bener-bener ninggalin seribu pertanyaan dan penyesalan buat aku.
Inilah akhir dari semuanya, kamu pergi meninggalkanku dengan semua kenangan cerita-ceritamu tentang Austria. Tapi bagiku semua ini bukan lagi sebuah kenangan. Mimpiku yang kamu ciptakan itu, semuanya telah aku ubah menjadi kenyataan. Kini aku berhasil bergaya di depan monument seorang prajurit penunggang kuda Carlzu Schwardenberg, berjalan di dekat sungai Donau, merasakan angin kota Wina, merasakan masakan khas Austria dan mendengarkan musik-musik Strauss. Hanya saja, mungkin bagimu masih tetap menjadi kenangan.
Kenapa akhirnya aku menikmati kota Wina ini sendiri? Padahal ini adalah impianmu, ini adalah mimpimu, ini adalah obsesi hidupmu dan bermacam-macam harapanmu. Tapi kenapa akhirnya semua ini jatuh padaku? Apakah ini yang disebut dengan takdir?
Jika benar ini sebuah takdir, aku hanya bisa pasrah dan terdiam.
Kini aku menangis. Selama ini, kamulah yang membuatku bahagia, bukan kota Wina ataupun negeri Austria, karena aku telah berdiri disini, di Wina. Namun entah mengapa aku masih tetap menangis, padahal aku begitu mencintai kota ini. Ternyata aku salah, aku keliru. Aku begitu naïf untuk mengakui kamulah yang membuatku bahagia.
Bagiku, kota Wina itu adalah sebuah cangkir dan kamu adalah cinta. Jadi, aku namakan ini secangkir cinta. Seperti yang pernah kamu ceritakan tentang jalan Ringstraſse itu. Sekarang ini, aku hanya akan menjadikannya sebuah kenangan, karena jalan hidupku masih panjang. Maafkan aku cinta. Bukan berarti aku akan melupakan kamu begitu saja. Kamu akan tetap selalu ada dihatiku, walaupun semuanya telah berubah. Tak lagi nyata. Tetapi bagiku kamu akan masih tetap sama.
Seandainya kamu bertanya padaku, kenapa sampai saat ini aku masih sendiri? Jawabannya adalah kamu, kamu adalah alasan mengapa aku masih sendiri dan sekarang, bolehkah aku yang bertanya kepadamu?
Kenapa harus ada cinta jika akhirnya cinta itu menyakitkan?

16: 30

DJOKDJA, 22.12.2005

cerpen tiga tahun yang lalu.
aku sengaja tulis ini buat dikirim ke majalah gadis or kawanku,tapi gak jadi,heu"kenapa majalah itu?? karena gak tahu juga sich...dulu temen-temenku seneng bget baca majalah begituan....walaupun isiny menurutku ya...
kurang cocok dgn kehidupanku..n_n'

Senin, 15 Maret 2010

Birthday MEans...

What is Birthday celebration means for me??
Actually, the birthday celebration is not important in our family life; my parents taught since childhood that the most important thing in birthday is going to remember what we have done, whether good or bad? My Parents prefer to teach how we live and provides benefits for the others, and then birthday is time to reflect our life. Meanwhile, sometimes tradition of celebrating birthdays as it grows with the times. As for me, this is time to rearrange my future by hopes, prays and wishes. Birthday maybe special but perhaps the most special is value beyond the anniversary.



My birthday coincides with the Diplomatic Course organized by KOMAHI in Saphir Hotel, and after the event finished, my friends from KOMAHI gave me a surprise with a small candle. For me, their concern with my birthday is deep and very meaningful. Last Saturday my friends from the Global Xchange volunteers gave me a surprise with a small birthday cake, that’s so beautiful and yummy…n_n



They surprised me when a waiter brought a birthday cake for me, and I just stared. Because my birthday was two days ago, i think the birthday cake was not for me. Once again, They really surprised me! I could not even say a word except thank you. Once I started cutting a birthday cake. I handed out to other friends and suddenly everything started cream cake fight with spreading some in my face, despite making my face oily and dirty but it’s fun and really unforgettable. Thanks to my friends for all that you gave me. This is really great for my birthday celebration.
n_n
...
..
.
Y.15.03.10

Love it then Write it

I wrote my first story when I was 12 or 13. And I was certain, writing stories was my hobby. That I will grow up to be an author. But, I eventually grew out of that phase. I thought writing stories are passé. That it was reserved only for the hopeless romantic or idealistic. I moved on in other areas of writing in the subsequent years, in different avenues - love letters to boyfriends (ex-boyfriends too), essays during English class, blogs, a local publication, diary and then, writing competition.



I still remember when I was in Junior High School, I wrote a scenario with titled 'Princess Cavaleira' then displayed in the drama competition, and I managed to bring my friends won a championship with that story. n_n
That’s why I'm back in literature; it’s like to live back in my old world

Love it. Write it.

Minggu, 14 Maret 2010

Hope

Aku kembali bimbang,
Antara hati dan akal,
Antara perasaan dan pikiran,
Seolah mereka tak pernah menyatu,
Selalu ada ragu yang bersarang dalam hatiku,
Yang aku tak pernah mengerti maknanya,
Kehidupanku kembali membentuk paradox,
Aku yang selalu ingin diam,
Kini saatnya aku harus membagi,
Apa yang aku inginkan dan apa yang telah terjadi
Semuanya menjadi ilusi,
Meskipun
Mozaik-mozaik kehidupan kembali aku rangkai,
Tanpa aku sadari,
Aku justru terjatuh lebih dalam
Terjebak dalam pikiranku
Bersama dengan khayalan-khayalanku
Aku kembali ragu dengan jalan kehidupanku
Tapi saat itu
Aku mencoba menyalakan kembali api itu; api harapan,
Yang kata orang; selalu menyala.

(
Tepat
Hari
Ini
Satu
Tahun
Yang
Lalu

)

Y.14.03.10

Jumat, 12 Maret 2010

NURANI


NURANI itu begitu nyata. Menarikku menuju pintu kebahagiaan. Aku selalu menginginkan perasaan bahagia yang meluap-luap, karena dengan begitu aku merasakan kenyamanan. Namun ditengah-tengah keheningan yang menembus pada kegelapan. Aku merasakan kenistaan, kehinaan, dan kebodohan yang tiada tara. Perasaan seperti itu timbul lebih tepatnya karena aku selalu merasakan aliran darah yang deras, letupan-letupan detak jantung, dan getaran-getaran nadi seribu makhluk. Semua itu dapat aku rasakan.
Walaupun aku tak pernah tahu apa yang terjadi di dunia ini. Tapi aku dapat merasakan ada seribu hati yang hancur. Menangis dalam diam. Tersenyum dalam perih. Aku selalu menangis setiap kali aku merasakan perasaan itu. Apa dayaku? Aku hanya bisa duduk diatas kursi. Mulutku diam pula, penuh dahak yang tak tertelan dan tak terluntahkan. Gerutu itu! Terus terdengar, seolah-olah seperti kaki-kaki yang menghentak-hentakan ke tanah. Aku merasa sakit. Aku bingung. Padahal semua itu tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Tenang. Tidak disakiti, tidak dikhianati, tidak dihina, dan tidak disiksa. Tapi, sekali lagi aku merasakan, ada seribu hati yang merasa disakiti, merasa dikhianati, merasa dihina, dan merasa disiksa. Aku bingung. Gerutu itu lagi! Aku merasakannya. Namun aku tak mendengarkannya. Lantas apa lagi yang terjadi padaku? Aku Bingung. Gerutu itu lagi!
***
Kadang kala aku pun menerka tentang fenomena-fenomena alam yang ada disekitarku. Seperti, ketika udara menjadi semakin dingin. Aku tahu ini pasti ‘malam’ dan itu pasti gelap. Jadi setiap ‘malam’ itu pasti dingin dan gelap, mudah sekali untuk dipahami. Aku membagi hari itu menjadi tiga. Jika hari menjadi sangat dingin, itu berarti ‘malam’. Kalau sudah tidak begitu dingin, maka aku menyebutnya dengan ‘pagi’, tetapi kalau hari menjadi sangat panas aku menyebutnya ‘siang’. Aku mengetahui istilah-istilah itu dari suara-suara disekelilingku. Kadang suara-suara disekelilingku itu baik. Tapi, tak sedikit pula yang buruk.
Sehari-hari aku selalu habiskan dengan duduk di kursi. Menikmati hari. Karena hanya itu saja yang dapat aku lakukan. Aku mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada disekelilingku ini berbeda, hanya karena aku dapat merasakannya. Aku dapat menyentuhnya. Meraba. Kemudian berpikir hingga aku paham. Aku tak seperti manusia lainnya yang ‘normal’. Dulu perasaan gelisah ibu dan ayahku ketika aku lahir pun sangat terasa menusuk-nusuk kedalam hatiku. Perih rasanya, tak ada senyum kebahagiaan yang menyambutku saat aku menyongsong dunia. Jadi, aku sama sekali tak menangis, tak perlu.
Aku memang terlahir cacat. Itulah sebab kegelisahan yang menghantui ibu dan ayahku. Mereka malu. Aku tak peduli. Akhirnya mereka membuangku ke sebuah desa kecil bersama pengasuhku, Laksmi. Aku biasa memanggilnya mbok Laksmi. Wanita tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad, namun baik hati. Sekali lagi, aku tak peduli dengan keputusan kedua orang tuaku. Aku senang hidup di desa. Tenang. Menikmati angin, mendengarkan suara-suara merdu suaka, gemercik air, dan ilusi kedamaian yang begitu kuat menyentuh batinku.
Hingga suatu hal aneh terjadi pada diriku..
Aku berumur lima belas tahun waktu itu. Hawa yang sangat dingin menyelimuti tubuhku. Perasaan ketakutan yang maha dahsyat terus menyelubungi pikiranku. Aku bingung. Ada apa ini? Perasaan apa ini? Aku mencoba menenangkan perasaanku namun aku tak tahan. Aku berteriak. Memanggil-manggil mbok Laksmi. Tak ada jawaban. Kemana dia? Perasaan itu muncul lagi. Begitu kuat dan dekat. Aku yakin ini tidak terjadi padaku. Aku diam disini. Lalu apa? Siapa yang mengalami peraasaan seperti ini? Kenapa aku harus merasakannya? Beribu pertanyaan terus menghampiriku. Aku berhenti merintih. Hawa dingin itu sedikit demi sedikit pergi meninggalkan tubuhku, tapi rasa sakit yang luar biasa masih terasa. Setelah semuanya pergi. Aku merasakan kejanggalan. Entah apa? Aku juga binggung. Aku meraba-raba menelusuri tembok rumahku, sambil berteriak memanggil mbok Laksmi. Kemana ia? Biasanya dia di dapur. Tapi kenapa begitu sepi, nyaris tak terdengar suara apapun.
Aku terus mencari mbok Laksmi. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kakiku. Tubuh siapa ini? Dari baunya, aku tahu ini pasti tubuh mbok Laksmi. “Mbok Laksmi! Mbok Laksmi!” Tubuhnya sangat dingin. Sedingin hawa yang tadi menyelimuti tubuhku. Ada apa ini?
***
Mbok Laksmi meninggal.
Pada akhirnya kedua orang tuaku membawaku ke ‘kota’, setelah lima belas tahun aku tak pernah datang ke ‘kota’. Aku pun kembali menjamah tempat ini. Sungguh asing bagi seluruh panca inderaku. Hawa yang panas membuat seluruh tubuh serasa terbakar. Ini melebihi siang. Hawa dingin begitu mencekam. Ini juga melebihi malam.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Perasaan takut, suasana suram, pesakitan dan tangisan. Membuatku semakin bingung.
Kejanggalan-kejanggalan itu semakin nyata. Aku dapat merasakan yang sepertinya ‘tidak’ orang lain rasakan. Perasaan batin yang begitu dalam dari manusia-manusia yang disakiti, disiksa, dihina, dan dikhianati. Aku buta, tapi perasaan batinku tidak mati. Orang tuaku yang mengajarkan kebencian sejak dalam kandungan. Kini aku mengerti. Betapa terlukanya aku terhadap mereka.
Aku merasa lukaku ini akan tetap menganga, aku hanya diam di tempat ini. Tak lagi aku merasakan harumnya bunga-bunga dan pepohonan. Aku memaksakan untuk tetap mengerti keadaan ini. Sulit bagiku untuk mengerti semua yang terjadi disekitarku. Saat ini juga sulit bagi inderaku untuk mengetahui kapan itu malam? Dan kapan itu siang? Waktu menjadi sangat kabur.
Suatu saat tubuhku kembali merasa sangat kedinginan. Walaupun aku tak merasakan sedingin ketika aku kehilangan mbok Laksmi, mbok Laksmiku yang malang. Tapi tetap saja seluruh tubuhku merasakan hawa dingin yang berbeda. Mungkinkah ini malam? Tanyaku dalam hati. Ini semua begitu berbeda. Kesendirian dan ketakutan.
Aku menangis. Semakin lama tangisanku ini semakin meraung dan meraung. Ibu datang menghampiriku. Mencoba menyadarkanku. Memanggil-manggil namaku. Ia mengira aku kesurupan atau semacamnya. Aku merasakan kehilangan. Aku tak pernah tahu, apa salahku? Kenapa aku ada ditempat ini? Bau tak sedap dan menjijikan! Apakah ini hanya perasaan? Tapi ini memang hanya sebuah perasaan. Siapakah yang terbuang? Ditengah malam seperti ini? Dosa apakah yang membuatnya terbuang?
Aku masih terus menangis dan menjerit. Kali ini ibu menamparku berkali-kali karena tangisanku tak juga berhenti. Aku seperti orang gila saat ini. Aku tak pernah bisa mengurai benang merah dari segala perasaanku ini. Semua terjadi begitu saja diluar kesadaranku. Perasaan itu datang dan pergi. Aku tak pernah sedikit saja mengharapkannya untuk ada. Kadang membuatku sangat ketakutan, khawatir dan resah.
Ditengah kebuntuan semacam ini. Ada satu hal lagi yang belum juga aku mengerti walaupun semuanya membuatku kembali tersadar. Ketika aku tertidur. Aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah mataku ini terbuka. Ibarat aku ada. Lantas apa arti kebutaanku ini? Jika dalam mimpi aku ’melihat’. Juga tentang perasaan-perasaan yang aku rasakan. Perasaan itu berasal dari seorang bayi. Aku melihat semuanya. Ia menangis kedinginan dan ketakutan diantara sampah-sampah. Menangis meraung-raung, persis seperti apa yang aku lakukan. Maka ketika seorang pemulung mengangkatnya, memeluk dan memberikannya kehangatan. Aku pun merasakan hal yang sama. Perasaan iba kepada bayi itu begitu nyata aku rasakan.
Bumi ini menjadi fenomena lain pula yang aku rasakan. Kadang aku muncul dalam mimpiku. Melihat bumi tersakiti dan menangis. Tanpa ada seorang pun. Aku lari sejauh apapun dan berteriak sekeras apapun. Memohon bantuan. Tak ada seorang pun yang muncul? Ampun tuhan! Dosa macam apa lagi yang diperbuat oleh manusia-Mu di dunia ini? Di bumi-Mu ini! Kenapa bumi menjadi sangat menderita atau bahkan ’sakit’? Kali ini aku memang langsung paham dengan mimpiku. Bumi sedang tersiksa. Penyakit-penyakit manusia kian menjadi-jadi. Hal ini membuat aku menjadi semakin sedih dan tersiksa. Aku merasakan tapi apa yang bisa aku perbuat dengan semua yang aku rasakan. Kemana manusia-manusia? Apa yang mereka lakukan?.
Peristiwa demi peristiwa pun aku alami. Semua ini menjadikan aku sadar akan diriku. Inilah aku. Merasakan apa yang orang lain sulit untuk rasakan. Aku buta tapi nuraniku tidak buta. Inilah yang membuatku merasa sangat bahagia. Aku tidak dijadikan sebagai makhluk yang munafik. Aku dapat berbagi penderitaan dengan alam. Meski kadang semua itu membuat aku sedih. Merasakan penderitaan mereka. Tapi ini jauh lebih baik daripada mengaku melihat dan memiliki nurani tapi sesungguhnya mereka buta dan tak bernurani.
Aku adalah korban keegoisan manusia. Begitu pula bumi. Kami tak begitu berbeda. Meredam asa dan amarah. Aku pun sangat memahami bumi. Seolah-olah nurani kami menyatu. Tapi dibalik semua itu, apa daya kami? Kami percaya akan janji Tuhan dan kami percaya Tuhan tidak diam. Bahkan aku pun percaya, masih ada manusia-manusia yang memiliki nurani dan merasakan, apa yang kami rasakan.
Mungkin sekali lagi. Tuhan tidak diam.
Wallahu’alam bishshawwa-b


Y.27.10.08

Sebuah Cinta yang Sederhana itu...


DINDA duduk sendirian disebuah bangku kayu dibawah atap pintu gerbang sekolahnya. Ia berusaha melindungi tubuhnya dari rintikan air hujan. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah. Dia telah melalui masa-masa remaja ditempat itu. Dia hanya ingin mengumpulkan kembali kenangan tentang semua yang telah dia alami, kenangan manis tentang SMU-nya, dan foto-foto setiap sudut sekolahnya. Walaupun acara perpisahan sekolah telah berakhir dua jam yang lalu, dia tetap ingin menunggu sampai sekolahnya benar-benar kosong. Tapi sayangnya hujan pun turun. Dinda sama sekali tidak menduga jika hari itu akan turun hujan. Akhirnya dia rela menunggu sampai hujan mereda dibawah atap gerbang sekolah, demi kenangan manis yang selama ini dia mimpikan. Karena dia yakin, disinilah tempat kenangan yang terindah dalam hidupnya. Dan ternyata, yang terjadi bukan hanya sekedar keyakinan. Semua itu membuatnya kembali bertanya. Salahkah jika kita selama ini memimpikan seseorang?

Bermimpi itu bukan sebuah kesalahan. Hampir sama dengan cinta, itu adalah anugerah. Seandainya semua orang tahu bahwa mimpi sebuah anugerah, maka semua orang hanya akan bermimpi, bermimpi, dan terus bermimpi. Sama halnya dengan diriku. Akulah yang selalu berharap bahwa mimpi itu sebuah anugerah, padahal awalnya aku hanya bermimpi tentang seseorang, tetapi semua yang ada disekelilingku justru tampak seperti mimpi. Itulah kesalahanku. Memimpikan sebuah cinta yang sederhana.
Awalnya aku hanya menebak-nebak saja tentang cinta yang sederhana itu. Di sekolahku, ada banyak sekali murid yang berpacaran. Mereka menjalin hubungan dan berharap untuk terus bersama. Mereka bahagia. Tetapi kebahagian itu takkan abadi, waktu memisahkan mereka, dan hubungan pun hanya tampak seperti asap. Menghilang dilangit bersama angin. Ada apa dengan cinta mereka? Sejak itu aku menganggap cinta itu ambigu, tak jelas maknanya antara sakit hati dan perasaan bahagia atau antara tangis dan senyuman. Kemudian hanya kata ‘sederhana’lah yang membuatku sadar tentang makna cinta.
Hanya sebuah cinta yang sederhana.
Aku teringat, bagaimana indahnya kata-kata Kahlil Gibran ketika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Selma Karamy. Mungkin pula, sejak itu orang-orang menyadari dan menyebutkan bahwa, cinta pertama itu adalah cinta yang tak terlupakan. Aku pikir itu semua cuma omong kosong belaka. Tapi ternyata aku salah. Dan aku mulai menyadarinya.
Ketika itu dibawah atap gerbang sekolah. Musim hujan. Saat langit mulai menguning. Dia datang dengan senyuman, yang sampai saat ini pun aku takkan pernah bisa melupakan senyuman itu, senyuman yang begitu tulus.

Pukul empat sore.

“Sendiri?”
Dinda mengangguk.
“Mau nunggu jemputan?”
Dinda menggeleng.
“Kamu Dinda, kan?”
“Kok tau?”
“Dari kemarin kamu datang ke sekolah cuma buat foto sana, foto sini. Mau buat album ya?”
Dinda hanya tersenyum. Mengangguk. “Kamu nggak nyambung”
“Emangnya kenapa?”
“Akukan tanya, dari mana kamu tau namaku Dinda”
“Oh!”
Dia terdiam, kemudian berkata “Aku sering banget liat kamu duduk dibangku taman belakang sekolah”
Dinda tersenyum. Wajahnya memerah.
“Aku penasaran, aku tanyain deh ke temen-temen, siapa nama kamu?”
Hujan telah mereda. Dia duduk dibangku yang sama dengan Dinda.
Tiba-tiba hati Dinda berdetak sangat kencang. Dinda tertunduk malu, dia tak mengira bahwa akan ada orang yang akan memperhatikan dirinya.
“Mmm, mau ngelanjutin kuliah dimana?”
“Nama kamu siapa?”
Dia tersenyum lagi. Tenang sekali.
“Namaku Aldila, kamu bisa panggil aku Aldi. Aku juga lulus tahun ini sama ama kamu” katanya sambil mengulurkan tangan.
Dinda membalas uluran tangan itu dan berkata “Adinda”
Setelah perkenalan itu mereka membicarakan banyak hal. Saat itulah Dinda merasakan apa yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Nalurilah yang mengatakan pada Dinda bahwa ia jatuh cinta dan pada saat itu pula ia kembali menyimpulkan tentang sebuah cinta yang sederhana.

Waktu terus berjalan. Kenyataanlah yang membuatku mengerti tentang cinta. Bahkan siapa pun akan belajar tentang keindahan cinta dari apa yang ia rasakan dan alami. Begitu pula aku. Namun sudah hampir tiga tahun aku tak lagi bertemu dengannya. Sejak aku mengerti bahwa semakin mencintainya maka aku akan semakin kehilangan dia. Maka ketika aku utarakan perasaanku ini padanya, dia pun mengatakan bahwa dia mengalami hal yang sama. Ketakutan yang memang seharusnya tak terjadi. Kami pun pada akhirnya memutuskan untuk berpisah. Bukan karena ketakutan kami. Tapi karena dia harus meninggalkan kota Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sisa semesternya di Inggris. Sangat jauh.
Aku tak ingin lagi melukiskan perasaanku saat itu. Aku hanya menganggap semua itu masa lalu. Meski sulit aku lupakan tetapi harus aku kubur. Tuhan sibukkan diriku. Jangan ingatkan lagi tentangnya.
Pagi ini tak seharusnya aku mengenangnya kembali. Tapi ketika aku mengakses internet, untuk sesekali melihat inbox barangkali ada e-mail dari teman-teman lamaku. Sebuah e-mail dengan nama pengirim Muhammad Aldila membuatku tertegun. Entah perasaan bahagia, sedih ataupun ragu aku rasakan.
Dengan perasaan yang bercampur akhirnya aku baca juga e-mail itu.

Dear Dinda,
Mungkin kalimat pertamaku yang paling tepat saat ini untuk mu adalah ”apa kabar?”. Sudah hampir tiga tahun kita tidak pernah bertemu. Waktu yang lama. Tapi saat ini. Aku merasakannya begitu cepat. Sampai aku lupa, waktu yang berlalu itu tiga tahun. Jangan tanya mengapa aku mengirim e-mail untukmu. Karena waktu tiga tahun adalah waktu yang aku tunggu untuk kembali mengirim e-mail untukmu. Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan semua ini. Setelah aku mengguratkan sebuah luka dihatimu. Saat ini mungkin berbeda dengan tiga tahun yang lalu.Tapi aku takkan pernah mengatakan perasaanku berbeda dengan tiga tahun yang lalu. Karena masih ada rindu dalam hatiku. Selalu ada rindu.
Saat itu, tiga tahun yang lalu. Ketika aku tahu aku akan meninggalkan mu. Aku tak ingin merencanakan masa depan. Aku tak ingin membuatmu begitu banyak berharap. Aku tak ingin kamu menunggu terlalu banyak janji yang keluar dari mulutku dan aku juga tak ingin kau terlalu ’sakit’ dengan kepergianku. Maafkan aku yang bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun ketika aku pergi.
Aku tahu mungkin hal itu memang sulit. Seandainya ada lelaki lain yang saat ini mengisi ruang yang mungkin telah kosong itu, aku pun takkan lagi menganggu. Meski sebenarnya sangat sulit aku terima. Tapi ini memang salahku. Aku yang membiarkannya terluka. Demi obsesi dan segala ambisiku untuk meraih apa yang aku inginkan.
Seandainya kamu berpikir disana aku bersama wanita lain. Sejujurnya tak satu wanita pun berhasil membuatku melupakan rindu dalam hatiku. Rindu yang selalu aku jaga untuk mendapatkan kembali sebuah cinta sederhana.
Kamu tahu pasti Dinda. Hidup ini seperti sebuah sandiwara yang selalu ada babak baru. Meski terkadang kita kembali membutuhkan prolog. Agar tak berakhir pada epilog yang sendu. Anehnya ini semua bukan hanya sekedar sandiwara. Melainkan cinta. Cinta yang nyata. Meski diawali dengan sebuah prolog. Aku tak ingin cepat-cepat mengakhirinya tanpa epilog yang indah. Aku tak sedang mengkhayal dinda. Seharusnya ada babak baru setelah ini, karena ini adalah panggung kehidupan kita. Sekali lagi maafkan aku yang mungkin menjadikan cerita kita terhenti. Izinkan aku kembali menuliskan babak baru tentang sebuah cinta yang sederhana.
Sebuah cinta yang kita impikan.
Sebuah cinta sederhana antara aku dan kamu. Cinta yang saling menjaga. Cinta yang saling menyayangi. Cinta yang saling mengerti. Cinta yang begitu sederhana. Cinta yang indah. Cinta yang memang pernah kita impikan.
Aku tahu mungkin kata-kataku kali ini mengoreskan kembali luka dihatimu. Tak hanya dihatimu Dinda, hatiku pun sakit ketika mengingatmu. Aku hanya tak ingin mengingat mu, justru menjadikan hatiku sakit. Memang aku yang telah memulai segalanya. Maafkan aku. Aku yang tak pernah mengerti. Aku yang tak pernah bisa memahami. Aku hanya ingin memperbaiki segalanya. Menyembuhkan kembali lukaku atau mungkin juga lukamu. Luka diantara kita berdua.

...
Aku kembali di tempat ini. Tempat dimana prolog itu dimulai. Saat dimana pertama kali aku merasakan sebuah senyuman yang hangat, yang membuatku untuk sulit melupakannya. Aku merasakan hatiku seolah tak ingin berhenti memukul tubuhku. Sangat berdebar. Semilir angin menambah kalut perasaanku. Ini memang tentang cinta. Cinta yang tak pernah aku mengerti.
Surat itu benar-benar mengubah perasaan yang selama ini aku pendam. Amarah yang mendalam akan dirinya. Aku pun tak pernah memahami, mengapa semua itu justru berubah menjadi sebuah kesabaran. Betapa kecewanya aku ketika dia meninggalkan aku. Sulit sekali menggambarkan betapa aku sangat terluka karena sifatnya. Sekarang dia datang kembali dengan mengirimkan surat konyol ini dan mengatakan ’maaf’ yang bahkan tidak dia luncurkan dari mulutnya. Tuhan, masih adakah cinta dalam hatiku? Mengapa cinta ini begitu sulit aku mengerti? Kenapa begitu menyiksa? Mampukah aku memaafkannya? Atau aku memang tidak pernah membencinya?

(to be continue...) n_n'